Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Piringan Hitam Masih Berputar

Kompas.com - 01/09/2013, 18:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Piringan hitam atau pelat berbahan vinyl sedang menemukan kembali kejayaannya seperti empat dekade silam. Saat ini adalah masa ketika kualitas rekaman digital sudah tak bisa lagi memenuhi dahaga penikmat musik. Band muda masih memutar kencang piringan hitam mereka.

Rektivianto Yoewono (32) sudah lama mendambakan band The Sigit yang ia bentuk bisa mengeluarkan rekaman dalam format piringan hitam. Demo band asal Bandung yang dikeluarkan pada tahun 2004 itu berformat kaset. Berikutnya, mereka melepas dua album penuh dalam bentuk cakram padat (compact disc/CD). Format kaset masih disertakan untuk mendampingi CD album pertama, The Visible Idea of Perfection (2006).

Baru pada album penuh ketiga, Detourn (2013), Rekti dan tiga temannya, Donar Armando (drum), Aditya Bagja (bas), dan Farri Icksan (gitar) akhirnya mengeluarkan piringan hitam. Ada juga format kaset dan CD. Bagi penikmat album fisik, album Detourn ini sangat memanjakan. Selain gambarnya bagus, banyak bonus yang layak koleksi.

"Sejak album pertama, kami ingin membuat piringan hitam. Tetapi, setelah dihitung-hitung, uang kami tidak cukup. Sekarang sudah berani karena band dan label (Fast Forwards Records) sudah punya uang," kata Rekti di pelataran toko piringan hitamnya, Bhang Records, di Bandung.

Album Detourn berformat piringan hitam dibuat sebanyak 300 kopi masing-masing dua keping. Penggandaannya dilakukan di Ceko karena tidak ada pabrik yang pembuat piringan hitam di Indonesia. Mereka mengeluarkan uang hingga Rp 70 juta untuk biaya produksi dan ongkos kirim. Biaya itu di luar pembuatan kemasan dan ongkos rekaman.

Satu kopi album piringan hitam dibanderol harga Rp 325.000. Untuk paket deluxe, pembeli juga mendapat format CD serta kode untuk mengunduh lagu format mp3. Jadi, pembeli yang belum mempunyai pemutar pelat tetap bisa mendengar album bercorak rock ala Led Zeppelin dan Black Sabbath ini.

Untuk menghasilkan rekaman piringan hitam, The Sigit berusaha menghadirkan citarasa rekaman analog yang merekam suara ke dalam pita. Mereka menggunakan perangkat tambahan simulator analog. Meskipun hasil akhirnya berbentuk data digital, nuansa analog bisa dirasakan.

"Prosesnya memakan waktu sekitar 600 jam di studio. Dibandingkan dengan rekaman album pertama yang tidak memakai simulator, prosesnya sekitar 200 jam," kata Rekti. Ia menyebut band asal AS, Green Day, juga memakai simulator analog serupa.

The Sigit bukan satu-satunya band Indonesia yang mengeluarkan piringan hitam. Beberapa band lain, seperti White Shoes and The Couples Company, C’mon Lennon, Dead Squad, dan Sajama Cut, menghidupkan kembali format ini setelah sempat tenggelam oleh format kaset, CD, dan mp3.

Perusahaan rekaman sendiri
Grieve Records di Jakarta adalah salah satu label rekaman bermodal pas-pasan yang konsisten mengeluarkan rekaman berbentuk piringan hitam. Grieve Records dibangun oleh dua sekawan Uri Putra dan Sayiba R Bajumi pada tahun 2008. Mereka "berkantor" di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Di gedung itu ada ruang pertunjukan, studio rekaman, toko album musik, serta markas penjualan piringan hitam via internet.

Awalnya, Uri dan Sayiba mengeluarkan album untuk band masing-masing. Uri adalah gitaris band rock/metal instrumental Ghaust, sedangkan Sayiba adalah vokalis untuk band punk horror Kelelawar Malam. Ghaust sudah mengeluarkan satu album dan beberapa album kerja sama (split album) berformat piringan hitam. Begitu juga dengan Kelelawar Malam.

