Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angelina Jolie dan Mastektomi

Kompas.com - 21/05/2013, 02:49 WIB

Oleh Irwan Julianto

Aktris pemenang Oscar, Angelina Jolie (37), pekan lalu, membuat kejutan. Ia mengungkapkan secara terbuka bahwa ia sejak Februari hingga April telah menjalani mastektomi bilateral atau pengangkatan kedua payudaranya. Ia memilih tindakan berani itu untuk mencegah kematian dini karena ia mengidap gen pemicu tingginya risiko kanker payudara.

Padahal, ketika dioperasi, kedua payudara Angelina Jolie dalam keadaan sehat, tak ditemukan adanya satu pun benjolan. Ia memilih tindakan berani itu sebagai tindakan preventif dan berharap kisahnya akan menginspirasi perempuan-perempuan lain melawan penyakit mematikan ini.

Angelina menulis kolom berjudul ”My Medical Choice” di harian The New York Times, 14 Mei 2013. ”Ibuku bertempur melawan kanker selama hampir sepuluh tahun dan meninggal pada usia 56 tahun,” tulisnya tentang Marcheline Bertrand, ibunya.

Bibir Angelina Jolie yang sensual diwarisi dari ayahnya, aktor Jon Voight. Namun, dari ibunya ia mewarisi gen BRCA-1. Ia menyatakan, dokter-dokternya memperkirakan ia memiliki risiko 87 persen kanker payudara dan risiko 50 persen kanker indung telur (ovarium). Dengan mastektomi bilateral, risikonya terserang kanker payudara turun jadi tinggal 5 persen.

Alasan lain, ia tak ingin mengambil risiko keenam anaknya (tiga anak kandung dari hubungannya dengan pasangannya, aktor Brad Pitt, dan tiga anak adopsi) bakal dibesarkan tanpa kehadiran seorang ibu.

”Saya tak merasa kurang sebagai seorang perempuan,” demikian pengakuan Angelina tentang keputusannya memangkas kedua payudaranya yang tentu didasari oleh paham feminisme radikal bahwa kuasa atas tubuh perempuan berada di tangan si empunya tubuh.

Pantaslah jika majalah Time, pekan ini, menurunkan laporan utama bertajuk ”The Angelina Effect”. Angelina yang dianggap luas sebagai perempuan paling memukau di dunia justru dengan mastektomi ganda yang diputuskannya mendefinisi ulang kecantikan. Tentu ia mengakui bahwa ia menjalani operasi plastik untuk rekonstruksi kedua payudaranya.

Pengurangan risiko

Dokter ahli bedah onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, yang mendalami genetika kanker payudara familial, Samuel J Haryono, menilai keputusan Angelina benar. ”Mastektomi bilateral yang dijalani Jolie adalah bentuk kalkulasi atau pengurangan risiko paling gila dan paling murni,” katanya ketika ditemui Senin (20/5), di Jakarta.

Dikatakan, risiko kanker payudara sejak usia muda, di bawah usia 35 tahun, ataupun pada perempuan di bawah 40 tahun seperti Jolie dapat terus berkembang hingga usia 70 tahun, utamanya terkait dengan ada tidaknya hormon estrogen. ”Sebenarnya bisa saja Jolie diangkat indung telurnya dan payudaranya tetap dipertahankan. Ini juga pilihan yang baik, tetapi ia memilih yang radikal,” kata Samuel.

Apa yang dialami Angelina, menurut Samuel, belum tentu bentuk mutasi pada gen BRCA1 di kromosom nomor 17, tetapi lebih merupakan varian atau perubahan kecil berupa pertukaran single nucleotide polymorphism (SNP) atau polimorfisme nukleotida tunggal (PNT) pada pasangan basa di untaian heliks ganda asam nukleat deoksiribosa (DNA). Dari hasil penelitiannya di Indonesia yang mengantarnya meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 2012, Samuel menemukan, di Indonesia lebih banyak varian gen BRCA2 yang berada di kromosom nomor 13.

Jika di Amerika Serikat satu dari delapan perempuan dewasa terjangkit kanker payudara, di Indonesia persentase kanker payudara herediter (yang diturunkan) 5-10 persen.

Kanker payudara pada perempuan yang masih subur dapat dicegah dengan obat-obatan seperti Tamoxifen yang diberikan selama lima tahun dengan tingkat keberhasilan sekitar 50 persen. Untuk perempuan berusia di atas 50 tahun yang telah menopause, supresor tumor dapat diibaratkan ”rem yang sudah blong”. Obat-obatan pencegah kanker payudara dari golongan inhibitor aromatase jauh lebih mahal, kata Samuel.

Ilmu kedokteran saat ini, termasuk untuk penanggulangan kanker payudara, terus berkembang hingga ke tingkat biologi molekuler dan pemetaan gen. Di antaranya adalah ditemukan gen BRCA1 tahun 1992 dan BRCA2 tahun 1994 oleh Mary Claire King. Saat ini sedikitnya ada 160 jurnal khusus tentang kanker payudara dan berbagai komunitas pakar di seluruh dunia.

Tentang tindakan bedah kanker payudara, teknik mastektomi yang juga dikenal di Indonesia secara perlahan mulai 1980-an sebenarnya sudah digantikan teknik operasi lain yang kurang radikal, seperti lumpektomi dan kuadrantektomi atau pembedahan segmental. Semuanya lazim disebut teknik BCT (breast conserving therapy). Di seluruh dunia, operasi kanker payudara dilakukan oleh dokter ahli bedah onkologi, kecuali di Jerman dilakukan oleh dokter kandungan/kebidanan, seperti Prof Harjanto Tulusan dari Universitas Erlangen yang 20 tahun lalu ke Jakarta memperkenalkan teknik-teknik BCT (Kompas, 10/8/1993).

Biaya mastektomi dan rekonstruksi payudara di Indonesia bervariasi bergantung pada kelas perawatan dan pilihan rumah sakit. ”Antara Rp 50 juta dan Rp 200 juta,” ungkap Samuel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com