Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BNN Bermain di Wilayah Abu-Abu

Kompas.com - 30/01/2013, 18:38 WIB
Windoro Adi

Penulis

oleh WINDORO ADI

Hari Minggu (27/1), Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap empat artis dan 13 orang lainnya di rumah artis Raffi Ahmad (26) di Jalan Gunung Balong, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Uji urine pertama membuktikan, dua orang mengonsumsi ganja, dua orang mengonsumsi ekstasi, dan seorang mengonsumsi ganja dan ekstasi.

Keempat artis dinyatakan negatif mengonsumsi ganja maupun ekstasi. Selanjutnya BNN mengumumkan, hasil uji urine menunjukkan, dua orang lagi mengonsumsi derifat cathinone  yang disebut sebagai methylone.  Dan ternyata kata BNN, lima orang yang mengonsumsi ganja dan ekstasi seperti disebut sebelumnya, juga mengonsumsi methylone.  Dengan demikian, jumlah yang mengonsumsi methylone menjadi tujuh orang.

Wilayah abu-abu

Kepala Unit Pelayanan Teknis Laboratorium BNN Ajun Komisaris Besar Kuswardani mengakui, methylone memang belum diatur dalam Undang-Undang Tahun 2009 Nomor 35 tentang Narkotika.

Meski demikian, kekosongan hukum ini bisa diatasi dengan paparan saksi ahli mengenai dampak negatif methylone yang serupa dengan dampak negatif ekstasi. Dampak negatif bagi pengguna methylone maupun ekstasi adalah merusak sistem syaraf pusat dan sistem kekebalan tubuh.

"Jadi saya berharap, meskipun methylone atau derifat cathinone ini belum diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, majelis hakim akan mempertimbangkan efek negatif pengguna derifat cathinone ini," ungkap Kuswardani. Baik ekstasi maupun methylone menstimulasi tubuh dan menyebabkan penggunanya dihinggapi halusinasi (stimulan dan halusinogen).

"Penuh semangat dan stamina, riang gembira dan mudah berhalusinasi tentang hal-hal yang indah," kata psikolog yang bekerja di Pusat Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Yayasan Permata Hati Kita, Bogor, Joyce Djaelani Gordon.

Kuswardani membenarkan hal itu. Guru Besar Sosiologi Hukum UGM, Prof  Nurhasan Ismail, Guru Besar Hukum Pidana UI, Prof Indriyanto Seno Adji, dan Guru Besar Kriminologi UI Prof Mustofa yang dihubungi terpisah kemarin mengakui, temuan methylone membuat BNN bermain di wilayah abu-abu.

Kritik mereka, seharusnya sebelum menggrebek, BNN menyiapkan segala kemungkinan temuan dan penguasaan mengenai bermacam produk hukum yang bisa melandasi tuduhan para pengguna atau bahkan mereka yang dikelompokkan sebagai bandar dan pengedar narkoba. 

Meski demikian mereka mengapresiasi langkah BNN yang disebut Prof Nur sebagai bagian dari usaha BNN menemukan hukum.

Multi-interpretasi

Indriyanto mengatakan, para penjahat Narkoba selalu berusaha menciptakan jenis-jenis Narkoba baru yang unsur-unsurnya belum terjerat peraturan perundangan yang ada.

Oleh karena itu, peraturan perundangan yang ada harus dilengkapi dengan peraturan di bawahnya yang merupakan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis).

"Sifat Juklak dan Juknis ini harus lebih luwes untuk mengantisipasi perkembangan teknologi pembuatan Narkoba jenis baru, dan perkembangan sosial yang terjadi," tutur Indriyanto.

Ia lalu menyebut Singapura sebagai negara yang pemerintahannya sangat progresif mengikuti perkembangan kejahatan Narkoba dan menyiapkan peraturan perundangan yang sesuai dengan perkembangan kejahatan Narkoba.

"Saya ragu kalau barang bukti Metylone yang ditemukan BNN itu diproduksi atau transit di Singapura. Sebab sepengamatan saya, aparat hukum di Singapura sangat progresif mengikuti perkembangan kejahatan Narkoba di negerinya," tegas Indriyanto.

