KOMPAS - Ahmad Tohari (68), penulis asal Banyumas, Jawa Tengah, yang dikenal lewat karya trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986) meraih penghargaan Cerpen Terbaik ”Kompas” 2015 lewat karya cerpen ”Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”
Penghargaan diserahkan pada Malam Jamuan Cerpen Pilihan ”Kompas” 2015 dalam rangkaian perayaan 51 tahun harian Kompas.
Trofi berupa patung karya maestro Nyoman Nuarta diserahkan Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, Selasa (31/5) malam, di Bentara Budaya Jakarta.
Selain dihadiri 21 dari 23 Cerpenis Pilihan Kompas 2015, acara juga dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, pemusik Ananda Sukarlan, serta dramawan Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno.
Selain nama baru, seperti Miranda Seftiana atau Anggun Prameswari, Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015 juga dimeriahkan oleh kehadiran cerpenis senior yang setia berkarya, seperti Putu Wijaya, Martin Aleida, dan Joko Pinurbo.
Malam itu, Bentara Budaya Jakarta adalah malam milik para penulis cerpen Kompas. Selain pemberian penghargaan, para penulis menjamu tamu dengan kisah dan nukilan karya mereka.
Ada 23 cerpen yang dipilih dewan juri dari 50 karya yang dimuat sepanjang 2015. Cerpen-cerpen tersebut diterbitkan pula dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas yang diluncurkan malam itu.
Sebuah karya kolaborasi penulisan spontan pun dimulai oleh penulis Agus Noor, Dewi Ria Utari, Jujur Prananto, dan Putu Wijaya dalam jamuan itu.
Menteri Pendidikan Nasional Anies Baswedan lantas didaulat memberikan judul pada karya tersebut.
Setelah diam sejenak di depan komputer, Anies berkomentar, ”Ah, lebih mudah membuat Permendikbud ketimbang membuat judul cerpen,” yang disambut gerrr... tamu lainnya.
Akhirnya, Anies memilih judul ”Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua” untuk awal cerpen itu.
Malam Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2015 dipandu Wartawan Kompas, Bre Redana. Tentang format acara yang berbeda dari tahun sebelumnya, Bre berkelakar bahwa itu bukan wujud pengiritan.
Menurut dia, hakikat kesenian justru terletak pada kesederhanaan. Bre mencontohkan, penulis sekelas Tohari tak mungkin menghasilkan karya cerpen yang meraih penghargaan jika tidak bersentuhan dengan kesederhanaan di rel kereta api.
Karya cerpen Tohari dinilai menarik secara artistik dan punya keberpihakan kepada orang-orang terpinggirkan.
Mengusung aliran realisme dalam mencipta cerita pendek, semua karya Tohari terlahir dari latar belakang realitas sosial yang kemudian dibangun kembali dan dihadirkan dalam wujud karya fiksi.
Karya ”Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” lahir ketika Tohari bersentuhan dengan pemandangan sepasang gelandangan yang memberi makan anaknya yang berusia lima tahun berupa mi instan seduhan air panas pada 2014.
”Untuk penulis yang gelisah, mi instan ini bukan persoalan biasa. Saya gelisah, dan kegelisahan itu menjadi pemantik lahirnya karya sastra,” kata Tohari.
”Saya kaget, cerpen ini terpilih. Cerpen saya berhamburan kata kencing dan ditulis dengan emosional. Boleh kencing di mana saja asal tidak di tubuh ibunya, sekaligus melampiaskan kekesalan terhadap apa yang ada di Jakarta,” katanya.
Paceklik baca
Malam Jamuan Cerpen Kompas 2015 juga memberikan Penghargaan Kesetiaan Berkarya kepada seniman Gde Aryantha Soethama yang diserahkan oleh Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikard Bagun.
”Kejutan bagi saya. Sastra memberi pengalaman bagi saya dan kemudian menjadi pegangan untuk hidup. Kompas-lah yang melakukannya. Setia memberi ruang sastra. Bagaimana setia pada teks dan merawat teks,” kata Gde.
Anies Baswedan yang hadir memakai belangkon dan busana adat berharap cerpenis bisa menjadi jawaban bagi permasalahan paceklik minat baca.
Dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 setelah Bostwana untuk minat baca.
”Anak-anak butuh suplai bacaan. Para cerpenis potensial menyediakan suplai bacaan dan mengajari guru dan siswa nikmatnya menulis,” kata Anies.
Anies juga kini melakukan gerakan anak-anak membaca buku, bukan buku pelajaran, 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar di sekolah dimulai.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, sejak 1970, Kompas senantiasa memberikan ruang bagi lahirnya cerpen-cerpen baru.
Rata-rata, setiap tahun muncul 50-52 cerpen baru sehingga sampai kini telah lahir 2.300 cerpen di Kompas.
Munculnya rubrik cerpen di Kompas bermula dari respons terhadap masukan pembaca. ”Media selalu menyesuaikan dengan dinamika zaman,” kata Budiman.
Sepanjang 2015, Kompas menerima 4.249 kiriman karya cerpen. Hanya 50 cerpen dari ribuan kiriman karya itu yang dimuat pada edisi Kompas hari Minggu. Seiring waktu, rubrik cerpen di Kompas menjadi rumah bagi banyak penulis senior ataupun muda.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, tradisi pameran ilustrasi cerpen yang biasanya digelar bersamaan dengan malam anugerah cerpen ditiadakan.
Biasanya, pameran berlangsung di Bentara Budaya Jakarta dengan menampilkan ilustrasi cerpen Kompas yang merupakan karya para perupa profesional.
Sejak 2012, Kompas juga mulai menyelenggarakan workshop cerpen. Tahun ini, Kompas tetap menyelenggarakan Workshop Cerpen, bedanya peserta harus membayar untuk dua hari pelatihan.
Workshop Cerpen kali ini hanya diselenggarakan di Jakarta dan berlangsung pada 30-31 Mei 2016 dengan 20 peserta dari sejumlah daerah.
Rangkaian acara cerpen Kompas merupakan salah satu upaya Kompas mendukung dunia literasi, khususnya karya fiksi berupa cerpen. (MAWAR KUSUMA/SRI REZEKI)
-----
Versi cetak artikel ini diterbitkan di harian Kompas edisi Rabu, 1 Juni 2016, dengan judul "Sajian Karya di Jamuan Cerpen 'Kompas'".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.