Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilih "Fairish", "Negeri 5 Menara" atau "Perahu Kertas"?

Kompas.com - 02/12/2011, 02:09 WIB

Pernah dengar nama Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, AA Navis, dan Chairil Anwar? Bagaimana dengan Dewi ”Dee” Lestari, Andrea Hirata, Clara Ng, atau Raditya Dika?

Ayu Widyatama Permatasari (17) semula tertarik dengan novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, milik temannya. Kisah ini mengangkat tokoh bernama Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat.

Dalam perjalanan hidupnya, sang tokoh menimba ilmu di Pondok Madani, Jawa Timur. Masa-masa yang mengajarkan padanya tentang arti mantera man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.

Belum sampai membaca setengah buku tentang Alif di Negeri 5 Menara, Ayu memilih berhenti. Meski kisah dalam buku itu menarik, dia merasa bahasanya makin sulit dimengerti.

”Baca bukunya jadi pusing, aku berhenti saja,” keluh Ayu.

Namun, kesannya lain saat pelajar Kelas 3 SMAN 10 Surabaya ini membaca chicklit, fiksi yang bercerita tentang dunia perempuan muda. Isinya tak berbeda jauh dengan kehidupan sehari-hari dan diceritakan dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Chiklit atau teenlit masih enak dibaca, paling satu buku hanya perlu 2-3 hari,” ujarnya.

Salah satu penulis favoritnya, Esti Kinasih. Hampir semua karya Esti sudah dia lahap, termasuk Jingga Dalam Elegi, Jingga dan Senja, Still…, dan Fairish.

”Tulisan Esti enak dibaca, biasanya aku baca kalau mau tidur,” katanya.

Sebenarnya Ayu mengenal nama Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia. Cuma sampai sekarang ia belum berminat membaca karya Pramoedya.

”Habis kayaknya sastra banget. Enakan baca buku seperti Perahu Kertas-nya Dewi Lestari,” ujarnya tertawa.

Nama Pramoedya dia peroleh dari pelajaran di sekolah. Demikian juga stok buku-buku di sekolah umumnya menyediakan sastra Indonesia. Sayang koleksi itu tak sesuai dengan selera Ayu.

”Aku biasanya membeli sendiri, makanya koleksi bukuku enggak terhitung,” kata Ayu yang mewarisi minat membaca dari orangtuanya.

Inspirasi

Bertolak belakang dengan Ayu, Azhar Hikmawan (17) malah sangat menyukai Negeri 5 Menara. Pelajar SMA Patra Mandiri itu terinspirasi dengan pengalaman si penulis.

”Dia hebat, dari latar belakangnya anak desa bisa menjadi orang yang sukses,” ungkapnya.

Sebenarnya kesukaan Azhar membaca berkat dorongan sang kakak, Zhasiri Luthfi (22). Kakaknya yang telah menyelesaikan studi di Yogyakarta itu sangat suka membaca. Waktu pulang ke Palembang, dia membawa koleksi buku-bukunya.

Kakaknya itu mengetahui Azhar suka berbicara di depan umum, termasuk mengikuti lomba debat. Dia pun menganjurkan Azhar untuk menambah pengetahuan dengan membaca.

”Saya biasanya suka visual, nonton televisi karena mudah diserap,” kata Azhar.

Tetapi sang kakak menasihatinya, tidak cukup menambah ilmu lewat televisi. Masih banyak ilmu pengetahuan lain yang bisa ia dapat, terutama dari buku.

”Akhirnya saya mulai membaca novel dan ternyata memang tidak sulit-sulit amat,” kata pelajar yang sampai sekarang juga membaca chicklit dan teenlit ini.

Bahkan, kesukaan membaca sang kakak menular. Azhar membawa novel ke sekolah dan membacanya di kala senggang. Melihat buku bacaan yang dia bawa, sebagian besar temannya berkomentar, pilihan Azhar ”berat”.

”Teman-teman lebih suka membaca jenis tulisan si Raditya Dika yang ngocol itu,” ujarnya.

Menghibur

Azhar merasa dengan membaca novel seperti Negeri 5 Menara, ia mendapat wawasan baru. Pengalaman yang berbeda ketika membaca chicklit dan teenlit atau bacaan sejenis lainnya.

”Kalau buku-buku itu (seperti chicklit dan teenlit) menghibur sih, bikin saya ketawa,” katanya.

Ayesha Tantriana (17), yang suka membaca buku di waktu luang, lebih menyukai sastra modern daripada komik, teenlit, atau chicklit. Ia menganggap ”golongan” itu mulai membosankan, temanya berkutat seputar cinta-cintaan.

”Ceritanya gitu-gitu aja, mending baca Harry Potter-nya JK Rowling,” ujar penyuka cerita fantasi ini.

Apakah Ayesha juga menyukai karya penulis Indonesia? Dia mengiyakan. Clara Ng dan Dewi Lestari termasuk jajaran penulis yang buku-bukunya kerap dia baca.

”Ceritanya enggak lebay, masih realistis, tapi tetap enak dibaca,” kata Ayesha yang membaca untuk mengisi waktu luang sekaligus menambah pengetahuan itu.

Kadang dia meminjam buku di perpustakaan sekolah. Namun, koleksi di sekolah tak terlalu banyak sehingga Ayesha membeli buku sendiri untuk koleksi pribadi.

”Membacanya bisa kapan saja, mau tidur atau waktu di angkutan umum,” kata Ayesha yang sedang membaca Tea for Two karya Clara Ng.

Bacaan berat

Minat membaca teman-teman masih ada. Penulis prosa, cerpen, dan naskah, Agus Noor, tak menyalahkan anak muda yang menganggap sastra sebagai bacaan berat. Umumnya mereka dididik untuk praktis dan pragmatis.

”Bagi mereka, ilmu bukan sebagai proses menemukan, tetapi bagaimana bisa berguna dan segera menyelesaikan persoalan,” ungkapnya.

Inilah yang terjadi. Saat membaca, banyak remaja memilih bacaan yang dianggap sederhana karena tak ingin berpikir. Kegiatan membaca bukan lagi sebagai pengembaraan imajinasi dan pengetahuan, melainkan untuk hiburan.

”Mereka akan bilang, ngapain sih pusing-pusing,” kata Agus.

Untuk gambaran, remaja banyak dihadapkan pada ”pelajaran” visual melalui tontonan televisi. Di sini mereka hanya bersikap pasif, duduk sambil makan kacang.

”Jelas ini berbeda bila kita mau membaca karena saat itu kita dirangsang secara intelektual,” kata penulis Matinya Toekang Kritik ini.

Dia tak menyalahkan minat baca remaja. Masih mau membaca saja lumayan. Meski, misalnya, di satu kelas yang berisi 40 orang, hanya 2-3 orang yang keluar dari pakem dan menyukai sastra. ”Orang-orang ini mungkin terpengaruh kebiasaan di sekitarnya.”

Contohnya, akun-akun yang menghibur dan populer di Twitter, seperti @anjinggombal, pasti mempunyai banyak pengikut. Agus bersyukur akun @fiksimini yang mengajak pengikut belajar menulis cerita mini dengan 140 karakter memiliki cukup banyak pengikut.

Bagaimanapun Agus optimistis tak semua remaja malas berpikir. Masih ada anak muda yang mau menulis dan membaca sebagai pengalaman intelektual. ”Jangan berhenti, teruslah membaca,” ajak Agus.(Fabiola Ponto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com