Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putri yang Terjual

Kompas.com - 05/07/2012, 19:21 WIB

Cerpen Marsus Banjarbarat*
 
Mursalam tak kuasa menahan sedih. Ia menangis saat mendengar suara iba putrinya yang sudah sebelas tahun bekerja di Arab Saudi. Ia sangat terharu, tak menyangka kalau akhirnya bisa mendengar suara putri kesayangannya yang cantik itu. Dengan penuh rasa senang, Mursalam telah memperoleh kabar prihal keadaan anaknya di Arab Saudi. Ya, kabar Masriyam maskipun hanya sejenak melalui telpon selama kurang lebih lima menit. Dan setelahnya, tanpa pamit tiba-tiba Masriyam terburu-buru mematikan telepon yang sedang digenggam erat ayahnya.

Selama beberapa tahun Masriyam pergi ke Arab Saudi. Hanya terhitung dua kali ia memberi kabar kepada ayahnya. Pertama, sewaktu Masriyam baru sampai ketempat kerjanya di Arab Saudi. Kedua, sewaktu ibunya meninggal dunia selang beberapa bulan dari keberangkatan Masriyam bekerja. Setelah itu dia tak pernah memberi kabar lagi tentang keberadaannya di sana.

Kali ini Masriyam memberi kabar lagi untuk hitungan ketiga kali—menghubungi ayahnya. Dengan sebuah perbincangan kecil lewat telepon, Masriyam bercerita beberapa hal. Namun sayang, cerita itu belum bisa tertangkap jelas oleh ayahnya. Apa yang Masriyam maksud dalam cerita itu dan apa yang sedang ia alami di tempat kerjanya tersebut? Semuanya menjadi sebuah mesteri bagi Mursalam. Suara Masriyam yang terdengar dalam telepon tiba-tiba menghilang entah apa sebabnya. Namun yang pasti, sebelum Masriyam mengakhiri perbincangan itu, terdengar sedikit lamat-lamat jerit histeris tertangkap telinga ayahnya.
***
“Nak..., pulanglah! Ayah dan adik-adikmu kangen ingin cepat bertemu,” ujar Mursalam sambil meneteskan air mata.
Masriyam berangkat ke Arab Saudi sudah bertahun-tahun lamanya. Ia berangkat melalui salah satu Pengarah Jasa TKI di Jakarta. Dan hingga saat ini, semua keluarganya belum tahu kejelasan nasib Masriyam di sana. Bernasip baik atau burukkah? Bahkan Mursalam, ayahnya pun belum pernah dikirimi uang sepeser pun dari anak gadisnya selama ia bekerja di luar negeri.

Karena sudah beberapa tahun Masriyam tidak pernah memberi kabar, apalagi mengirim uang kepada keluarganya, Sakimin, kakak sepupu Masriyam bermaksud untuk melaporkan masalah ini kepada pihak yang berwenang. Dia khawatir akan keadaan Masriyam di Arab Saudi. Sakimin menginginkan agar Masriyam bisa cepat-cepat pulang. Bahkan sebelum lebaran tahun ini Masriyam sudah datang berkumpul di kampung halaman.
“Percuma! Rencana itu sudah saya lakukan dua tahun lalu. Tak hanya satu-dua kali, bahkan berulangkali. Tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya. Masriyam tetap tak pulang-pulang. Mau dihugungi saja ingin tahu kabarnya tidak pernah bisa,” bantah Sabidin, paman Masriyam, yang dulu memberi kabar lowongan kerja ke Arab Saudi.

“Tapi kan tak ada salahnya sekarang kita coba kembali. Kita laporkan kepada Kedutaan Besar Indoesia agar mereka mendesak majikan Masriyam supaya Masriyam secepatnya dipulangkan ke Indonesia,” kata Sakimin semangat.
“Dulu juga begitu. Namun hingga saat ini Masriyam belum kunjung kembali ke Tanah Air,” bantah Sabidin lagi.
Sakimin bergeming. Pikirannya kacau-balau entah apa yang sedang dipikirkan. Setelah beberapa detik, Sabidin meneruskan perbincangannya.
“Tahun lalu, ketua lembaga Bantuan Hukum juga telah berjanji, kalau Masriyam akan dipulangkan satu minggu sebelum hari lebaran saat itu. Tapi nyatanya apa? Sampai sekarang Masriyam belum kembali ke kampung halaman.” Sabidin kecewa.

