“I see myself as a huge fiery comet, a shooting star. Everyone stops, points up and gasps "Oh look at that!" Then- whoosh, and I'm gone...and they'll never see anything like it ever again... and they won't be able to forget me- ever.”
Jim Morrison
Jim Morrison, penyair dan vokalis band The Doors sepertinya telah meramalkan takdirnya, bahwa ia akan mati muda, namun diingat orang sepanjang masa.
Ia menyebut dirinya seumpama bintang terang yang melesat di langit. Setiap orang memandangnya dengan takjub, dan wuuuuuzzzz, bintang itu menghilang. Orang-orang tidak akan pernah melihat bintang yang sama lagi. Mereka juga tak akan lupa padanya.
Jim memang melekat dalam ingatan banyak orang, termasuk mereka yang hidup setelah kematiannya. Ia bukan sekedar penyanyi di sebuah band rock, namun sekaligus menjadi ikon.
Syair dan kata-kata dalam lirik lagunya menjadi inspirasi banyak orang yang mencari kebebasan dan jawaban atas kehidupan, termasuk terhadap kematian.
Itulah sebabnya kuburan Jim di di pemakaman umum Pere Lachaise di timur kota Paris masih ramai dikunjungi orang setelah 45 tahun kematiannya.
Kuburnya yang sunyi tak pernah sepi, seperti siang itu ketika saya berkesempatan datang ke sana. Orang-orang dari berbagai bangsa mengunjungi makam itu seperti menjenguk kerabatnya.
Makamnya tak istimewa, sama sekali tak istimewa, hanya sebuah batu nisan persegi kecil bertulis “James Douglas Morisson 1943-1971” sebagai penanda. Ada foto Morrison yang sangat terkenal di atas nisan itu.
Di bawah namanya terukir kalimat “Kata Ton Daimona Eaytoy”. Kalimat dalam bahasa Yunani itu ditorehkan atas permintaan ayah Jim. Artinya kurang lebih “percaya pada jiwanya sendiri”.
James Douglass Morrison, dinyatakan meninggal pada 3 Juli 1971, di puncak ketenarannya sebagai pujangga rock. Ia masih sangat muda, 27 tahun, persis seperti ramalannya soal bintang benderang yang hilang dalam sekejab.
Kematiannya menyisakan teka-teki dan rumor hingga sekarang. Ada yang menyebut tubuhnya ditemukan tak bernyawa oleh Pamela Courson, kekasihnya, di dalam bathup apartemen mereka di Rue Beautreillis, Paris.
Ada pula versi yang menyatakan ia tewas karena over dosis heroin. Namun, mereka yang mengenal Jim menyangkal hal itu. Jim penenggak berat alkohol, bisa 2 sampai 3 botol, tapi ia bukan pencandu narkoba.
Versi lain mengatakan ia bunuh diri. Rumor lain berkembang ia sengaja memalsukan kematiannya karena muak dengan kehidupannya.
Bahkan sejumlah pemujanya percaya Morrison tidak mati. Ia masih hidup dan tinggal menyepi di salah satu sudut bumi.
Apapun pendapat orang, Jim memang dekat dengan kematian. Syair dan puisinya banyak menyebut soal mati yang tak perlu ditakuti. “No one here gets out alive,” ujarnya.
Jim bahkan heran pada mereka yang khawatir pada kematian. “Orang-orang takut mati melebih ketakutan mereka pada penderitaan. Sungguh aneh bahwa mereka takut pada kematian. Karena kehidupan lebih menyakitkan dari kematian. Di saat kita mati, penderitaan akan hilang,” kata Jim.
Dalam salah satu liriknya, pria berjulukan Lizard King itu menyebut kematian bisa disikapi dengan santai. “Time to live, time to lie, time to laugh, and time to die. Take it easy baby. Take it as it comes.”
Maka seperti anggapannya soal kematian sebagai hal lumrah, nisan Jim pun tidak dibangun sebagai monumen yang istimewa. Ia bahkan tenggelam oleh makam-makan lain di sekitarnya yang dibangun menyerupai rumah dengan beragam ornamen.
