Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jazz Murni Rasa Toleransi

Kompas.com - 14/08/2016, 22:23 WIB

UBUD, KOMPAS.com -- Bayangkan pedesaan internasional Ubud. Ada sawah, padi, jalan-jalan kecil, upacara, dan suara jangkrik di malam hari.

Suasana pedesaan itu sering kali ditingkahi bebunyian gamelan.

Sejak empat tahun lalu, suasananya menjadi berbeda ketika Ubud Village Jazz Festival mulai digelar.

Riuh tepuk tangan penonton menyambut lagu pertama pianis Michael Setiawan sebagai pembuka Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2016, di Museum Arma, Gianyar, Bali, Jumat (12/8/2016) sore.

Pianis kelahiran Denpasar ini memukau penonton yang sebagian besar wisatawan asing atau ekspatriat.

Ubud memang desa yang berbeda. Pertemuan tradisi dan kultur populer sudah dimulai jauh hari.

Setidaknya kita bisa mencatat, bagaimana upaya Walter Spies dan Rudolf Bonnet membangun kumpulan perupa Pita Maha tahun 1930-an bersama Tjokorda Gede Agung Soekawati.

Aktivitas itu kemudian melahirkan seniman-seniman mumpuni seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Ida Bagus Made Poleng.

Kini lewat jazz, Ubud seperti mengabarkan kepada dunia bahwa desa itu tidak berhenti untuk berproses.

Uniknya, proses Ubud menjadi desa internasional tidak membuatnya kehilangan jati diri sebagai wilayah "tradisional" yang tetap memegang teguh adat istiadat lokal.

Lewat jazz, kini tua muda berbaur dan berwarna memadati halaman sekitar museum.

"Ini pesan yang ingin disampaikan di tahun keempat UVJF. Jazz menjadi musik penuh toleransi dan disajikan di lokasi yang penuh toleransi pula," kata Yuri Mahatma sebagai Co-Founder and Artist Division of UVJF.

Jazz bisa jadi memang mewakili semangat zaman. Musik ini bahkan mulai identik dengan dinamika masyarakat kontemporer.

Bagaimanapun, Ubud tak mau ketinggalan.

Sebagai daerah tujuan utama pariwisata Bali, daerah ini sejak semula ingin mengadopsi kultur dunia menjadi bagian dari semangatnya untuk berkembang.

Tema toleransi menjadi sesuatu yang tepat dalam menyikapi beragam gejolak kebinekaan Indonesia dan dunia yang belakangan terusik keunikannya.

Yuri ingin menyampaikannya melalui musik jazz.

Hal serupa dikatakan AA Anom Wijaya Darsana yang juga Co-Founder and Director of UVJF.

"Komitmen dan konsistensi UVJF ada di kemurnian jazz itu sendiri," ujarnya.

Jazz yang tersaji memang hanya jazz murni. Bukan pop jazz, bukan pula jazz kontemporer.

Ubud Village Jazz Festival adalah ajang yang hanya menyajikan jazz murni, tanpa basa-basi musik lain.

"Jazz yang disajikan benar-benar diupayakan jazz berkualitas. Warna yang disajikan juga mulai memperbanyak artis dari Indonesia, khususnya Bali. Tapi, seleksi artis tetap ketat," tutur Yuri.

Unik untuk UVJF, bagaimana lokasi dipertahankan di Museum Arma dengan tiga panggung, Padi, Giri, dan Subak.

Meski jazz musik universal, keunikan Ubud, Bali, merupakan nilai tambahnya.

Musisi yang tampil tahun ini selama dua hari lalu antara lain Peter Bernstein, Rouben Rogers, Oele Pattiselanno, Piotr Orzechowski, Gregory Gaynair.

Vokalis antara lain Margie Segers dan Mia Samira.

Seperti tiga tahun sebelumnya, musisi yang bakal tampil di panggung UVJF tampil di beberapa lokasi, seperti Angin Asia (Jepang) pentas di Warung Made, Gregory Gaynair pentas di Bridges Bali dan Vincent's Restaurant, Dian Pratiwi bersama Uwe Plath pentas di Double Six Rooftop, serta beberapa lokasi lain.

Bergengsi
Michael Setiawan, pianis asal Denpasar ini, berterima kasih terpilih tampil di UVJF.

Baginya, pentas ini begitu bergengsi di antara musisi dunia yang tampil.

Magnet Ubud seakan menguat dengan gelaran musik jazz di sore itu.

Jalur macet menuju museum tak menyurutkan orang ingin menikmati jazz hingga malam, seiring bertambahnya wisatawan asing mengantre tiket masuk.

Mereka yang datang tak hanya sebagai penikmat.

Sejumlah pemusik juga berbaur di keriaan penonton UVJF.

Pandji Baskoro (32), pemusik jazz dan pengajar musik, menjadikan acara tahunan UVJF sebagai tempat edukasi dan laboratoriumnya kalangan musik jazz murni.

Bagi Pandji, berkumpulnya musisi jazz terbaik di Ubud mampu menambah wawasan.

Ia puas mengeksplorasi para musisi asing dan lokal sebagai pembanding perkembangan musik jazz.

Suasana santai di halaman museum dan ditemani kuliner lokal hingga mancanegara mencairkan perbedaan latar belakang para pemusik serta penontonnya.

Tahun ini, pertama kali Kementerian Pariwisata mendukung melalui Pesona Indonesia.

Ini menjadi agenda tahunan yang bakal dipromosikan pemerintah pusat. Komunitas lokal dengan suasana Desa Ubud mampu menarik wisatawan dari penjuru dunia dalam kemasan musik jazz berskala internasional.

Dukungan pun datang dari Rainier H Daulay, festival advisory.

Dalam ungkapan tertulisnya, ia bangga UVJF mampu memberi warna unik festival-festival yang ada.

Festival di museum ini, menurut dia, kreatif dan mampu mendongkrak perekonomian sekitarnya.

Apalagi, harmoni warga dan alam Ubud menjadi hal utama magnet dunia.

Musik masih mengalun di tiga panggung bergantian. Suasana keakraban pun terjalin di sela-sela pentas para artis.

"Wow, saya tak menyangka festival ini begitu unik. Museum bagai disulap menjadi tempat istimewa menikmati jazz yang sebenarnya. Saya begitu terpesona. Bravo Ubud," kesan seorang perempuan wisatawan asal Moskwa.

Ia pun bertepuk tangan ceria mengapresiasi penampilan The Daunas di panggung Padi.

Musik jazz, sebagaimana juga dunia literasi lewat Ubud Writers and Readers Festival, kini menjadi ikon baru desa wisata dunia itu.

Bukan tidak mungkin pada tahun-tahun mendatang di Ubud akan lahir jenis jazz baru, sebagaimana kelahiran lukisan bergaya ubud yang kita kenal kini. (Ayu Sulistyowaty)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2016, di halaman 20 dengan judul "Jazz Murni Rasa Toleransi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com