Sakimin memalingkan wajahnya, sesekali menggambarkan betapa sedih nasib Masriyam di Arab Saudi. Spontan Sakimin teringat akan berita-berita TKI yang sering menjadi korban penganiayaan majikannya. Tetapi anehnya, entah mengapa masih banyak orang yang belum jera, dan mereka pun dengan senang hati menerima tawaran menjadi TKI di luar negri.

“Lalu harus bagaimana? Apa semua ini akan dibiarkan begitu saja terus berlarut-larut? Sementara kita tidak tahu bagaimana keberadaan Masriyam di sana?”
“Kita juga tidak tahu apakah Masriyam masih hidup atau....”
“Hussstt..., jangan ngaur  kamu,”
“Yakinlah dan berdoa! Masriyam pasti hidup senang di sana.”
***
Bulan Suci Ramadan sudah tiba. Masriyam belum memberi kabar kapan dia akan kembali ke Tanah Air. Pasalnya, sewaktu dihubungi oleh pihak yang bertanggungjawab beberapa hari lalu, katanya Masriyam akan segera memberi kepastian untuk segera kembali ke Indonesia. Dan yang pasti, di bulana Suci ini dia akan berusaha sampai ke kampung halaman.

“Semoga saja Masriyam benar-benar cepat kembali!”
“Iya, aku juga berharap begitu. Kasihan sama Mursalam, dia sudah lanjut usia. Sering sakit-sakitan pula. Tak mampu bekerja untuk membiayai hidupnya.”

Satu hari, dua hari, hingga satu minggu Masriyam belum juga menghubungi pihak keluarganya. Padahal Mursalam sudah terlanjur diberi tahu kalau putrinya tak lama lagi akan segera menghubungi dan memberi kepastian kapan dia akan pulang. Dan yang jelas, Mursalam akan selalu menanti dan berharap putrinya bisa datang di bulan penuh berkah ini. Disamping Mursalam memang tinggal sendiri tak ada yang menemani. Dia juga sangat merasa kangen ingin cepat berjumpa dengan anak gadisnya yang cantik itu. Yang sudah belasana tahun pergi tak ada kabar.
Tak ada orang tua yang tak merindukan anaknya. Apalagi selama bertahun-tahun pergi tanpa ada ujung rimbanya. Tak terkecuali Mursalam orang tua Masriyam, yang selalu mendamba-dambakan bisa segera bertemu dengan anaknya. Tetapi sumua angan-angan itu sia-sia tanpa ada kepastian yang mewujudkannya.

“Mungkin dalam minggu ini Masriyam akan menghubungimu, Salam,” ujar Sabidin sewaktu Mursalam menanyakan putrinya.

Mursalam hanya mengangguk pelan sembari menundukkan kepalanya. Benarkah dia akan pulang? Tanya Mursalam ragu dalam hatinya. Namun ia sesegera menghapus keraguan itu. Masriyam pasti pulang. Ya, dia pasti pulang ke kampung kelahiran, lanjutnya dengan suara samar. Lalu sejenak Sabidin beranjak meninggalkan Mursalam. Mursalam pun malangkah tertatih-tatih memasuki rumahnya.

Dua puluh tahun silam, desisinya. Dia memperhatikan gambar istri dan anaknya yang sedang berpelukan. Ya, dua puluh tahun silam, Mursalam teringat jelas saat dia hidup bersama istri dan anaknya. Dengan penuh rasa senang dan bahagia. Tapi sekarang..., ah, semuanya telah sirna. Anaknya pergi merantau tanpa ada kabar, sedang istrinya telah meninggal dunia beberapa tahun silam.
***
Lebaran telah tampak diujung mata. Masriyam belum juga memberi kabar kapan dia akan pulang. Padahal Mursalam menyimpan harapan besar agar putrinya itu bisa kembali sebelum lebaran tiba. Dan entahlah, penantian yang selama bertahun-tahun ia rasakan, akankah terwujud kali ini atau tidak? Semuanya hanya dijadikan sebuah mesteri yang tak pernah ditemukan ujung pangkalnya.

