Surabaya, Kompas -
Selama ini ketokohan Soekarno menjadi satu dengan Mohammad Hatta sebagai dwitunggal dan mendapat gelar Proklamator. Gelar proklamator ini justru mereduksi kebesaran Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai individu.
Demikian disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie seusai seminar ”Kepahlawanan dan Konsistensi Perjuangan Mewujudkan Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945” di Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/7). Hadir pula Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae, dan sejarawan JJ Rizal.
”Kepahlawanan Soekarno ini dapat memasyarakatkan kembali identitas kebangsaan dan falsafah hidup bersama,” kata Jimly.
Wacana penetapan Soekarno sebagai pahlawan nasional ini dapat dilakukan sambil meluruskan catatan sejarah yang hilang mengenai proklamator dan salah satu pendiri bangsa ini.
Menurut Jimly, sejarah yang perlu diluruskan adalah peristiwa pencabutan mandat Soekarno oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tahun 1967. Pencabutan mandat itu dikaitkan dengan peristiwa Gerakan 30 September. Asumsi mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan Soekarno sampai saat ini masih dibiarkan menggantung.
JJ Rizal mengatakan, persoalan hukum Soekarno yang menggantung sama saja seperti memfitnah Soekarno. Kondisi ini, jika dibiarkan, akan menuju pada kesimpulan bahwa pemikiran dan pandangan Soekarno sudah usang dan tidak lagi kontekstual. Kondisi ini membuka peluang besar munculnya manipulasi dan penipuan.
“Tokoh politik yang tidak bermoral bisa mengaku setia pada ajaran Soekarno. Padahal, mereka menjalankan kebijakan dan program yang justru bertentangan dengan prinsip Soekarno,” kata Rizal.
Jimly mengatakan, hasil seminar mengenai kepahlawanan itu akan ditindaklanjuti akademisi. Jimly berharap paling lambat tahun 2013 Soekarno sudah dapat ditetapkan sebagai pahlawan nasional.