KOMPAS.com - Musim panas ini, Tricia Sumarijanto (42) diminta mengajar angklung selama dua minggu di sebuah sekolah swasta di kawasan Maryland, Amerika Serikat. Itu tempat ia bermukim dalam lima tahun terakhir.
”Bisa dikatakan, ini langkah lanjut dari Angklung Goes to School (AGTS),” tutur Tricia, suatu pagi, di tengah masa liburannya di Jakarta. ”Langkah ini didukung House of Angklung dan Grace Heritage, NGO yang mendukung seniman independen bidang kebudayaan dari Asia Tenggara.”
Melalui proses yang tak mudah, AGTS masuk dalam Katalog Budaya dan Seni Pertunjukan Montgomery County Public School di Maryland, yang dikenal memiliki sekolah-sekolah terbaik di AS.
Program 45 menit AGTS dirancang setelah beberapa kali ia diundang teman-teman untuk memperkenalkan angklung di sekolah anak mereka. ”Sekaligus mencoba menjawab pertanyaan ’setelah ini apa?’ dari maestro angklung Indonesia, Pak Daeng Udjo, setelah acara the Guinness World of Records.”
Daeng Udjo memimpin 5.182 orang dari berbagai kebudayaan, memainkan lagu ”We Are the World” di National Monument Washington DC (9/7/2012). Bersama House of Angklung, Tricia diminta mempromosikan angklung kepada masyarakat Indonesia dan AS sebelum kedatangan Daeng Udjo.
Peristiwa yang diprakarsai Kedutaan RI di Washington DC bekerja sama dengan Saung Angklung Udjo Bandung itu kemudian tercatat dalam the Guinness World of Records. Namun, lebih dari itu, ”Saya tersentak,” sergah Tricia.
Mencipta harmoni
”Angklung itu ajaib karena mampu menyatukan manusia berbagai kebudayaan dalam harmoni. Padahal, mungkin banyak peserta tak paham nada dan irama, bahkan mungkin, sebelumnya tak kenal angklung.”
Instrumen musik tradisional dari bambu yang berkembang di masyarakat Jawa Barat itu masuk dalam daftar Karya Agung Warisan Budaya Kemanusiaan yang Tak Ternilai dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dan dikukuhkan sebagai warisan dunia asli Indonesia, November 2010.
Pertemuan dengan Daeng Udjo menjadi moment of truth bagi Tricia, yang kemudian belajar lagi dan mendapat banyak bekal dari sang guru. ”Pak Daeng menemukan metode mengajar yang cemerlang. Sambil mengajar angklung, ia memperkenalkan Indonesia.”
Demi angklung, semua terasa ringan, meski, ”Suka kurang tidur kalau sedang membuat persiapan, termasuk aransemen. Peralatan juga saya angkut sendiri, tapi enggak ada capainya. Malah senang.”
Kini, ia memperkenalkan angklung ke sekolah-sekolah di Washington DC dan Virginia, bekerja sama dengan KBRI dalam Program Wash Performing Arts Society (WPAS) dan melalui teman-teman orang Indonesia. Permintaan agar House of Angklung mengisi acara-acara resmi juga terus berdatangan.
Menemukan diri
Seluruh rangkaian peristiwa yang bukan kebetulan itu seperti membuka pintu bagi Tricia menemukan passion yang sudah lama terkubur. ”Dari kecil saya hanya ingin menjadi guru untuk anak-anak di pedalaman,” kenangnya.
Namun, perjalanan hidup membawanya melalui jalan melingkar. Padahal, sejak remaja, sulung dari empat bersaudara putri keluarga Michael Sumarijanto itu ditengarai pandai mengajari adik-adiknya, terutama matematika.
”Anak saya juga bilang, dia mudah mengerti kalau saya yang mengajar.” Ia melanjutkan, ”Musik punya filosofi sama dengan matematika.”
Pengalaman mengajar angklung—sambil terus belajar karakter alat musik itu—memberi peneguhan bahwa ia guru yang baik, sabar, dan pandai menjelaskan.
”Ditambah dukungan teman-teman dekat, saya menemukan the real me melalui angklung pada usia 39 tahun; sebagai guru yang suka mengajar anak-anak di kelas,” ungkapnya dengan tatapan jauh. ”Dengan dukungan mereka, ketakutan saya menguap.”
