Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seniman Musik Sunda di Zaman Lady Gaga

Kompas.com - 02/02/2013, 02:31 WIB

Bagaimana caranya agar musik Sunda terus hidup di tengah perubahan zaman? Pertanyaan itu memacu Yoyon Darsono (51) untuk terus bergerak menghadirkan musik Sunda di tengah masyarakat modern. Frans Sartono

Yoyon adalah seniman karawitan Sunda yang ikut membidani lahirnya band Krakatau awal 1990-an. Ia gembira melihat sejumlah band yang melibatkan seniman musik Sunda berikut instrumen tradisinya.

Misalnya, kelompok musik Tohpati Ethnomission, Indro Hardjodikoro & The Fingers, dan Simak Dialog yang melibatkan alat musik Sunda, seperti kendang, suling, dan bonang.

”Ini kenyataan yang bagus. Mereka menyadari pentingnya menampilkan budaya sendiri,” kata Yoyon.

”Saya berkomitmen ingin bersilaturahim dengan masyarakat dan dengan seniman nasional lewat musik tradisi. Saya punya obsesi memperkenalkan seni tradisi ke kancah nasional dan internasional,” kata Yoyon, yang telah menjelajah lima benua untuk memperkenalkan musik Sunda.

Ia prihatin dengan kondisi musik tradisi Sunda yang belakangan tokoh-tokohnya kian berkurang. ”Dulu kita punya Mang Koko Koswara, Euis Komariah, Taty Saleh, Nano S, dan Darso. Sekarang siapa lagi? Enggak banyak,” kata Yoyon, yang ditemui di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, almamater dan tempatnya mengajar.

Untuk mewujudkan impiannya itu, Yoyon bergerak lewat dua jalur. Pertama, sebagai pelaku seni, dia adalah pemain tarompet, suling, dan rebab.

Kedua, lewat jalur pendidikan, Yoyon adalah pengajar di STSI Bandung.

Karawitan progresif

Salah satu upaya Yoyon menghidupkan musik Sunda adalah membentuk komunitas seniman tradisi bernama Komstrad. Komunitas melakukan konservasi atau menjaga kemurnian produk seni tradisi Sunda seperti terwariskan dari seniman pendahulu.

Di sisi lain, Komstrad juga mendorong lahirnya garapan baru dengan tetap berpijak pada akar seni tradisi, termasuk dengan cara kolaborasi. Yoyon menyebutnya sebagai karawitan progresif.

”Ini karawitan yang berorientasi pada perkembangan masyarakat, selalu menyesuaikan dengan perubahan zaman atau mengedepankan inovasi berbasis karawitan.”

Apa yang dilakukan Yoyon bersama seniman Krakatau juga kelompok Samba Sunda atau kelompok musik dalam acara televisi Opera van Java merupakan bentuk karawitan progresif.

”Ini perlu untuk perkembangan dan menambah perbendaharaan khasanah kekayaan karawitan itu sendiri,” katanya.

Karawitan progresif juga diharapkan bisa menarik kaum muda untuk mengetahui seni karawitan. ”Sejauh ini respons kaum muda sangat antusias. Mereka mulai mengenal lebih dekat dan merasa bangga mempunyai musik karawitan yang beragam.”

Dari sisi konservasi, Yoyon membuat komunitas musik tiup bambu Sorgawi, akronim dari Sora Galindeng Awi, bahasa Sunda yang artinya kira-kira suara rayuan bambu. Sorgawi melibatkan instrumen tiup dari bahan bambu, mulai dari suling sampai lodong atau lonjoran batang bambu.

”Musik Sorgawi untuk membangunkan musik yang sudah tidak dikenal oleh masyarakat luas,” ujarnya.

Yoyon juga menggelar Festival Darmaraja sejak 2006. Darmaraja adalah nama desa dan kecamatan di Sumedang, tanah kelahiran Yoyon.

Darmaraja sebenarnya kaya seni tradisi, tetapi mulai terlupakan oleh orang Darmaraja sendiri. Tersebutlah, antara lain, gamelan koromong Eyang Jangel, tayuban, terbang buhun, kacapi biola, dan angklung buncis.

”Ini upaya menyelamatkan kesenian tradisional dari kepunahan serta memberikan apresiasi kepada masyarakat tentang kesenian buhun (kuno).”

Seniman kampung mendunia

Yoyon akrab dengan kesenian tradisi sejak kecil di Kampung Cilimus Hideung, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ayahnya pemain biola sunda, sementara buyutnya pemain reog. ”Kelas IV SD saya sudah manggung sebagai penyanyi Sunda,” katanya.

Yoyon remaja aktif sebagai pemain calung. Ia lalu masuk Konservatori Karawitan (Kokar) dan melanjutkan studi ke Jurusan Seni Karawitan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) lalu mengambil program S-1 di Jurusan Karawitan

STSI Surakarta tahun 1990. Di luar studi formal, ia memperdalam spesifikasi instrumen tradisi kepada seniman tradisi. Ia belajar tarompet pencak pada Mang Olet di Bandung, tarompet sisingaan pada Mang Walim di Subang, rebab pada Mang Uloh Abdulah, serta suling pada Mang Burhan. Adapun biola sunda ia berguru kepada ayahnya, Amin Sukria.

Dari ranah musik tradisi, Yoyon berkolaborasi dengan pemusik jazz. Tahun 1989, bersama Pra Budi Dharma ia menggabungkan calung, rebab, tarompet, dan kendang sunda dengan musik pop modern. Tahun 1993 dia dan seniman kendang, Ade Rudyatna, bergabung dengan

Krakatau bersama Pra Budi Dharma dan Dwiki Dharmawan. Dalam Krakatau, Yoyon membuat bonang multilaras dengan 24 penclon.

”Bonang 24 penclon ini untuk mengimbangi bahasa diatonis dari keyboard-nya Dwiki. Tuning (laras)-nya ada salendro, pelog, madenda, dan kobongan,” katanya.

Di Krakatau, Yoyon mewujudkan obsesi untuk membawa musik tradisi ke khalayak nasional dan dunia. Krakatau menjadi awal bagi Yoyon sebagai seniman tradisi mendapat apresiasi yang lebih layak.

”Sebagai seniman tradisi, saya pernah main di hajatan perkawinan dari jam sembilan pagi sampai jam lima sore. Badan sampai pegal, tetapi berapa bayarannya?”

Yoyon menjawab sendiri dengan bahasa tubuh yang mengisyaratkan bahwa bayaran yang diterima seninam tradisi tidak seberapa. Dia kaget saat pertama kali menerima bayaran sebagai awak band Krakatau.

”Saya dapat amplop, waktu dibuka, ah perasaan gede banget,” tuturnya.

Bagi Yoyon, bukan jumlah materi, yang lebih penting seni tradisi mendapat apresiasi dari bangsa sendiri dan dunia internasional sebagai bagian dari jati diri dan harga diri bangsa. ”Seni tradisi itu kekuatan Indonesia.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com