Selesai mengatur posisi dan gerak para santri, dia pun tertunduk bungkuk. Tak lama kemudian, dia memasang selang oksigen ke hidungnya seraya menghirupnya dalam-dalam. Dialah Ken Zuraida, aktris, sutradara dan produser teater Indonesia yang juga janda dramawan legendaris Indonesia, W.S. Rendra. Kini, meski dalam keadaan sakit, Ken Zuraida tetap bersemangat menyutradarai teater.
Semenjak enam bulan belakangan ini, Mba Ida, demikian pangglan akrab Ken Zuraida, hilir mudik ke Cirebon, tepatnya di daerah Ciwaringin, Babakan, tempat dia melatih teater anak-anak sembilan pesantren.
Ditemui di Tegal awal bulan Februari ini, saat mengawal puluhan anak-anak pesantren yang hendak mementaskan lakon "Kalung Mutiara Barzanji" di "Kota Bahari" itu, sutradara dan produser teater ini, meski dalam kondisi fisik yang kepayahan, tetap semangat memberi arahan kepada sekira 98 santri dari 9 pesantren se-Babakan Ciwaringin Cirebon berperan dalam lakon Kalung Permata Barzanzi tersebut.
Mbak Ida, menambahkan, gagasannya pementasan teater Kalung Permata Barzanji bermula dari niatnya merevitalisasi Barzanji sebagai salah satu seni sastra yang berpuluh tahun akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
“Ini merupakan karya sastra tertinggi di abad 12 yang melukiskan ketauladanan, keagungan Nabi Besar Muhammad SAW. Di Indonesia biasa dilantunkan dalam tradisi pesantren,” kata Mbak Ida.
Pementasan ini diperankan puluhan santri dari pesantren Ghusyaqul Quran, Assalafie, Assalafiyat, Kebon Jambu, Al-Kamaliyyah, Miftahul Muta’allimin, Mu’allimin, MQHS, dan Asholihat. Mereka berperan usai melalui proses audisi yang memakan waktu 2,5 bulan dan dari proses penyaringan 72 pesantren.
“Latihan dasar 1 bulan, satu minggu sekali. Sudah tryout di kampung sendiri (Ciwaringin), lumayan dan surprise karena santri bermain baik,” ujarnya.
Sebelumnya Ken Zurida juga pernah tampil monolog dalam pementasan drama kolosal Shalawat Barzanji di Alun-alun Kota Tegal 18 April 2009 yang lalu. Meski tampil hanya sesaat sebagai bintang tamu, Ken Zuraida mampu memberikan warna dan terlihat menonjol dibandingkan dengan seniman-seniman lain yang ikut terlibat dalam memerankan pementasan tersebut.
“Tugas kami bekerja sekeras-kerasnya hasilnya diserahkan pada alam. Tidak ada yang bisa mengulang sukses,” kata wanita paruh baya tersebut, merendah.
Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 15 Mei 1954. Sejak masih sangat kecil akrab dengan lingkungan pendidikan kebudayaan. Ia tumbuh dengan kepekaan naluriah amat kuat dan kecerdasan kebudayaan lingkungan yang berlapis-lapis. Ini antara lain karena selalu bergerak di antara lingkungan elitis dan lapisan di bawahnya, antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, di mana ia menghayati masa remajanya di kota Bandung.
Pernah kuliah di Unpad, Bandung (1973) dan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta (1974)
Ia terlibat di Bengkel Teater Rendra sejak 1974 hingga sang suami meninggal pada tahun 2009. Kegiatannya dari daerah ke daerah lain selama lebih 30 tahun itu sampai ke hampir sebagian besar kota di dunia. Selain mengorganisir keseharian Bengkel Teater Rendra ia juga memraktikan metode-metode latihan yang selama ini digali Rendra bersama Bengkelnya.