Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahasa Tubuh

Kompas.com - 30/10/2011, 02:51 WIB

Samuel Mulia

Saya sedang terpana menyaksikan penampilan Ananda Sukarlan pada suatu siang di sebuah ruang mewah berpendingin. Jari-jarinya menari di atas tuts-tuts piano dengan lincahnya, sementara di luar ruang mewah itu, Jakarta sedang memiliki temperatur yang tak beda dengan kompor. Sambil menikmati permainannya, saya melihat jemarinya yang lincah itu dan sebuah pertanyaan menyeruak masuk ke dalam benak. ”Tidakkah jemarinya itu berteriak karena lelah ’menari’ setiap saat?”

Tong sampah

Denting pianonya membawa lamunan saya terbang ke sebuah perjalanan beberapa bulan lalu. Pada suatu malam setelah lelah seharian berjalan ke sana dan kemari, dan masih harus menghadiri acara makan malam, kedua kaki ini rasanya sudah tak bisa digerakkan lagi saking kelelahan berjalan.

Setelah acara hari itu yang selesai nyaris tengah malam dan setelah membersihkan tubuh, saya berbaring di tempat tidur. Sebelum jatuh dalam kelelapan karena kelelahan, nurani saya berbicara, ”Bilang terima kasih, tuh, ama kaki elo, hari ini udah nganterin elo ke mana-mana dan membuatnya sampai kelelahan.”

Karena sudah nyaris tepar, saya turut saja dengan perintah suara hati itu. Kemudian, dengan kedua tangan, saya mulai mengelus dan sedikit melakukan gerakan memijat sambil menyuarakan ucapan terima kasih kepada anggota tubuh itu karena telah berfungsi dengan sempurna dan bisa menikmati jalan-jalan hari itu, dan meminta maaf sudah melukai punggung kaki dan tumit gara-gara sepatu yang menggigit.

Kejadian di atas belum pernah saya lakukan sebelumnya. Maksud saya, berbicara dengan anggota tubuh. Maka, sejak malam itu, saya mencoba mengucapkan terima kasih kepada anggota tubuh itu karena bisa berfungsi dengan baik, dan lebih banyak pada permohonan maaf karena sering disalahgunakan.

Kepada mulut yang acap kali bercerita miring, menyuarakan kabar yang tak perlu disuarakan, memfitnah, atau berteriak kepada bawahan, sopir, dan sejuta makhluk lain. Belum lagi memuji dengan kepalsuan, mencium manusia yang tak sepantasnya dicium, memasukkan segala jenis makanan, dan dijadikan ruang pertama yang dipenuhi asap rokok.

Kepada mata dan telinga yang sudah digunakan untuk melihat atau mendengar peristiwa yang tak sepantasnya disebarluaskan dan toh tetap bersikeras disebarluaskan dengan bantuan tangan yang mampu memainkan jemari dengan lincah di atas ”tuts” Blackberry atau telepon genggam.

Kenal, tapi tak sayang

Tangan yang tak hanya menari di atas tuts Blackberry atau telepon genggam, tetapi juga yang menerima uang di bawah meja, yang membagi-bagikan dana haram bak Sinterklas. Kuku yang diwarnai dan saking keseringannya menjadi kuning dan tak sehat.

Kepada mata yang digunakan untuk melirik pasangan orang lain, untuk mencontek selama ujian, yang bulu matanya dioles maskara tebal dan pewarna mata yang medok. Telinga yang ditusuk untuk bisa dipasangi anting atau benda yang berat hingga telinga berubah bentuk.

Kepada kaki yang lelah karena melangkah ke tempat-tempat yang tak sepantasnya dikunjungi, melangkah ke tempat pasangan orang lain, misalnya. Atau yang berolahraga tanpa persiapan, malah membuat kaki jadi keram dan tersakiti. Yang menyiksa kaki dengan sepatu bermerek yang haknya saja seperti mau mengalahkan egrang dan melukai tumit, tetapi memberi gengsi di mata orang yang melihatnya.

Kepada anggota tubuh yang tak terlihat, yang lokasinya ada di dalam tubuh. Yang telah bekerja setengah mati karena mengolah makanan segala rupa, sehat dan atau tidak sehat. Yang berdiet dengan cara yang salah sehingga perut terlalu lama keroncongan dan tubuh malah mengalami malnutrisi dengan sejuta efek sampingnya. Efek yang tidak pernah saya sadari adalah jeritan tubuh bahwa mereka sudah kelelahan.

Bahasa tubuh nyaris tak pernah saya perhatikan. Saya tak menyediakan waktu untuk mengobrol. Seharusnya seperti memelihara kendaraan, selalu saja ada waktu untuk masuk ke tempat bernama bengkel setelah sekian ribu kilometer digunakan. Selain membersihkan bagian luarnya, pemiliknya akan tahu kalau ban mobilnya sudah aus, dan turun mesin bisa jadi juga perlu dilakukan.

Saya sering melanggar waktu masuk bengkel, bahkan menjadwalkannya pun sering kali kelupaan. Saya tak pernah berpikir untuk mengobrol dengan anggota tubuh itu. Saya malah memilih untuk membiarkan ban saya aus.

Maka, seringlah saya kepanikan kalau sudah ada yang pegal linu dan bengkak, kepala menjadi cenut-cenut, dan kaki atau tangan tak bisa digerakkan. Kalaupun bisa digerakkan, sakitnya minta ampun.

Saya harus belajar untuk mengerti bahasa tubuh ketika mereka minta waktu rehat. Tak kenal maka tak sayang itu bukan saya. Saya itu mengenal, tapi saya tak pernah sayang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com