Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Panggil Dia Tony, Tony Q Rastafara!

Kompas.com - 05/11/2014, 23:04 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Capek juga ya ngomong soal politik dan para politisi. Kalau tak rebutan kekuasaan, ya saling cakar-cakaran. Maka, ini kali saya hendak bicara tentang seorang kawan yang berprofesi sebagai musisi.

Panggil dia Tony, Tony Q! Atau Tony Q Rastafara. Lelaki bertubuh ceking asal Perbalan, Semarang, Jawa Tengah. Lelaki yang kemudian dikenal oleh masyarakat pencinta musik reggae Indonesia sebagai pionir yang mengibarkan musik reggae di Jakarta mulanya, tapi kemudian dikenal oleh pencinta reggae di seluruh Indonesia.

Rasanya tak sah seseorang mengaku sebagai pencinta reggae jika belum mendengar lagu-lagu Tony Q. “Pesta Pantai”, “Damai dengan Cinta”, “Rambut Gimbal”, “Oom Funky”, adalah sebagian lagu-lagu Tony yang telah akrab di telinga penggemar reggae. Lagu-lagu yang ringan, gampang dicerna, serta bercita rasa Indonesia, adalah ciri khas yang menempel pada lagu-lagu Tony. Oleh sebab itu, lagu-lagunya gampang dihafal oleh pemujanya yang bisa menyanyikannya di rumah-rumah mewah hingga pinggir jalan.

Simaklah salah satu penggalan lagunya berikut ini,

Lukiskan jiwa kita, jangan terpisah
Lukisan cinta, harapan setiap insan
Damai dengan cinta, damai dengan cinta

Lepas, bebas, tanpa beban. Ditambah suaranya yang serak dan berat, posisi Tony di hati penggemarnya memang tidak bisa tergantikan oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang baru datang di kancah reggae, seperti kelompok Steven n the Coconut Trees, Gangsta Rasta, dan lainnya. Ditambah kepribadiannya yang rendah hati dan santun, membuat mereka yang telah mengenalnya langsung jatuh hati kepada Tony, baik sebagai musisi maupun sebagai pribadi.

Tony bukanlah sosok idola yang menempatkan dirinya di menara gading yang tak gampang disentuh oleh penggemarnya. Para pemuja Tony bisa dengan gampang menyapanya, menyalaminya, mengajak ngobrol, hingga ketawa-ketiwi dan foto bareng. Tony juga tak perlu bersembunyi di ruang-ruang rahasia yang steril dari penggemar.

Saban sore, jika tak ada acara, dia sangat mudah dijumpai di kawasan Bulungan. Sebab, begitulah biasanya Tony memulai harinya. Tiba di Bulungan menjelang sore, makan di warung Juice 13 yang terletak di pojokan kawasan GOR Bulungan, ngopi dan merokok sambil bercanda dengan kawan-kawan, mandi di kamar mandi rumah dinas pegawai GOR, melukis di emperan auditorium, lantas pergi dengan berkendara sedan VW Variant tahun 1964 yang kemudian ditambahi sendiri mereknya menjadi VW Rastavariant, menuju tempat di mana dia harus mengisi acara, seperti di BB's Cafe pada pertengahan tahun 2000 hingga tahun 2009, untuk konser saban Rabu dan Jumat malam.

Hidupnya yang ringan membuatnya leluasa mengalir ke laut mimpi-mimpinya bahwa pada suatu ketika musik dan lagu-lagu reggaenya bisa dinikmati dan diakui oleh pencinta musik di seluruh dunia sebagai reggae Indonesia. Reggae dengan sentuhan etnik Tanah Air yang melibatkan suara talempong dari Padang, gondang dari Batak, gamelan dari Jawa, hingga gendang jaipong dari tatar Pasundan.

Saya pertama mengenal Tony Q sekira tahun 1996 di Clasic Rock Stage di bilangan Blok M. Kala itu ia bermain bersama kelompok musiknya, Rastafara. Tony memegang gitar sambil mengibas-ibaskan rambut gimbalnya yang sebahu saat membawakan lagu "Bufallo Soldier" karya Bob Marley. Saat istirahat, ia mendekati para tamu, termasuk saya yang kala itu datang bersama rekan Agus Blues. Kami berkenalan, dan secara sopan ia memperkenalkan diri, "Saya Tony, Mas."

Begitulah, sejak saat itu saya mengikuti perjalanan musik Tony dari kejauhan. Tahun-tahun berikutnya, saya dengar dia mengisi acara di Cafe Pasir Putih, Kemang, Jakarta Selatan, sebelum akhirnya dia bermain di BB's yang berlokasi di daerah Menteng, hingga sekarang.
Tahun 2003, ketika saya secara intens berkunjung ke Bulungan, perkawanan saya dengan Tony pun tambah akrab. Kerap saya terlibat obrolan yang hangat tentang apa saja sembari minum kopi. Sekali waktu ngobrol tentang asal-usul manusia, di lain waktu kami membicarakan perkembangan musik. Bahkan pernah ia terlibat penggarapan lagu saya yang bercorak reggae.

Pernah pada suatu malam dia bercerita tentang music reggae dan perkembangannya. Katanya, sejak Bob Marley meninggal, tidak ada lagi musisi reggae dunia yang menonjol. Ada memang beberapa grup yang menyanyikan lagu reggae sempat melambung, seperti UB 40 atau Big Montains, tetapi keduanya cuma bertahan di satu single, sesudahnya mereka cukup dikenang pernah meramaikan jagat musik reggae.

