Menggunakan cuplikan-cuplikan video rumahan yang diambil oleh teman-teman dan produser Amy, bahan-bahan dari konser, wawancara dan sesi rekaman, Kapadia membuat potret yang riang dan juga menyedihkan tentang penyanyi ikonik itu.
Film dokumenter ini dimulai dengan video rumahan yang belum pernah dipublikasi sebelumnya, dalam mana Amy, yang berusia 14 tahun, menyanyikan lagu ulang tahun untuk teman dekatnya. Cuplikan itu menunjukkan bahwa penyanyi tersebut, bahkan ketika masih remaja, mempunyai suara yang unik dan manis. Namun, film ini juga menunjukkan Amy tidak pernah membayangkan betapa suaranya akan membuatnya terkenal.
"Saya tidak pernah sama sekali mengira saya akan menjadi terkenal," ujar Amy kepada seorang temannya.
"Saya rasa saya tidak bisa mengatasi ketenaran. Mungkin saya bisa gila, Anda paham? Saya bisa gila," sambungnya.
Sang sutradara menghidupkan kembali hari-hari Amy muda dengan mata yang bersinar sebagai artis musik muda dan membawa para penonton mengikuti kehidupan Amy yang penuh dengan roller coaster emosi, hingga akhirnya ia meninggal pada 2011 akibat overdosis alkohol. Ia berusia 27 tahun saat itu.
Kapadia tidak memberi analisis kejayaan dan kehancuran Amy. Justru, ia membiarkan kisahnya mengalir melalui sekian banyak video pribadi dengan teman-teman dan keluarga, kata-kata dan pemikiran sang penyanyi.
Film ini membawa para penonton mengikuti karier musik Amy yang sukses. Karismanya mampu menyihir para penonton. Sisi buruk yang ia geluti tidak bisa mengalahkan suaranya yang fenomenal dan kehadirannya di atas maupun di luar panggung.
Kesuksesannya yang luar biasa berasal dari kebutuhannya untuk menyalurkan emosinya dengan menulis lirik lagu dan menyanyi. Menulis lirik lagu dan menyanyi adalah caranya, seperti yang ia katakan di salah satu cuplikan dokumenternya, untuk menghilangkan rasa depresinya. Bukan untuk menjadi terkenal atau mendapatkan penghargaan.
Film ini menunjukkan adegan ketika Amy tercengang ketika mendengar idolanya, penyanyi Tony Bennett, mengumumkan namanya sebagai pemenang Grammy Award untuk rekaman terbaik pada 2008.
Namun, film ini juga menunjukkan titik lemah Amy. Salah satunya adalah kecanduan yang ia alami. Ia tidak bisa melepaskan diri dari hubungannya yang merusak dirinya dengan Blake Fielder, suaminya sekaligus temannya dalam menggunakan narkoba. Ketika pernikahannya berantakan, ia terjerat lebih dalam pada ketergantungannya akan obat-obatan dan alkohol.
Film dokumenter ini menggambarkan ayah Amy, Mitchell Winehouse, sebagai seorang oportunis dan tidak menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kecanduan obat-obatan yang membahayakan dirinya. Ia mengkritik film ini dan menyebutnya tidak berimbang.
"Ini bukan film yang Amy inginkan. Dia pasti tidak mau digambarkan seperti ini," ujarnya.
Ada kabar beredar, ayahnya ingin membuat film dokumenter sendiri untuk menceritakan anaknya dari sudut pandangnya.
Namun di luar itu, film ini menuding kehancuran Amy adalah karena para penggemarnya, yang jatuh cinta kepadanya dan ingin memilikinya. Paparazzi mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia akhirnya tidak sanggup menghadapi tidak adanya ruang pribadi untuknya.
Film dokumenter ini memuaskan keinginan para penggemar Amy untuk melihat kehadiran bintang itu kembali, tetapi secara perlahan menyebabkan kegelisahan ketika film ini menceritakan kehancuran emosi dan fisiknya.
Film ini menunjukkan ironi yang tragis bahwa Amy hancur akibat bakatnya yang luar biasa dan ketenarannya. Film ini juga menampilkan kritik terhadap budaya pop dan campur tangan tabloid sehingga menghancurkan apa yang dicintainya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.