Ia menilai, sebenarnya kehadiran UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah menunjukkan atensi negara kepada problema Narkoba di Tanah Air. "Yang masih harus diperbaiki itu  Juklak-Juknisnya. Masih dibutuhkan peraturan pemerintah, instruksi presiden atau edaran Mahkamah Agung yang membuat aturan main yang ada itu tidak lagi multi interpretatif sehingga bisa dijadikan celah hukum oleh para penjahat Narkoba," tutur Indriyanto.

Seluruh aparat terkait, lanjutnya, harus rajin merevisi  Juklak-Juknis di bawah UU. Indriyanto lalu memberi contoh pernyataan yang multi interpretatif dalam UU Nomor 35 tahun 2009. "Kata, 'menguasai' Narkoba dalam UU tersebut sangat interpretatif. Seharusnya dihapus dan hanya digunakan kata 'memiliki' Narkoba," ujar Prof Indriyanto.  

Indriyanto mengritik tindakan BNN yang menggerebek baru mencarikan jeratan pasal pada kasus RA dan kawan-kawan.

"Seharusnya para petugasnya dibekali wawasan yang cukup mengenai perkembangan produk Narkoba sebelum menggrebek. Publikasi ketidaksiapan BNN dalam kasus Raffi Ahmad dan kawan-kawan justru akan dimanfaatkan para penjahat Narkoba lainnya. Apalagi dengan penjelasan bahwan BNN telah bekerja selama tiga bulan dalam kasus ini," paparnya.

Indriyanto juga mengkritik para penegak hukum yang sering menjadikan artis sebagai tontonan kasus Narkoba.

"Katanya mereka ini korban? Ya harus dilindungi. Jangan mempermalukan mereka dengan mempublikasikan kesalahan mereka," tegasnya. Hal senada disampaikan Mustofa. Ia heran, berkali-kali para penegak hukum "menyandera" para artis dalam kasus Narkoba, tetapi tidak pernah mengungkap siapa pengedar atau bandar pemasok Narkoba ke lingkungan artis.

SCI

Mustofa menekankan praktek scientific crime investigation (SCI) para penegak hukum untuk mengatasi kekosongan hukum. Menurut dia, hasil SCI berupa hasil laboratorium dan kesaksian pakar, bisa menghasilkan yurisprudensi (keputusan hakim yang kemudian dijadikan produk hukum) untuk mengatasi kekosongan hukum. 

Indriyanto menambahkan, untuk mendapatkan yurisprudensi yang menguntungkan bagi penumpasan kejahatan Narkoba, BNN kalau perlu menghadirkan sejumlah saksi ahli dari luar negeri yang lebih menguasai produk baru Narkoba.

Nurhasan pun sepakat. Ia bahkan memuji Kuswardani yang berani berharap, majelis hakim nanti mau mempertimbangkan dampak negatif methylone terhadap para penggunanya.

"Kalau pendekatan materi sosiologis hukum memang begitu. Kalau antara methylone dan ekstasi sama-sama punya dampak negatif serupa, maka methylone dan ekstasi bisa dianggap sama saja di depan hukum. Yang penting dasar SCI-nya jelas," tegas Nurhasan.

Tidak demikian dengan pendekatan kelompok positivis hukum. "Kalau menurut kelompok positivis, para pengguna methylone tidak bisa dijerat hukum karena UU tidak menyebutkan soal methylone," ujar Nurhasan.

Menurut dia, proses penemuan hukum dilakukan lewat tafsir hukum. Jadi bukan hanya lewat yang tertera di aturan main saja. Tafsir hukum inilah yang tidak jarang melahirkan yurisprudensi.

"Jadi apa yang dilakukan BNN terhadap kasus Raffi Ahmad dan kawan kawan itu menjadi bagian dari proses menemukan hukum," tuturnya. Dengan kata lain, lebih baik BNN bermain di wilayah abu-abu untuk mendapatkan yurisprudensi kasus Narkoba yang dianggap belum kuat sandaran hukumnya. Tentu saja dengan risiko, para tersangka lepas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com