Pengalaman telah mengajari Tricia untuk selalu mendengarkan dan menghormati pendapat Anastasia Vania Putri Sudradjat (19). Putri semata wayangnya yang kuliah di Dickinson College, Carlisle, Pennsylvania, dengan fokus antropologi biologi itu suatu hari bilang, ”Saya ingin menjadi penari.”
”Terus terang, saya kaget,” kata Tricia, orangtua tunggal sejak beberapa tahun lalu. ”Ia punya potensi di bidang lain. Ia suka filsafat, pemikir sekaligus people person, tetapi saya juga tak bisa membayangkan Putri tidak menari. Saya ingin ia punya passion atas apa pun yang dia pilih dengan sadar dan cerdas. Saya terus mendampingi dalam fase kebingungannya saat ini.”
Filosofi dalam
Seraya mengajar angklung, Tricia memasukkan pengetahuan dan bahasa Indonesia lewat nyanyian anak-anak. Setiap kali ia juga menemukan hal baru sehingga kerja sukarela itu memberinya kekayaan batin tak ternilai.
Angklung yang mengandung filosofi tentang kebersamaan, harmoni, respek, dan non-ego bisa dimainkan siapa pun. ”Bahkan menjadi terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus.”
Ia menunjukkan rekaman permainan angklung dari lagu ”Ibu” karya Melly Goeslaw, yang terasa lebih menyentuh kala dimainkan anak-anak down-syndrome.
”Waktu pulang tahun lalu, saya bertemu Ibu Aryanti dan Pak Budi dari Center of Hope yang melatih anak-anak itu bermain angklung. Ibu Aryanti adalah Ketua Ikatan Sindroma Down Indonesia,” ujar Tricia, ”Proyek ke depan adalah menghubungkan anak-anak down-syndrome di Indonesia dan di AS melalui angklung.
Rumah Indonesia
Pada awalnya adalah keprihatinan. Anak-anak Indonesia yang lahir dan tumbuh di AS cenderung tercerabut dari akar budayanya meski orangtua masih memegang akar keindonesiaannya.
Tentang identitas bikultural itu, Tricia menyebut ukuran Bicultural Identity Integration. BII mengukur kemampuan individu bikultural dalam menerima identitas-identitasnya. Dari BII bisa diketahui, seberapa besar kadar konflik identitas yang satu dengan identitas lain pada individu bikultural. Konflik itu akan memengaruhi kondisi psikologi yang bersangkutan.
Maka, bersama lima temannya, di antaranya psikolog Dr Livia Iskandar yang punya gagasan awal, Tricia ikut membentuk Rumah Indonesia, organisasi nonprofit untuk anak-anak Indonesia, 13 Agustus 2012.
Maya Soetoro-Ng, adik dari Presiden Obama, yang berteman baik dengan Livia, mendukung Rumah Indonesia dalam pengumpulan dana pertama melalui penjualan buku anak-anak karyanya, dengan endorsement khusus.
Merangkul
Rumah Indonesia, yang merangkul semua individu tanpa membedakan suku, agama, golongan dan apa pun. ”Misi kami, menjangkau masyarakat internasional yang berminat pada tradisi dan budaya Indonesia,” kata Tricia.
Rumah Indonesia menjadi salah satu organisasi pendukung American Design Batik Competition 2013 yang diselenggarakan KBRI, dan secara regular menggelar lokakarya batik, wayang, dan dongeng berbahasa Indonesia dari sejumlah daerah di Tanah Air kepada anak-anak.
”Secara perlahan, anak-anak mulai berani berbicara dalam bahasa Indonesia,” ujarnya. ”Ini kerja panjang, hasilnya tidak instan. Kami berharap anak-anak Indonesia di AS menjadi manusia global dengan nilai-nilai dasar Indonesia.”
Begitu antusiasnya dengan kegiatan budaya itu, seminggu di Jakarta ia gunakan untuk menemui teman-teman pendukung Rumah Indonesia dan mencari sponsor untuk program-programnya. ”Sambil mencari angklung lagi, he-he-he.”
(Maria Hartiningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.