Saat malam tiba, Mursalam selalu duduk termangu melipat kedua tangannya. Memikirkan sang anak begitu mendalam. Sehingga kadang tanpa terasa ada setitik air bening mengalir di garis-garis pipinya. Mursalam juga selalu berandai-andai, ketika malam tiba, esok paginya akan kedatangan tamu terhormat yang ia damba-damba, tak lain adalah putrinya sendiri yang ia dambakan sudah menjadi orang besar di sana. Di Arab Saudi yang bekerja sebagai TKI.

Mursalam tersenyum bila teringat kepada tetangganya yang baru saja datang dari Arab Saudi. Dia datang membawa oleh-oleh sangat banyak untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya. Selain itu, kabarnya dia juga membawa uang banyak dari hasil pekerjaannya di Arab Saudi. Mendengar kabar itu, Mursalam semakin tak sabar menunggu kedatangan anaknya yang juga bekerja di Arab Saudi.

Ya, tak lama lagi pasti merasakan kebahagiaan juga seperti yang mereka rasakan saat menyambut kedatangan anaknya yang bekerja di Arab Saudi, desis Mursalam pelan. Sesekali dia mengumbar senyum tipis menatap foto anaknya saat ia masih berumur 12 tahun.
***
Dua hari lagi lebaran akan tiba. Wajah Mursalam terlihat sedih dan kecewa. Sebab putrinya masih belum pulang dan belum ada kabar. Lalu, ia datangi lagi rumah Sabidin, untuk menanyakan kapan putri kesayangannya itu sebenarnya akan kembali ke kampung halaman?
“Sabarlah, Salam..., tidak perlu khawatir. Masriyam masih baik-baik saja di sana,”
“Ini ada sedikit kiriman uang dari putrimu, untuk kebutuhanmu di hari lebaran nanti.” Lanjut Sabidin tersenyum sambil mengulurkan uang lima puluh ribuan sebanyak tiga lembar.
“Uang itu dikirim oleh Masriyam disuruh kasikan kepadamu.” Tambahnya.
“Sejak kapan Masriyam mengirim uang ini. Apa dia tidak jadi pulang lebaran kali ini?” Tanya Mursalam penasaran.
“Yang penting anakmu sehat-sehat saja di sana. Kamu tidak perlu khawatir! Nanti kalau dia sudah diijinkan pulang oleh majikannya pasti kukabarkan padamu.”

Mursalam diam bergeming. Sesekali tersenyum melihat tiga lembar uang yang sedang dipegangnya. Dia merasa senang karna anaknya sudah mengirimkan uang. Dengan begitu, berarti dia sudah sukses dan berhasil dalam pekerjaannya di sana, pikirnya. Setelah sebentar, lalu Mursalam pergi meninggalkan rumah Sabidin. Dan Sabidin pun mulai tersenyum geli mengiringi kepergian Mursalam yang telah berhasil dia bohongi.

Oh, tidak! Bukan hanya Mursalam sebenarnya yang dia bohongi. Masriyam pun yang pertama dikelabuhi. Semenjak beberapa bulan saat Masriyam pergi bekerja ke Arab Saudi, Sabidin mengabarkan kepada Masriyam, kalau ayah dan ibunya telah meninggal dunia karena kecelakaan. Dan sebab rencana licik Sabidin itulah Masriyam dan Mursalam terpisahkan. Masriyam tak pernah menghubungi orang tuanya lagi karena ia pikir mereka sudah meninggal. Dan sebagian uang hasil dari pekerjaan Masriyam pun ia kirimkan setiap bulan kepada Sabidin, pamannya sendiri.

Tak ada seorang pun yang mengetahui tentang masalah ini. Tentang kelicikan Sabidin yang telah memperalat Masriyam untuk bekerja di luar negeri. Dan hasil pekerjaannya diam-diam memang ingin supaya diberikan kepadanya. Dan bahkan dari saking liciknnya Sabidin, sebenarnya Masriyam dikirim ke luar negeri bukanlah sebagai TKI. Tetapi sebagai wanita penghibur bagi lelaki yang haus akan melampiaskan nafsu birahinya. Ah, lebih tepatnya, Masriyam di jual oleh Sabidin ke luar negeri sebagai pelacur, sebagai wanita malam, wanita penghibur para kaum lelaki.*
 
Yogyakarta, September 2011
 
*)Penulis adalah cerpenis kelahiran Sumenep. Sekarang menjadi mahasiswa Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Cerpen dan puisinya sering dimuat di koran lokal dan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com