Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2013, 09:44 WIB

KOMPAS.com - Safrida Purnamasari (37), atau akrab disapa Frida Harahap, menjadi penuh warna dan bercahaya ketika berbicara tentang lampu. Saat itu hatinya ikut berbicara. ”Buat aku, lampu tidak sekadar alat penerangan. Tetapi ’art statement’ yang menciptakan suasana....”

Lampu dekorasi telah menjadi petualangan hidup, jelajah ide, sekaligus rekam kenangan bagi Frida. Singkirkan bayangan bola lampu botak dengan steker dan kabel-kabel listriknya. Ketuklah pintu toko CahayaLampu di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Dan mata Anda akan dimanjakan ragam bentuk unik, motif, dan warna-warni lampu dekorasi produk perusahaan yang didirikan Frida. Mulai dari lampu meja, lampu tinggi, lampu gantung, lampu dinding....

Di antara lampu-lampu cantik itu, muncullah Frida Harahap dengan kemeja denim dan celana tiga perempat warna senada pada siang pertengahan Maret lalu. Wajahnya terpoles riasan tipis tanpa perhiasan melekat. Rambutnya hitam lurus dipotong sebahu.

”Aku senang warna hitam, biru, abu-abu, dan putih. Kalau buka lemari, hampir semua bajuku warnanya senada,” ujarnya. Bertolak belakang dengan puluhan lampu-lampu bermacam warna di sekitarnya. Namun, Frida tetaplah cahaya paling terang di ruangan penuh lampu itu.

Keputusannya berhenti dari pekerjaannya di bidang periklanan untuk mengikuti hasrat hati menekuni bisnis lampu dari nol telah membuahkan hasil. Frida beberapa kali terpilih sebagai finalis dalam ajang perempuan wirausaha berkat keunikan, kreativitas, dan kualitas produk lampu dekorasi.

Suka lampu
Bagi Frida, lampu adalah seni yang menciptakan suasana. Cahaya yang menerabas ragam tudung lampu mewujudkan atmosfer, suasana hati, dan karakter tertentu pada ruang.

Sedari kecil, Frida menyukai benda bercahaya. Dia masih mengenang betapa senangnya berjalan-jalan ke sebuah toko khusus lampu di Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, bersama almarhumah ibunya. ”Ke toko pakaian saja aku enggak segirang itu,” ujarnya.

Teman dan keluarga pun sering mendelik keheranan ketika menonton film yang menjadi perhatian Frida bukan sang bintang film, melainkan lampu-lampu dekorasinya. Saat berlibur ke luar negeri bersama keluarga, Frida pun selalu menyempatkan ke pasar loak mencari lampu-lampu tua.

Koleksi lampu milik Frida di ruang-ruang rumahnya merupakan perca-perca kenangan.

”Sepasang lampu ini kenangan aku bersama ayah. Aku beli lampu bekas ini di Australia. Ayahku bantu memegangi lampu ini sepanjang perjalanan dari Sydney hingga Jakarta,” ujarnya menunjuk sepasang lampu dengan tubuh dari tabung kaca dengan garis tepi perak.

Tudung lampu bekas itu lantas diganti bentuk unik kombinasi warna perak dan biru. Sepasang lampu itu memiliki warna dengan kombinasi berbeda. ”It’s a couple, berbeda tetapi harus melengkapi. Orang suka bilang, aduuuh... ribet deh lu,” ujarnya. Dan, di dalam tubuh kaca bening lampu diisi bunga pemberian sang suami yang sudah dikeringkan dan boneka kepik perlambang kedua anaknya.

Dia lalu menunjuk sebuah lampu gantung di ruang makan. ”Ini lampu dari mertuaku. Sudah mau dibuang. Tetapi aku pulung. Aku ingin ada cerita tentang mertuaku,” ujarnya.

Di tentakel lampu itu digantungkan kristal dari sisa-sisa dari lampu kristal lama milik almarhum ibunda Frida. Ada satu lampu lagi yang mengesankan Frida. Sebuah lampu berlapis kain hijau pupus dari kaleng bola-bola keju yang dibuat anaknya saat Frida berulang tahun. Lampu itu bertengger di meja kerja Frida. ”Anakku kasih untuk kejutan di hari ulang tahun,” ujarnya lalu tersenyum.