"Awalnya kami hanya ingin punya rekaman album band sendiri dalam bentuk piringan hitam. Kami menggemari piringan hitam karena band-band idola kami juga mengeluarkan piringan hitam. Karena susah mencari label rekaman yang mau memenuhi keinginan kami, kami buat saja 'perusahaan' rekaman sendiri," kata Uri.

Setelah mengeluarkan album band masing-masing pendirinya, Grieve Records juga melepas album band lain yang mereka suka. Pada pertengahan Juli lalu, Grieve bekerja sama dengan Grimloc Records asal Bandung melepas piringan hitam 12 inci album Godzkilla Necronometry milik kelompok hip-hop Homicide.

Album sebanyak 300 kopi seharga Rp 250.000 per buah itu habis dalam waktu lima jam saja. Antusiasme pada format piringan hitam ternyata masih tinggi. Namun, hal itu tak lepas dari nama besar Homicide yang sudah membubarkan diri sejak 2007 silam.

Tak cuma album Homicide itu yang laris manis. Album perdana Kelelawar Malam (2010) dalam format piringan hitam juga sudah habis sebanyak 100 keping. Fenomena ini cukup menarik karena justru terjadi saat banyak orang bisa dengan mudah mengunduh dan berbagi lagu secara gratis, bahkan lewat telepon genggam.

Budaya mengumpulkan
Kolektor piringan hitam David Tarigan berpendapat, maraknya penjualan piringan hitam pada era sekarang terjadi karena beberapa band luar negeri masih setia mengeluarkan format ini. "Pada era 2000, band The Strokes dan Franz Ferdinand disukai banyak orang. Mereka tergolong band independen yang labelnya tetap mengeluarkan piringan hitam," kata David.

Fenomena itu menjalar ke mana-mana, termasuk Indonesia. Apalagi, beberapa band yang terkenal pada awal dekade 2000, seperti The White Stripes, hanya mengeluarkan format piringan hitam. Band ini juga mengeluarkan CD, tetapi didahului piringan hitam.

Di luar negeri, kultur mengeluarkan piringan hitam memang diawali oleh band dan label independen. Musisi rock dan metal Barat bisa memengaruhi penggemar untuk mengumpulkan apa pun yang mereka keluarkan, termasuk piringan hitam. "Jadi, orang yang tak punya pemutarnya juga ikut-ikutan membeli piringan hitam," kata David.

Pernyataan itu dibenarkan Ricky Siahaan, gitaris band Seringai. Band yang baru saja membuka konser Metallica di Jakarta itu mengeluarkan piringan hitam dua lagunya. Mini album itu juga ludes dibeli penggemar. "Sekarang orang menganggap piringan hitam layaknya merchandise seperti kaus band," kata Ricky.

Fenomena ini juga menarik minat label bermodal besar seperti Sony Music. Pada Maret 2012, mereka melepas piringan hitam band Superman Is Dead sebanyak 1.000 keping. Menurut Managing Director Sony Music Entertainment Toto Widjojo, tak semua band bisa mengeluarkan piringan hitam.

"Ada kriteria tertentu. Band itu harus punya basis penggemar yang kuat. Kami melihat Superman Is Dead lolos kualifikasi itu. Selain itu, penggemar band itu juga punya daya beli yang tinggi," katanya.

Semangat untuk menyemarakkan lagi bentuk fisik rekaman ini pantas dihargai. Sayangnya, mesin pembuat piringan hitam di Indonesia sudah tidak ada sehingga harus memesannya di luar negeri. Produsernya harus menembus birokrasi pabean yang terkadang menyulitkan. Namun, selama musik masih hidup, piringan hitam tak sekadar artefak dari masa lalu. Ia akan terus berputar, bahkan di era yang serbapraktis ini.... (Herlambang Jaluardi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau