Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Terkatakan... Menjadi Saksi Simfoni Tuts Fazioli di Sini...

Kompas.com - 17/06/2016, 16:17 WIB
Anne Anggraeni Fathana

Penulis


KOMPAS.com – Hening. Malam itu, Rabu (1/6/2016), tarian jari-jemari maestro piano Stephen Hough menjadi satu-satunya suara di Soehana Hall, kawasan SCBD Sudirman, Jakarta.

Penonton yang sebelumnya terlihat bercengkerama saat menanti kemunculan sosok Hough, langsung terbungkam sejak denting pertama Fazioli—piano di gedung itu—terdengar. Ruang akustik ini membungkus setiap nada yang dimainkan jemari Hough.

Sapaan dan obrolan di antara penonton yang terlihat sudah saling kenal langsung hilang bersamaan dengan redupnya lampu hall. Bersamaan sosok Hough melangkah di panggung ruangan.

Membuka konsernya, Hough memainkan Piano Sonata in A minor, D784 karya Franz Schubert. Luapan emosi Schubert mengalir dari tuts yang dimainkannya. Penonton serasa tersihir bersamanya.

Ketika pembuatan sonata A minor, Schubert memang dikabarkan sedang berjuang melawan penyakit sipilis. Diduga, itulah alasan mengapa sonata ini disusun dalam tempo allegro—tempo cepat—dengan fondasi harmoni dan ritme, bukannya melodi serta tema.

Hough bermain tenang, tetapi terasa mengejutkan saat ia pelahan memelankan permainannya untuk menggarisbawahi pergantian frase dan meluncurkan teknik melody cline. Lewat permainannya ini, nada-nada "serius" tertonjolkan tanpa kata.

Terlebih lagi, register tengah piano menghasilkan simfoni pedih mirip biola yang menambah keharuan. Gabungan keduanya menjadi poin besar dari sang pianis saat menguraikan musik murung Schubert.

Hough melanjutkan aksinya memainkan Prélude, Chorale et Fugue gubahan César Franck. Sekumpulan nada bersusulan dalam Prelude dia bawakan dengan manis dan halus.

Kehalusan teknik permainan pedal Hough membuat ritme nada terdengar bebas menari-nari sampai ke telinga pendengar. Kelincahan tangan Hough terlihat ketika ia sampai pada bagian Chorale dengan tekstur korda kental yang membutuhkan kecepatan permainan tangan.

Tumpang tindih nada terdengar rapi dan jelas berkat keapikan kualitas timbre piano. Suara tinggi pun terdengar jelas dan tidak cempreng.

Fazioli menjadi penyambung pesan ketukan tuts Hough. Inilah piano yang dibuat dari pohon spruce, sejenis cemara. Dibuat manual oleh tangan manusia, Fazioli menghadirkan suara sejernih lonceng dan, bahkan menciptakan garis suara.

Dok. Soehanna Hall Fazioli menghadirkan suara sejernih lonceng dan, bahkan menciptakan garis suara.

Gemuruh tepuk tangan penonton menggantikan keheningan, begitu permainan piano Hough mengambil jeda seusai gubahan Franck. Penonton pun seolah terjaga kembali dari zaman romantis dan era keemasan komposer asal Perancis itu.

Menyusul kemudian, bagian kedua acara dimulai dengan karya Hough sendiri, yaitu Sonata III Trinitas. Lagi-lagi pianis beradah Inggris ini menghadirkan "sihir" yang membungkam para penonton. Hough menyuguhkan komposisi menggunakan gaya modern 12-nada berurutan.

Lalu, permainan Hough berganti lagi dengan melodi bergaya Lisztean dan mempunyai ritme jazz yang menghibur. Irama instrumental yang dilahirkan sang piano berayun menggiring kepala penonton serentak bergoyang-goyang pelahan.

Seakan menyatu dengan Fazioli, Hough melanjutkan atraksinya dengan memainkan karya Franz Lizt. Kecerdasan Hough terpancar dari setiap nada yang dia perdengarkan dari empat karya pianis asal Hungaria tersebut.

Kontrol Hough akan setiap melodi terdengar tegas, berpadu dengan penguasaan register piano dan keteraturannya membangun permainan.

Sampai nangis

Menutup aksinya malam itu, Hough membawakan karya musisi Tanah Air, Jaya Suprana. Suara lembut piano pun menghasilkan lautan nada dengan dentuman melodi yang terdengar intens sekaligus lembut.

Ia terus-menerus membuat penonton hening dan hanya bisa terpaku menyaksikan permainannya. Kecerdasan teknik permainan Hough merangsang rasa penasaran pendengar untuk terus hanyut dalam tiap sesi permainan pianonya.

“Semua karya yang dimainkan Hough membutuhkan virtousitas tinggi, tetapi tadi dieksekusi dengan sangat bagus sehingga enggak keliatan kalau lagunya susah,” ujar Mutia Dhara, salah satu penonton yang juga guru piano, kepada Kompas.com.

Mutia melanjutkan, nuansa suara saat pertunjukan terdengar secara jelas dan rinci, mulai dari suara keras sampai pelan. Ia menambahkan, “Saya pikir mungkin karena pengaruh ruangan konser akustiknya Soehanna, detail suara semuanya enggak ada yang mis, enggak ada yang dibiarkan bergulir begitu saja.”

Soehanna Hall memang didesain dengan konsep akustik untuk menunjang kejernihan kualitas suara selama konser berjalan. Dari lantai hingga plafon ruangan ini terbuat dari kayu sehingga bunyi alat musik dapat memantul dari sang sumber—pemain piano—pada penonton.

Dok Soehanna Hall Soehanna Hall

Kesan yang sama didapatkan pula oleh Stella Larissa Mahatani, penonton lain pada malam itu. Ia merasa teknik permainan Hough terbilang berani, unik, dan tidak konvensional.

“Tiap shaping musiknya benar-benar bagus. Ditambah suara pianonya juga, manis banget. Tone-nya sama enggak cempreng walau mainnya keras, yang bagian fortissimo-nya bagus. Saya sampai ingin berlutut nangis di depan stage,” ujar Stella.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com