memainkan lakon hidup mereka sendiri, sebagai orang panggung, dan sebagai pelaku kehidupan: jenaka, tulus, optimistis, tetapi juga ada air mata.
Seperti di panggung, dalam film, tingkah polah para seniman Srimulat, seperti Djujuk Juwariah, Kadir Mubarak, Tessy Kabul Basuki, Mamiek Prakoso, dan Gogon Margono, mengundang tawa. Banyolan ala Srimulat, dan gaya lawak srimulatan yang spontan, penuh improvisasi, bertebaran di sepanjang film. Bahkan, adegan sedih atau pertengkaran pun dipenuhi banyolan. Di jagat srimulat, sedih, gembira, tangis, dan tawa itu seperti tidak ada batasnya. Semuanya lebur dalam dalam kejenakaan. Srimulat melihat kehidupan dari kacamata jenaka.
Simak janji Kadir saat mempromosikan warung sotonya. Pengunjung yang sepuluh kali makan soto akan mendapat hadiah umrah. Tetapi kumpulnya di Mekkah. Ini lelucon konyol khas panggung Srimulat yang diulang berkali-kali pun tetap membuat orang tertawa. Bukan lantaran materinya, melainkan juga dari cara dan logat Kadir menyampaikan materi.
Gaya srimulatan yang masih dibawa ke layar lebar adalah pada saat Djujuk menunjukkan pada Dion calon istrinya yang adalah Tessy. Dion menjawab:
”Saya sudah punya pacar, namanya Susi.”
”Susi siapa?” kata Mamiek.
”Susilo...,” ungkap Dion.
Adegan jenis berikut ini lebih spesifik panggung Srimulat. Bahkan sudah menjadi pola baku, ”template”, tetapi tetap lucu. Begini, Gogon menghadapi istrinya yang marah-marah akibat kondisi ekonomi yang terpuruk. Sang istri mengeluh kelaparan.
”Gemuk gitu kok bilang kelaparan,” kata Gogon kepada istrinya.