Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dituding Selewengkan APBD, Heryawan Dilaporkan ke KPK

Kompas.com - 31/01/2013, 22:12 WIB
Kontributor Bandung, Rio Kuswandi

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Budget Advocacy Group (BAG) melaporkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyalahgunaan dana APBD Jawa Barat yang digunakan untuk meraih dukungan pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar 2013. Laporan itu, menurut BAG, disampaikan ke KPK pada Selasa (29/1/2013) lalu dengan nomor surat laporan 2013-01-000396.

Ketua LSM BAG, Dedy Haryadi menjelaskan, kasus dugaan penyelewengan yang dilakukan Heryawan yaitu terkait penganggaran dana hibah Rp 1,4 triliun di APBD Provinsi Jabar pada tahun 2013.

"Rencananya dana tersebut akan dibagikan menjelang Pilgub Jabar 2013," kata Dedy Haryadi dalam jumpa pers launching buku "Dari Sajadah Hingga Haram Jadah: Praktik Politik Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan" di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, Jawa Barat, Kamis (30/1/2013).

Dedy menjelaskan rincian alokasi dana hibah tersebut, yakni Rp 100 juta dibagikan ke 5.304 desa di seluruh Provinsi Jawa Barat. Kemudian, 2000 penyuluh pertanian dengan nilai bantuan Rp 50 juta per penyuluh. Lalu Rp 90 juta untuk kelas baru yang dibagikan ke 400 perguruan tinggi swasta di Jabar. Kelompok tani dan nelayan dengan nilai bantuan Rp 25 juta per kelompok. Pihaknya menyebutkan, sudah ada sekita 200 desa yang menerima bantuan dana hibah tersebut.

"Kami menilai dana hibah tersebut bukan perkara yang biasa, tetapi patut diduga terkait kepentingan Gubernur Heryawan untuk mendapatkan dukungan politik dari para penerima bantuan, terlebih lagi sekarang Heryawan maju sebagai cagub dalam Pilgub 2013," katanya.

"Artinya gubernur, jika dalam kepustakaan politik anggaran, telah mempraktikkan pork barrel politics. Gubernur telah melanggar wewenang kekuasaan untuk kepentingan pribadinya," jelas Dedy.

Dedy menambahkan, pemberian bantuan ini dinilai merugikan penerima. Dalam hal ini, lanjut dia, penerima tidak menerima uang sepenuhnya, melainkan dipotong Rp 25 persen.

"Jadi bisa dikatakan, penerima tidak menerima uang murni Rp 100 juta, tapi Rp 75 juta. Nah, pemotongan itu dianggap sebagai ongkos pencairan dan pengurusan dana," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com