Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa Merambah Lahan?

Kompas.com - 20/12/2011, 02:15 WIB

Transtoto Handadhari

Seperti diberitakan Kompas (17/12), kasus Mesuji berpotensi menjadi konflik sosial lapangan yang meluas dalam jangka panjang. Apalagi, masalah land tenure yang mengatur lahan adat dan lahan negara tidak kunjung bisa diselesaikan. 

Konflik Mesuji adalah sebuah contoh pergolakan di hilir dari sebuah kebijakan hulu pertanahan yang semrawut serta pengelolaan kawasan hutan yang setengah-setengah. Dalam setiap kasus pertanahan, sudah jamak masyarakatlah yang selalu diposisikan sebagai perambah lahan, baik di kawasan hutan maupun di lahan usaha yang sudah memiliki perizinan dari pemerintah yang berwenang.

Maka, sah pula jika aparat keamanan berpihak kepada pemerintah atau pemegang izin usaha lahan. LSM sebaliknya hampir selalu berpihak kepada masyarakat meski dengan atau tanpa alasan keabsahan legalitas penguasaan lahan. Karena memang inilah ”lahan” kerja mereka yang tak urung selalu menampakkan adanya bias persepsi. Yang memprihatinkan, tak pernah dibahas secara cermat dan komprehensif kebijakan hulu pertanahan yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan seperti kasus Mesuji.

Tata ruang wilayah

Sebelum adanya penataan ruang wilayah, kawasan hutan ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Peta TGHK, yang disusun dengan sangat cepat pada awal dekade 1980-an, menggunakan dasar SK Menteri Pertanian tahun 1980 yang sangat sederhana dan peralatan seadanya—memang disusun untuk menyelamatkan kawasan hutan dan ekosistem lingkungan yang diprediksi segera berkembang mengkhawatirkan.

Pesatnya pembangunan yang memerlukan lahan hutan memunculkan upaya penataan ruang mulai tahun 1990-an. Ironisnya, sampai kini Peta TGHK masih diacu karena hasil padu serasi antara TGHK dan rencana tata ruang wilayah provinsi belum juga tuntas, bahkan selalu muncul keinginan revisi di tingkat kabupaten.

Pemahaman filosofi tata ruang yang hanya dianggap upaya mengatur alokasi lahan untuk berbagai kepentingan, apalagi ditambah penetapan angka adanya minimal 30 persen kawasan hutan di setiap wilayah daerah aliran sungai atau daratan yang termuat dalam UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, merupakan kenaifan yang sangat mendasar, yang jadi biang permasalahan tata ruang yang tiada habisnya.

Keabsahan kuasai lahan

Apakah keabsahan sebuah perizinan penggunaan lahan adalah legal dan, karenanya, layak dibela? Ternyata izin yang sah di negeri ini belum tentu legal. Jika mengacu pada UUD 1945, UU Pertanahan, dan sejumlah aturan serta konvensi pertanahan yang diakui, masyarakat berada di pihak yang seharusnya diutamakan kepentingannya. Namun, pemahaman tentang lingkungan ataupun kelestarian biodiversitas menuntut adanya upaya sungguh-sungguh menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com