Saking sukanya mengumpulkan lampu, sewaktu pulang ke Tanah Air usai menempuh pendidikan di Australia, bagasi Frida sempat kelebihan beban 100 kilogram. ”Isinya lampu semua, ha-ha-ha,” kata Frida.

”Dulu ayah pernah nyeletuk, ’kau disekolahkan jauh-jauh kerjanya beli lampu saja. Sudahlah, nanti buka toko lampu saja di samping rumah.’ Kejadian deh, ha-ha-ha,” kenang Frida.

Usaha dari nol
Frida membangun cahaya lampu dari nol. Dia tak pernah terbayang berwirausaha. Namun sudah tergambar dalam pikiran untuk memiliki toko lampu. Ia merasa tidak menemukan jiwanya ketika bekerja di bidang periklanan. ”Seperti ada yang hilang dari dalam diri,” ujarnya.

Pada suatu titik galau, dia memutuskan meninggalkan pekerjaan yang telah empat tahun ditekuninya. Lalu sang suami menguatkan Frida. ”Suamiku bilang, sudahlah buka toko lampu saja, daripada penasaran. Kalau rugi pun, setidaknya mencoba dan tidak menyesal,” ujar Frida mengulang nasihat suaminya.

Kedua anaknya yang masih kecil semakin membulatkan tekad Frida berhenti kerja kantoran. Dia ingin menghabiskan sebanyak mungkin waktu dengan anak-anaknya. Frida merasa bersyukur memilih ikut hasrat hatinya seaneh apa pun itu.

CahayaLampu bermula dari sebuah gerai kecil yang begitu diisi tiga pelanggan sudah penuh sesak, di samping sebuah supermarket di Kemang pada awal tahun 2000. Begitu usahanya semakin maju dan menguntungkan, Frida membangun sebuah toko lebih besar di samping rumahnya di Kemang. Itu agar Frida juga dapat tetap dekat dengan anak-anaknya.

”Aku banyak belajar. Berwirausaha itu harus tahan banting, mulai dari dimaki-maki, dipemainkan klien usil, bekerja sama dengan pekerja, sampai jurus bertahan agar usaha tetap hidup. Tetapi aku tidak keberatan dengan semua itu karena buatku lampu itu hobi dan kesenangan,” ujarnya.

Klien Frida sebagian besar ekspatriat, jaringan restoran besar, para kontraktor, atau individu yang menginginkan lampu tertentu. Semua masukan pelanggan digunakan Frida untuk terus mempertinggi kualitas produknya. ”Begitu lampu itu dinyalakan, aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan,” kata Frida.

Indonesia dalam lampu
Frida belum puas dengan lampu-lampu indah dan elegan karyanya. Dia masih memiliki cita-cita lain, mempromosikan Indonesia lewat lampu dekorasi.

”Kita itu kaya dengan sumber daya. Bahan kain untuk tudung lampu, misalnya, bisa dari kain tradisional mulai dari Papua hingga Sumatera. Tubuh lampunya dari kayu sampai batu juga bisa,” ujarnya.

Menurut Frida, lampu-lampu dekorasi yang cantik dapat menjadi alat untuk mempromosikan negara dan kekayaannya. ”Bayangkan ukiran Asmat di tubuh lampu dengan kain tradisinya sebagai tudung. Kalau dijual di Harrods (jaringan department store besar di Inggris), itu luar biasa. Mereka tidak punya ukiran dan kain itu, cuma Indonesia yang punya,” ujarnya berapi-api.

Karya seni dapat menjadi identitas budaya, sejarah, dan membawa atmosfer sebuah bangsa ke peradaban lain. Frida ingin terus mengeksplorasi kekayaan alam dan mempresentasikannya dalam bentuk lampu, kalau bisa sampai ke luar negeri.

Sejauh ini, Frida sudah mulai mencoba dengan bahan-bahan mudah didapatkannya, seperti kain batik sebagai tudung lampu. ”Untuk mempresentasikan kekayaan budaya Indonesia butuh kerja keras. Pelan-pelan mewujudkannya. Itu mimpi aku lainnya,” ujarnya.

(Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau