Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Pi yang Spektakuler

Kompas.com - 02/12/2012, 17:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Namanya Piscine Moralto Patel. Nama pemberian sang paman yang gemar berenang dan pernah tinggal di Paris. Panggilannya Pi, dibaca pai. Hobinya mengamati perilaku binatang. Agamanya? Tak ada yang spesifik. Pi menemukan kehadiran Tuhan di agama mana pun. Ia memperoleh ketenteraman ketika memandangi Dewa Wisnu. Ia menyayangi Isa Almasih. Ia juga merasakan kehadiran-Nya ketika berzikir di masjid.

Di kota kecil Pondicherry, India, yang sempat menjadi koloni Perancis, Pi menemukan surga kecilnya. Sebuah kebun binatang yang dikelola ayahnya. Dalam hidupnya, Pi hampir-hampir tidak memerlukan jam. Ketika harimau mengaum pada pagi hari, itu artinya waktu bangun. Ketika monyet-monyet dan kakaktua menjerit-jerit, itu artinya waktu makan pagi. Dan sewaktu berangkat sekolah pun, ia menyapa deretan binatang, seperti bison, orangutan, dan tentu saja Richard Parker, harimau Bengali yang selalu menggugah keingintahuannya.

Ketika pergolakan politik terjadi di Pondicherry, keluarga Patel memutuskan beremigrasi ke Kanada dengan membawa semua binatang miliknya. Untuk menghibur Pi yang menentang keras perpindahan itu (karena sedang jatuh cinta), sang ayah membujuknya, "Pi, kita akan berlayar mengarungi samudra, seperti Columbus!" Pi pun menjawab, "Lha bukannya Columbus itu berlayar untuk menemukan India?"

Inti cerita bermula di sini, ketika kapal kargo berbendera Jepang yang mereka naiki, TsimTsum, dihantam badai dan tenggelam di perairan Pasifik. Tak ada yang selamat, kecuali Pi bersama seekor hiena, seekor zebra, seekor orang utan, dan Richard Parker. Kelimanya tak sengaja terjatuh ke kapal sekoci.

Dalam hierarki survival, yang terkuat adalah pemenang. Lima makhluk yang berada dalam sekoci itu pun akhirnya menyusut menjadi dua. Pi dan Richard Parker, terapung di tengah Samudra Pasifik.

Parker yang sempurna
Ketika dua makhluk ini harus berhadapan dan menyusun strategi untuk bertahan hidup, ketegangan pun dibangun. Terlebih, teknik computer generated imagery (CGI) dan 3D mampu menciptakan sosok Parker dengan sempurna. Langkahnya, gerakannya, mencuatkan kebuasan. Aumannya bisa mendirikan bulu roma.

Baik Pi maupun Parker menghadapi tantangan yang sama: keganasan alam, kelaparan, kesepian, bahkan kebosanan. Dalam novelnya yang memenangi Man Booker Prize, penulis Yann Martel mengeksplorasi wilayah ini sebagai representasi perjalanan spiritual Pi ke titik ekstrem. Sampai Pi, yang tak pernah meragukan kehadiran Tuhan, tak lagi takut mati. Ia pasrah pada takdir apa pun yang menantinya.

Sutradara Ang Lee secara luar biasa menerjemahkannya dalam gambar-gambar yang spektakuler. Lihatlah bagaimana Richard Parker berjuang naik ke kapal setelah terlempar ke laut, bagaimana ia "menari" menangkapi ikan terbang. Amatilah ketika ribuan ubur-ubur memantulkan cahaya di tengah kegelapan malam. Di tangan Ang Lee, keganasan badai yang menjungkirbalikkan isi laut sama puitisnya dengan ketika laut diam tanpa riak dan memantulkan bayangan permukaan. Seperti juga suasana hati Pi yang senantiasa bergejolak, dari ketakutan, kemarahan, sampai akhirnya berhenti pada kepasrahan.

Di titik ini, Pi memutuskan untuk menjalin komunikasi dengan Parker. Lewat tatapan mata, bentakan, dan tiupan peluit. Yang mustahil pun terjadi. Mereka bisa berdampingan, dan puncaknya... bersentuhan. Pi disadarkan, tanpa kehadiran Parker, dia mungkin tak akan mampu bertahan hidup selama 227 hari di tengah lautan. Toh, tetap ada sekat yang membedakan. Binatang tetaplah pada kodratnya. Tak ada rekam jejak emosi dalam kepalanya. Keharuan hanyalah milik manusia.

Memikat
Life of Pi adalah karya fiksi hebat yang divisualkan secara luar biasa oleh Ang Lee. Ditambah akting Suraj Sharma (Pi remaja), Irrfan Khan (Pi dewasa), dan Tabu (ibu Pi) yang prima, film ini secara keseluruhan memikat. Adegan kebersamaan Pi dan Parker di tengah samudra yang mengambil porsi besar dari keseluruhan film juga jauh dari membosankan. Life of Pi berupaya merangkum isu-isu besar—sebutlah toleransi beragama, spiritualisme, bahkan rasisme—dengan elegan, tanpa niat berkhotbah.

Ketika novelnya dipublikasikan pada tahun 2001, pertanyaan terbanyak yang diajukan pembaca pada Yann Martel adalah apakah kisah ini nyata. Ia menjawab, "Tentu saja ini nyata. Bukankah seni yang indah itu selalu nyata. Ada kebenaran-kebenaran yang melampaui kebenaran faktual. Mereka tidak bertentangan dengan fakta-fakta, tapi hanya sekadar melampauinya." (MYR/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau