Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukit Masa Tua Drumer Jazz

Kompas.com - 29/07/2012, 19:14 WIB

Mawar Kusuma

Papan nama kayu bertulis Benny Mustafa & Family tergantung di gapura depan rumah drumer jazz Benny Mustafa Van Diest (72). Papan yang mulai lapuk itu mengiringi perjalanan hidup keluarga Benny yang tinggal di Bukit Cinere sejak 1974.

Memasuki pintu gerbang, terhampar pekarangan luas diteduhi dua pohon rambutan besar. Sebuah rumah panggung di halaman muka yang dulu menjadi pusat semua kegiatan keluarga tampak kosong dan tak terawat. Benny memilih mengajak tamunya masuk ke rumahnya yang bergaya Belanda.

”Dulu, rumah ini terasa sempit. Sekarang jadi terlalu luas karena saya hanya tinggal sendiri,” kata drumer yang terkenal sejak zaman band Eka Sapta era akhir 1960-an itu.

”Kalau masih banyak anak-anak, ya, tidak terasa sepi. Dulu mereka punya grup musik dan main di rumah panggung depan itu. Ramai sekali,” kata Benny mengenang masa yang telah lalu.

Benny lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri di rumah sejak istrinya meninggal dunia dan anak-anak beranjak dewasa. Di waktu luang seperti sore itu, Benny mengisi dengan menjalankan hobi mengecat rumah. Koran alas cat, kaleng, kuas, dan tangga berserakan di sudut ruang tamu. Proses mengecat rumah itu sering kali terhenti karena Benny bermasalah dengan tangga yang tinggi.

Pembagian fungsi ruangan diakui Benny mulai kacau. Kasur, misalnya, dibiarkan terhampar di samping kursi ruang tamu. ”Cucu Oom juga sudah gede-gede. Ada delapan. Semua sudah pergi,” tambah Benny yang membahasakan diri sebagai Oom kepada lawan bicara yang lebih muda.

Drumer tanpa drum

Sebagai drumer yang ikut berperan besar dalam memperkenalkan jazz dari Indonesia ke kancah internasional, Benny ternyata tak menyisakan ruang untuk drum di rumahnya. Bagian paling personal dari drum set miliknya, seperti snare dan cymbal, pernah beberapa kali dijual ketika tidak memiliki pekerjaan.

Kebanyakan seniman drum akan mempertahankan snare yang menjadi ciri khas permainan drum. Makin tua sebuah snare drum, menurut Benny, makin enak suaranya. Benny pertama kali menjual snare drumnya tahun 1974 dan membeli kembali setelah mendapat tawaran main drum di Osaka.

Pada 1998, Benny kembali menjual snare miliknya dan memperoleh kembali snare sebagai hadiah ketika main dengan tujuh pendekar drum di Jamz, Jakarta, pertengahan 1990-an. Snare itu pun saat ini tak lagi ada di tangan setelah diminta oleh seorang cucunya. ”Main drum sendirian itu agak aneh dan kesel juga. Sekarang gampang jamming di mana-mana,” tambahnya.

Kerinduan Benny terhadap musik jazz diobati dengan hobi menonton DVD yang dibeli dari Pasar Mangga Dua. Ia memburu koleksi karya drumer jazz Amerika, ”Tony” Williams atau Jack DeJohnette. Dalam suatu perjumpaan, mereka sempat berujar kepada Benny soal kemampuan bermain drumnya, ”You have something that we don’t have.”

Tetabuhan khas Nusantara 

Sesuatu yang hanya dimiliki oleh Benny itu adalah keunikan bunyi-bunyian khas Nusantara, seperti gamelan, suling, hingga siter yang dipadukan dalam bunyi drum. Tetabuhan tradisional itu mewarnai permainan musik Bubi Chen, Maryono, Jopie Chen, dan Jack Lesmana dalam grup musik Indonesian All Stars yang terbentuk tahun 1967.

Benny masih ingat ketika ia dan rekan-rekannya mendapat standing ovation saat memainkan ”Burung Kakak Tua” di

Berlin Jazz Festival. ”Kami main lagu, improvisasi di tengah lalu hilang. Hilang dalam arti kita main dalam nada-nada yang cocok,” kenang Benny.

Tepuk tangan sambil berdiri serupa juga dipanen ketika mereka tampil di Tokyo dengan lagu irama Sunda. ”Oom main ritme, Maryono kesetanan meniup flute. Suasananya tidak bisa dideskripsikan harus mengalami sendiri. Bule tahu, ini luar biasa. Momen gitu enggak bisa dihitung uang. Satu kekayaan yang kita bawa mati,” tambahnya.

Ketika berbincang tentang drum dan jazz, semangat muda Benny kembali bergejolak. Matanya berbinar dan bicaranya langsung berapi-api. Ia bercerita petualangannya bermain musik di semua kota besar di dunia. Kepuasan terbesar menjadi musisi bagi Benny adalah memberi penghiburan bagi orang lain.

Perkenalan Benny dengan musik jazz dimulai pada usia 13 tahun. Benny tertarik soul dan beat musik jazz yang disiarkan tengah malam di radio Voice of America. Ia lantas belajar bermain drum dari seorang drumer asal Ambon, Bart Risakotta. Sadar tak bisa kaya di jalur musik jazz, Benny sempat mencoba bekerja di pelayaran, tapi tidak betah.

Benny lantas bermain sebagai drumer profesional sejak 1957 dan diberi penghargaan oleh Bung Karno sebagai satu dari 17 anak muda yang menonjol. Bersama Bing Slamet, Ireng Maulana, dan Idris Sardi, Benny mengikuti New York World Fair 1964 sebelum kemudian berkeliling Eropa hingga Afrika.

Ekstra hemat

Meski sudah berkeliling dunia, jazz ternyata tak bisa diandalkan sebagai sumber penghasilan. Jika tak ada jadwal tampil, Benny harus ekstra berhemat. Kuliah anak pertamanya di Universitas Indonesia sampai memakan waktu sepuluh tahun karena harus ikut vakum ketika Benny tak mendapat tawaran tampil.

Benny pun bersiasat. Ia juga bergabung dengan grup pop dan rock. ”Amplopnya ya dari grup rock dan pop. Kalau jazz kita nikmatin, terserah dibayar berapa aja. Musik jazz enggak bisa dipelajari, kita harus dengar dan hati harus tersentuh,” kata Benny.

Uang yang dikumpulkan dari bermain musik digunakan untuk membeli tanah seluas 1.000 meter persegi. Awalnya, Benny hanya membangun satu kamar berukuran 4 meter x 4 meter sebelum kemudian bertumbuh menjadi lima kamar plus dapur, ruang tamu, kamar mandi, dan sebuah paviliun di halaman belakang.

Kamar yang pertama kali dibangun itu sempat menjadi kamar anak bungsunya, Ali Mustafa, yang pernah menjadi anggota boyband Coboy pada era 1990-an. Kamar Ali itu kini digunakan sebagai ruang jemuran baju.

Meskipun memiliki darah keturunan Belgia dan banyak anggota keluarganya bermukim di Belanda, Benny mengaku lebih nyaman tinggal di Jakarta. ”Oom ada di akhir kehidupan Oom sebagai musisi. Oom ingin hidup tenang dan meninggal tanpa rasa sakit,” ujar Benny.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com