JAKARTA, KOMPAS.com -- Universitas Nasional memutar film November 1828 karya sutradara Teguh Karya dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, Senin (18/11/2013) di kampus Unas Jakarta Selatan. Mengapa memilih November 1828? Selain karena temanya pas dengan peringatan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan yang waktunya berdekatan, misi film ini masih aktual dengan kondisi kekinian.
Aktor Didi Petet yang waktu pembuatan film ini pada 1979 masih menjadi mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta mengatakan, film November 1828 menceritakan tentang pengkhianatan dan loyalitas. Bagaimana di dalam peperangan selalu ada dua hal itu.
"Dalam kurun waktu puluhan tahun sejak zaman penjajahan itu hingga sekarang, penghianatan dan loyalitas masih aktual, bahkan mungkin sampai akhir zaman," kata Didi.
Di film itu, ada dua warga Belanda keturunan Indonesia (diperankan Slamet Rahardjo dan L Manik), yang bersaing untuk mencari muka kepada pemimpinnya. Tujuannya, menghancurkan bangsa Indonesia dengan caranya. Film ini berlatar belakang zaman perjuangan Pangeran Diponegoro, yang pada saat itu diwakili Sentot Prawirodirjo.
Sentot disembunyikan, dan yang tahu hanyalah Kromo Ludiro. "Film itu belum ada tandingannya sampai saat ini. Lalu ada aktor hebat seperti Rahmat Hidayat dan Maruli Sitompul, yang mainnya sangat dahsyat," kata Didi.
Didi memuji Teguh Karya, yang merasa harus melakukan studi ke Belanda untuk menggali informasi dan data. Kostumnya dipikirkan dengan detail. Film dibuat pada zaman dengan teknologi yang belum semaju sekarang. Film baru bisa dilihat hasilnya setelah tiga bulan.
"Dibawa ke Hongkong, dicuci, dan dibawa ke Indonesia. Itu pun belum ada suaranya. Jadi suara dibuat dengan dubbing," papar Didi.
Aktris yang bermain di film November 1828, Jenny Rachman mengenang film ini sebagai salah satu film terbaik yang ia mainkan. "Peran saya kecil di November 1828, tapi sangat berkesan dan berarti. Meski tidak mendapat piala Citra tapi saya mendapat nominasi," ujarnya.
Jenny mengingat satu penggal dialog ketika ayahnya memperingatkannya. "Jangan kawin sama anak demang itu karena bapaknya adalah maling besar". "Ternyata maling-maling besar masih berkeliaran di negeri ini sampai sekarang," kata Jenny.
Bagi Jenny, film bisa menjadi suatu bentuk perjuangan untuk Tanah Air dalam bentuk yang berbeda. "Saya pengagum RA Kartini dan saya juga memerankan sosok Kartini, film arahan Teguh Karya juga. Film yang luar biasa, untuk menebarkan membangkitkan rasa patriotisme dan nasionalisme serta kecintaan pada negara ini," kata aktris yang bermain film sejak usia 14 tahun ini.
Film memberi pelajaran yang luar biasa untuk pandai dalam mawas diri, peka dan tanggap terhadap lingkungan di sekitar dan kepedulian sosial. "Film berasil dalam membesarkan saya. Kalau tidak karena film, masyarakat tidak akan mengenal saya," sambung Jenny.
Soal film November 1828, Dekan Fakultas FISIP Unas, Tamam Achda mengatakan, isi atau kontennya filmnya bagus dan sinematografinya juga bagus. Pemutaran film lawas mengenai perjuangan para pahlawan di masa penjajahan ini diharapkan mampu membangkitkan nasionalisme dan patriotisme kaum muda untuk membangun Ibu Pertiwi. "Pemutaran film ini bertujuan untuk mencari relevansi antara semangat kepahlawanan dengan kondisi saat ini," katanya.
Sementara Naufal Firman Yursak dari Karang Taruna Desa Nusantara menyoroti tentang kaum muda yang menjadi tombak perjuangan di masa penjajahan. Mulai 1928 hingga 1945, sang pelopor langkah adalah anak muda yang geregetan pada keadaan. Pada 1945, anak muda lantas memaksa Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan. "Tahun 1966 Soekarno jatuh karena anak muda. Jatuhnya Soeharto juga oleh anak muda," katanya.