Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tenggelam dalam Ekstase Konser

Kompas.com - 29/01/2012, 19:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Katy Perry pulang, Rod Stewart bersiap datang. Orang larut di arena konser dan tenggelam dalam gelombang perasaan gembira. Inikah tanda bahwa konser telah menjadi perekat sosial yang baru?

Rod Stewart siap datang ke Jakarta. Sabtu (28/1), Kompas berbincang-bincang via telepon dengan legenda yang berada di Inggris itu. "Malam ini saya berangkat ke Jakarta lewat Singapura," kata Rod memastikan kedatangannya ke Jakarta.

Digelar oleh promotor Bigdaddy, Rod dijadwalkan tampil Selasa (31/1) malam di Jakarta Convention Center. Ia berjanji akan membawakan lagu populernya, seperti "Sailing" dan "I Don’t Wanna Talk About It". "Saya akan menyuguhkan konser dua jam. Itu akan menjadi konser yang lively dan spektakuler," kata Rod.

Rod Stewart hanyalah salah satu bintang yang bakal menambah seru jagat perkonseran di Indonesia. Fenomena rakyat berduyun-duyun membanjiri arena konser makin marak belakangan ini. Lihatlah antrean calon penonton konser Katy Perry yang mengular di depan gerbang Sentul International Convention Center, Bogor, Kamis (19/1) petang. Anak muda berpenampilan meniru Katy, baju ketat dan rambut palsu warna-warni seperti permen lolipop, datang dengan wajah bergairah.

Ya, lima jam sebelum konser berlangsung, getarannya sudah begitu terasa. Getaran itu lantas meledak jadi histeria ketika artis yang sedang digandrungi anak muda di dunia itu benar-benar berdiri di atas panggung. Sekitar 7.000 penonton yang memadati arena Sentul menjerit dan berjingkrak.

Pemandangan seperti itu kian mudah kita temukan sejak gairah untuk menonton konser meningkat belakangan ini. Justin Bieber, Iron Maiden, David Foster, Pitbull, Westlife, sampai 2PM mendapat sambutan heboh di Jakarta.

Begitulah, Jakarta telah menjadi "ibu kota konser" seperti halnya Tokyo dan Singapura. Musisi besar mulai dari sekelas boyband hingga legenda seperti Carlos Santana dan John Mayall silih berganti tampil di Indonesia. Konser asing terbanyak terjadi Oktober 2011. Pada bulan itu, setidaknya digelar tujuh konser musisi asing.

Kalau ditotal selama setahun, menurut data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, pada tahun 2011 tercatat 1.564 musisi asing yang mengurus izin tampil di Jakarta. Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan tahun 2010 dan 2009 yang tercatat masing-masing 1.392 dan 786 musisi asing. "(Bisnis) konser benar-benar sedang meledak," kata Tommy Pratama, promotor konser dari Original Production. Dia memperkirakan, bisnis ini akan terus marak sepanjang tahun 2012. Pasalnya, lanjutnya, masih banyak musisi asing yang antre untuk tampil di Indonesia.

Tommy tidak mengada-ada. Lihat saja, baru memasuki minggu ketiga Januari, sudah ada dua konser band asing yang digelar dalam jeda waktu pendek. Simple Plan tampil di Istora Senayan pada 17 Januari, Katy menggebrak Sentul dua hari kemudian.

Pada bulan Maret, Roxette dan Stevie Wonder dijadwalkan menggelar konser di Jakarta. Juni, giliran New Kids On The Block—boyband tahun 1980-an yang anggotanya sudah jadi om- om—akan datang menyapa penggemarnya yang juga mungkin sudah jadi om atau tante. Di luar itu, ada puluhan band dan penyanyi asing yang akan tampil di sejumlah festival musik, seperti Java Jazz, Java Rockinland, Soulnation, dan Inablues.

Keranjingan konser

Apa yang membuat musisi asing berbondong-bondong menggelar konser di Indonesia? Penarik utamanya tentu saja pasar industri konser yang besar. "Pasar kita sekarang terbesar nomor dua di Asia setelah Jepang," ujar Marcel Permadhi, Direktur Berlian Entertainment.

Tidak hanya besar, lanjut Marcel, pasar di sini sudah kecanduan nonton konser. Apa pun musiknya, pasti ada penontonnya. Berapa pun harga tiket, pasti ada pembelinya. Marcel punya pengalaman soal itu. Ketika perusahaannya menggelar konser David Foster tahun 2010 di Jakarta, tiket termahal konser tersebut yang selembarnya Rp 25 juta tetap jadi rebutan orang.

Segmen pasar konser di negeri ini juga terbentang luas mulai dari anak-anak usia 1-5 tahun, remaja usia belasan tahun, hingga orang dewasa berusia 50-an tahun ke atas. Namun, menurut Tommy Pratama, pasar konser terbesar saat ini ada di segmen remaja. "Mereka termasuk boros nonton konser," ujarnya.

Mari tengok pengeluaran Andine (18), pelajar SMA di Jakarta Selatan. Sepanjang tahun 2011, dia menonton lima konser dengan harga tiket Rp 500.000-Rp 1 juta. "Kalau nonton-nya di luar negeri, pengeluarannya pasti tambah," kata Andine, yang ditemui sebelum menonton konser Katy Perry.

Pencinta konser berusia dewasa tidak kalah borosnya. Tinuk (40) mengaku setiap bulan rata- rata mengeluarkan Rp 2 juta untuk nonton konser. Kalau dikalikan setahun, jadi Rp 24 juta.

Sebagian pencinta

"mengorganisasi" diri dalam komunitas maya. Salah satunya, komunitas JakartaConcert.com. Komunitas ini didirikan dan diasuh oleh M Ryan Novianto (24), pencandu konser yang selama tahun 2010 menonton 50-an konser.

Siapakah mereka? Mereka adalah bagian dari kelas menengah Indonesia yang dalam hitungan Bank Dunia jumlahnya 134 juta orang. Sebanyak 29 juta di antaranya, menurut survei Nielsen, merupakan kelas menengah premium yang nilai belanjanya setiap tahun amat fantastis jumlahnya. Sebagian dari mereka adalah komunitas masyarakat baru yang tumbuh seiring dengan bertumbuhnya perekonomian Indonesia sejak tahun 2000.

Perekat sosial

Bambang Sugiarto, pengamat sosial dan dosen filsafat dari Universitas Parahyangan, Bandung, melihat merebaknya konser musik belakangan ini ada kaitannya dengan bangkitnya kelas menengah di Indonesia. Mereka secara finansial telah mapan dan ingin menikmati hiburan, termasuk menonton konser.

Kegandrungan untuk menonton konser ini kian besar lantaran perekat sosial tradisional, seperti agama, suku, dan partai politik, kian tidak jalan di kalangan kelas menengah. "Orang, misalnya, tidak mau memikirkan partai sebab di dalam partai orang korupsi dan gontok-gontokan," ujarnya.

Dalam kondisi seperti ini, masyarakat mencari perekat sosial yang baru. Dan, sebagian dari mereka menemukannya di komunitas-komunitas yang lahir karena kesamaan minat, termasuk komunitas pencinta konser. "Di sinilah mereka benar-benar melebur, terekat, dan tenggelam dalam ekstase kesenangan yang sama," tutur Bambang. (Budi Suwarna/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com