Ada yang konstan dalam saban pergelaran Ananda Sukarlan di Tanah Air. Pianis ini secara verbal menjelaskan sendiri ihwal karya demi karya yang segera dibawakannya di atas panggung itu juga. Pada keterangan yang lazim dilafazkannya dalam tempo vivace, pianis sekaligus komponis yang kini bermukim di Spanyol itu kaprah menyelipkan gurauan-gurauan.
”Mungkin karena si ibu sudah pacaran dengan ratusan, maksud saya puluhan, laki-laki,” katanya bergurau sebelum Opera Saku Laki-laki Sejati mulai dimainkan di Erasmus Huis, Jakarta, Kamis (29/9), sebagai pertunjukan premier.
Opera saku karya Ananda Sukarlan ini didasarkan pada cerpen Putu Wijaya (2004) yang berisi dialog seorang ibu yang sudah janda dengan anak gadisnya mengenai apa dan siapa laki-laki sejati itu. Dialog itu kuyup dengan jawaban-jawaban mengejutkan yang, karena keluar secara spontan, terdengar jenaka.
”Katakan cepat Ibu di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu.”
”...kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.”
”Apa? Tidak mungkin?”
”Ya.”
”Kenapa?”
”Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.”
”Sudah tidak ada lagi?”
”Sudah habis.”
”Ya, Tuhan, habis? Kenapa?
”Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.”
”Sudah amblas?”
”Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua.... Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu....”
Ananda menimpakan nada demi nada pada suku-suku kata itu yang kombinasi naik-turunnya, variasi ketukannya, kecepatannya, dan keras-lembutnya sedemikian rupa sehingga terasa sebagai ekspresi komedik. Jawaban-jawaban jenaka dan ringan dari pemeran ibu itu dibawakan dalam nada-nada tinggi, cukup sering dengan kelokan-kelokan tajam, sehingga tepat dibawakan oleh seorang soprano koloratura liris.
”Suara koloratura itu bermain pada nada-nada tinggi dengan rentang yang lebar, lincah, dan karena itu mudah ditekuk-tekuk,” kata Ananda.
Di Indonesia jarang tersua perempuan berkarakter suara demikian. Ananda menemukannya pada Evelyn Merrelita Sumilat lewat kompetisi vokal Tembang Puitik Ananda Sukarlan yang berlangsung April lalu. Evelyn bertungkus-lumus sebagai penyanyi paduan suara sekaligus solis sejak ia mahasiswa di Universitas Kristen Petra Surabaya per 1997.
Ada pun gadis yang diliputi rasa cemas dengan bertanya-tanya mengenai apa dan siapa laki-laki sejati itu dalam nada-nada murung dan rendah hanya tepat diperankan seorang mezosoprano. Kompetisi vokal untuk Tembang Puitik Ananda Sukarlan dalam musim lomba yang sama berhasil pula menjaring Indah Pristanti, yang berada di jajaran mezosopran dalam paduan-paduan suara yang selama ini diikutinya, untuk memerankan anak gadis dalam Laki-laki Sejati pada pertunjukan premier opera saku ini.
Indah giat pada paduan
Laki-laki Sejati adalah karya opera saku Ananda Sukarlan dan Putu Wijaya (libretto) untuk seorang soprano koloratura, seorang mezosoprano, dan seorang pianis laki-laki dengan durasi tak lebih dari setengah jam. Dengan menyadari keterbatasan memanggungkan opera di Indonesia, Ananda masih setia dengan opera saku, opera yang—seperti buku saku—ringkas, mudah dibawa ke mana-mana, dan dengan pemain yang (ekstrem) minimal. Pada pergelaran di Erasmus
Evelyn dan Indah sebagai pendatang baru dalam dunia opera dengan sempurna menghafal
Manunggalnya ungkapan verbal dan musikal yang mereka lafalkan dengan terang mendapat respons spontan dari penonton yang memenuhi auditorium Erasmus Huis itu. Demikian pula aksi mereka di panggung, maupun ketika keduanya tiba-tiba turun dari panggung menarik seorang laki-laki penonton di baris terdepan terkait dengan usaha menjawab apa dan siapa laki-laki sejati itu.
Mungkin karena terlatih dengan gurauan-gurauan, Ananda lebih berhasil pada opera saku yang komedik ini dibandingkan dengan ketika ia menggarap cerpen Seno Gumira Ajidarma,