Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengurai Kekusutan Nestapa Papua

Kompas.com - 01/11/2011, 01:44 WIB

J KRISTIADI

Salah satu kosakata Melayu (Indonesia) yang diadopsi bahasa Inggris adalah amok. Leksikon berniat menjelaskan perilaku marah (mengamuk) disertai dorongan merusak serta dikuasai hawa pembunuhan sehingga pelaku kehilangan kontrol dirinya. Dengan memungut kosakata itu, seakan-akan perilaku kalap semacam itu hanya dilakukan rumpun bangsa Melayu (Indonesia) yang sangat terkenal lembut, santun, serta ramah. Singkatnya, kata amuk bersubstansi kontradiktif: perilaku merusak dengan nafsu mematikan dilakukan oleh masyarakat yang sopan serta ramah.

Mungkin kosakata lain yang akan segera diadopsi untuk menggambarkan negara yang kekayaan alamnya berlimpah ruah, penguasanya dipilih secara demokratis, tetapi karena korupsi merajalela, rakyat menderita lahir batin, adalah Papua. Esensinya, masyarakat yang dipimpin para koruptor, tak ada korelasi antara kekayaan alam yang melimpah, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.

Kekerasan dan pernyataan kemerdekaan sebagian masyarakat Papua akhir-akhir ini hanya pucuk gunung es dari akumulasi kekecewaan, frustrasi, kemarahan rakyat Papua yang sekian lama diperlakukan sebagai kasta ”sudra”, terpinggirkan, dikuras kekayaan alamnya, dibiarkan menderita, dirampok hak-haknya sebagai manusia, dan merasa disepelekan. Sinyalemen ini mungkin berlebihan karena ada juga, meski sangat terbatas, penduduk asli Papua yang hidup berkelimpahan. Mereka adalah para pejabat publik yang sebagian dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Tak ada jalan pintas untuk mengurai keruwetan nestapa akibat kelindan korupsi dari politik transaksional yang sangat akut di Papua. Namun, minimal pemerintah Jakarta dan Papua mempunyai instrumen sebagai pintu masuk mengurai kekusutan di Papua. Gerbang tersebut adalah konsensus yang dicapai melalui perdebatan keras, melelahkan, serta alot Jakarta dan Papua, yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Mungkin banyak pihak yang muak terhadap UU Otsus Papua karena, setelah 10 tahun dilaksanakan, tidak dihasilkan kebijakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua. Hal itu dapat dicermati melalui berbagai indikator yang hasilnya menunjukkan tingginya angka korupsi sehingga otonomi khusus identik dengan korupsi. Selain itu, kemiskinan yang akut, aturan hukum yang lemah dan semrawut, kapasitas penyelenggara yang rendah, civil society yang lemah, serta masyarakat yang terkotak-kotak karena kesukuan, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan kajian Emil Salim pada Juni 2009 menyebutkan, setelah pelaksanaan otonomi khusus Papua, dengan kucuran dana triliunan rupiah sejak 2002 ke Papua (termasuk Papua Barat), justru produk domestik regional bruto beberapa tahun minus. Misalnya, tahun 2004 minus 22,53 persen, 2006 minus 17,14 persen, dan 2008 minus 1,49 persen. Ironinya, zaman Orde Baru di tahun 1995 pertumbuhan mencapai 20,18 persen. Penyebab utamanya adalah penyelenggaraan pemerintahan yang korup.

Namun, hal itu bukan berarti otonomi khusus tidak berguna. Saran menjadikan otonomi khusus sebagai pintu masuk bukan karena dana triliun yang diguyurkan Jakarta ke Papua, melainkan karena beberapa alasan mendasar sebagai berikut.

Pertama, UU Otsus merupakan kompromi politik yang maksimal dan jalan tengah di antara dua pilihan: Papua merdeka atau tetap menjadi bagian NKRI. Perdebatan tak hanya menghasilkan saling pengertian, tetapi yang lebih penting trust (rasa saling percaya) yang hampir hilang, bersemi kembali. Bahkan Jakarta, dalam konsiderans UU Otsus, secara tersirat mengakui menelantarkan rakyat Papua dan tidak tegas dalam menangani pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kedua, selain mengatur soal dana otonomi khusus, UU tersebut juga memuat berbagai hal yang sangat fundamental, antara lain (1) kebijakan afirmasi untuk orang asli Papua di bidang pendidikan, jabatan pemerintahan, kepegawaian, jabatan politik, dan sebagainya; (2) pengakuan terhadap hukum adat yang merupakan bagian dari sistem sosial dan sistem hukum nasional; (3) identitas lokal, dalam wujud lambang dan bendera; (4) penyelesaian masalah HAM dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta membentuk Komnas HAM dan Pengadilan HAM.

Hal itu tidak menafikan bahwa UU Otsus perlu disempurnakan. Dengan modal UU Otsus, dialog perlu lebih intensif, selain antara Jakarta dan Papua, yang tak kalah penting adalah dialog antarsesama penduduk asli Papua. Tujuannya, menyempurnakan kekurangan UU tersebut agar Papua mempunyai aturan yang menjadi sarana mewujudkan Papua damai secara permanen. Namun, otonomi khusus bukan lampu aladin. Diperlukan kerja sangat keras semua unsur, baik negara maupun masyarakat warga, untuk bahu-membahu mengurai kompleksitas siklus penderitaan rakyat Papua.

Letjen (Purn) Bambang Dharmono yang ditetapkan sebagai Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan dapat menyusun agenda pembangunan terfokus. Namun, yang lebih penting adalah menyuburkan bibit-bibit trust agar menjadi roh dalam implementasi UU Otsus. Trust harus dapat ditransformasi menjadi sikap membangun niat (political will) dari elite politik dan warga masyarakat untuk mewujudkan rakyat Papua sejahtera.

Dengan demikian tidak perlu lagi kosakata baru dari Indonesia yang dapat merendahkan martabat bangsa dan negara.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com