Makam Jim terlalu sederhana untuk seorang pujangga musik besar yang sosoknya melekat abadi di sanubari para penggemarnya. Namun justru makam itulah yang paling banyak dikunjungi orang.
Saya teringat cerita dalam sebuah konser The Doors di Los Angeles. Saat itu pembawa acara memperkenalkan band yang akan tampil sebagai “Jim Morrison and The Doors.” Jim yang namanya diistimewakan justru naik pitam. Ia menyuruh pembawa acara mengulangi nama band menjadi “The Doors” saja.
Ya, walau ia paling terkenal, namun Jim ingin disamakan dengan rekan-rekannya. Hal itu membuat siapapun yang mengunjungi makamnya akan merasakan Jim sebagai temannya sendiri.
Komplek Makam terbesar
Tidak sulit mencari makam Jim. Para wisatawan bisa mendapatkan peta yang dijual bebas di depan makam. Belakangan, peta google pada gawai kita menjadi pemandu yang amat menolong.
Ini adalah pemakaman terbesar di kota Paris dengan luas mencapai 44 hektar. Ada ribuan makam di tempat ini.
Pekuburan ini juga sudah sangat tua. Diresmikan pertamakali oleh Kaisar Napoleon Bonaparte pada 1804. Sejumlah tokoh ternama dimakamkan di tempat ini. Nama-nama besar klasik Perancis yang dikubur di sini antara lain penyair La Fontaine (1621- 1695) dan dramawan Moliere (1622- 1673).
Komposer kenamaan Frederic Chopin juga dimakamkan di sini. Kuburnya terletak di sebelah barat makam Morrison. Di dekat makam Chopin terdapat makam penyair Perancis, Guillaume Apollinaire (1880- 1918). Karyanya yang berjudul Les Onze Mille Verges dilarang Pemerintah Perancis sampai tahun 1970 karena dianggap berbau pornografi.
Nama besar yang lebih baru yang beristirahat abadi di tempat ini adalah penyanyi Edith Piaf (1915-1963). Ia penyanyi lawas, mungkin angkatan orang tua Anda. Namun, mungkin Anda pernah mendengar lagu Je Ne Regrette Rien? Ini salah satu lagu populer yang dinyanyikannya.
Makam lain yang sering dicari wisatawan adalah makam Oscar Wilde (1854-1900). Ia adalah seorang penyair tampan asal Irlandia. Wilde dipenjara karena gaya hidup biseksual yang dijalaninya, sesuatu yang sangat tabu di zaman Victoria.
Merenungkan Kematian
Meski merupakan kuburan, tak ada aura menyeramkan mengunjungi Pere Lachaise. Pepohonan yang rindang dan gundukan batu nisan menawarkan keheningan yang menenteramkan.
Tempat ini seperti sebuah taman sunyi, tempat untuk sendiri. Beberapa orang terlihat duduk diam di sejumlah bangku taman yang tersebar di situ.
Kini, nisannya terlihat bersih. Ada pagar pembatas berjarak sekitar 3 meter dari makam itu yang membatasi pengunjung.
Pagar itulah yang kini menjadi luapan penggemar Morrison menyematkan tanda cinta mereka berupa gembok dan gelang tangan. Tak jauh dari sana, ada bilah-bilah bambu tempat para penggemarnya menempelkan permen karet.
Siang itu, sepasang kekasih tampak berdiri lama di tepi pagar. Tangan mereka saling merangkul di pinggang. Si wanita menyenderkan kepalanya di bahu si pria. Mereka sepertinya ingin mengenang bintang terang yang pernah ada, namun singkat hidupnya. Tinggal syair-syair yang hidup selamanya.
Syair-syair itu telah menjadi mantra yang menyatukan mereka yang mendamba kebebasan. Di situ saya masih merenungkan kata-kata Jim soal kehidupan dan kematian. “There are things known and things unknown, and in between are the doors.”
Kematian adalah pintu itu, penghubung antara yang kita ketahui dan tidak. Di situlah saya turut merasakan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Lebih pasti dari masa depan, seperti yang dikatakan Jim, “The future is uncertain but the end is always near.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.