Bahkan anak Bob Marley yang bernama Ziggy yang meneruskan jejak ayahnya pun tak kuasa menggantikan kedudukan Marley. Pun demikian dengan kelompok musik yang dulu pernah mengiringi Marley, Waillers yang hingga kini masih eksis, tak lebih sebagai penghias dunia reggae tanpa bisa melahirkan lagu-lagu gemilang seperti kala mereka bersama Marley.

Menurut Tony, Bob Marley memang tak sekadar seorang musisi yang menggelorakan reggae, tapi dia juga seorang yang kompleks, seorang yang juga terlibat dengan urusan religi melalui kepercayaannya sebagai penganut rasta, terlibat politik, dan tentu saja sangat peduli dengan kemanusiaan. Kedudukan Marley yang kompleks itu membuat musisi ini menjadi pribadi yang memiliki banyak dimensi, dan karena itu ia kaya warna dalam kehidupannya, sebuah keniscayaan yang harus dimiliki seorang “bintang” sebagai bagian dari sensasi yang melekat padanya.

Tony juga memuja Bob Marley, tapi dia tidak mau menjadi seperti Marley. Tony yang belajar musik dan menyanyi secara otodidak tetap menjadi Tony Q yang orang Jawa, rendah hati, berlogat Jawa yang medok. Bahkan ketika bernyanyi dalam bahasa Inggris, misalnya saat mengucap lop untuk love.

Satu teladan yang dipetik dari Bob Marley adalah kesungguhannya dalam pilihan. Maka, sejak Tony “beriman” pada musik reggae, dia pun menghabiskan sebagian besar waktunya untuk reggae. Segala hal ihwal tentang reggae ia pelajari, baik reggae sebagai musik maupun anasir-anasir lainnya yang mengikuti perkembangan musik tersebut. Bahkan ada satu lagu Bob Marley, yaitu “Get Up Stand Up” yang sempat diaransemen ulang dengan gaya dan “rasa” Indonesia, sempat dijadikan penelitian skripsi mahasiswa ISI Yogyakarta Jurusan Ethnomusicology.

Bertanyalah kepada Tony muasal musik reggae, maka pemilik rambut gimbal ini akan lancar berkisah, reggae adalah pemahaman orang-orang Jamaika yang mengagumi musisi-musisi hitam Amerika yang memainkan rhythm and blues. “Dengan caranya sendiri yang khas, orang-orang Jamaika mengapresiasi musik R n’ B yang dimainkan oleh orang-orang hitam Amerika. Yang istimewa adalah, pemahaman itu akhirnya justru muncul sebagai lokal genius Jamaika, seperti halnya orang Indonesia melahirkan dangdut sebagai apresiasi terhadap musik Melayu dan India,” ujar Tony.

Tony juga bisa menunjuk bahwa almarhum Murry yang pernah tergabung dengan grup legendaris Koes Plus adalah orang pertama yang memukul drum dengan gaya reggae. “Roots-nya, teknik pukulannya, semuanya reggae, Murry itulah drumer Indonesia yang memainkan reggae pertama kali. Berikutnya, di tahun 80-an, ada juga penyanyi Nola Tilaar, Anci Larici, dan beberapa nama lainnya menyanyikan lagu pop secara reggae, dan tak ketinggalan adalah Arie Wibowo dengan Bill and Brod-nya melalui lagu 'Madu dan Racun',” terangTony.

Ngobrol dengan Tony adalah sebuah ritual yang menyenangkan. Kopi kental dan rokok adalah pelengkap menu kami menghabiskan malam-malam di Bulungan. Sekali waktu, tahu gejrot yang dijajakan secara keliling oleh penjualnya yang mengaku berasal dari Cirebon adalah menu tambahan yang kami suka. “Jangan pedes-pedes ya,” begitu selalu pesan Tony kepada tukang tahu gejrot.

Lalu, sambil mengudap tahu gejrot dengan aroma bawang putih yang menyengat, Tony pun bercerita tentang substansi musik reggae. Menurut dia, ruh musik reggae terletak pada bas. “Jika pemain bas reggae tidak cerdas, maka boleh dipastikan musiknya bakal membosankan karena monoton. Itu sebabnya, basis reggae dituntut untuk lebih kreatif dibanding pemegang instrumen lainnya,” Tony mengungkap.

Selagi kami asyik ngobrol, muncul Joko Joker, komedian yang juga penyanyi Bulungan. Rupanya Joko sedang membicarakan album miliknya yang diproduseri dan musiknya digarap oleh Tony. Segera Joko memutar contoh demo rekaman hasil garapan Tony. Mendengar hasil rekaman itu, saya pun terpingkal-pingkal, lantaran musik garapan Tony mengingatkan saya pada para musisi jalanan yang cuma berbekal kotak berdawai karet yang bunyinya dang dung dang dung, ya ya.... Sebuah aransemen yang cerdas, unik, dan menggelitik. Tony rupanya telah menggarap aransemen musiknya sesuai dengan karakter vokal Joko yang bersahaja. “Justru kesderhanaan aransemen dan vokal Joko itulah yang jadi kekuatan album ini,” terang Tony.

Begitulah Tony, selalu ringan tangan untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Tukul adalah salah satu orang yang pernah merasakan manisnya berkawan dengan Tony. Kala Tukul masih susah hidupnya, Tony pula yang memberinya bantuan. Pun saat Joko Joker membutuhkan bantuan mengaransemen musik bercorak komedi, Tony Q dengan senang hati membuatkan aransemen musik yang unik buat Joko.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau