Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Post-Cinema" Garin Nugroho

Kompas.com - 04/09/2016, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- "Post-cinema". Itulah mungkin kata bentukan yang tepat untuk menggambarkan pencapaian Garin Nugroho lewat film Setan Jawa.

Sutradara yang telah berkarya selama 35 tahun itu menghancurkan batas-batas rigid tentang apa yang disebut sinema atau bioskop dengan seni pertunjukan.

Secara dinamis kemudian terjadi "dialog" antar-ruang: film dan panggung.
 
Setan Jawa yang diputar pada Sabtu-Minggu (3-4/9/2016) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), berbasis film bisu hitam putih.

Hal ini mengingatkan masa-masa awal tumbuhnya dunia sinema di satu tempat bernama L'Eden Theatre yang terletak di kota La Ciotat, sebuah kota pelabuhan di Perancis selatan.

Bioskop yang dibangun Auguste Lumiere dan Louis Lumiere tahun 1895 itu menggunakan alat bernama cinematographe, sebuah modifikasi dari kinetoscope ciptaan Thomas Alva Edison.

Jika kinetoscope menghasilkan gambar hidup, yang hanya bisa dilihat dari semacam jendela kecil, cinematographe memproyeksikannya untuk ditonton banyak pemirsa.

Sejak penemuan cinematographe dan kemudian dilembagakan dalam bioskop, mulailah era baru dunia hiburan pada akhir abad ke-19 itu.

Setelah masuk ke Indonesia (Hindia Belanda) tahun 1900, bioskop menjadi satu bentuk lembaga yang rigid.

Pencapaian kultur bioskop seolah berhenti di dalam gedung dengan penonton yang lebih banyak pasif.

Sementara gambar-gambar di layar bergerak sendiri tanpa olahan yang lebih impresif.

Setan Jawa melintasi batas-batas formalitas bioskop dengan menampilkan orkestra gamelan Jawa sebagai pemberi nyawa terhadap film.

Film bisu pada masa lalu sebenarnya juga sudah diiringi musik, bahkan orkestra, cuma yang sering terjadi musik tidak selalu berhubungan dengan tayangan film di layar lebar itu.

Hal seperti itu misalnya ditunjukkan dalam film Nosferatu (1922) dengan sutradara FW Murnau.

Film karya sutradara Jerman yang telah mengilhami Garin itu diiringi orkes simponi dalam setiap penayangannya.

Murnau memperlakukan orkes hanya sebagai pengiring.

Ia tidak memberi olahan-olahan komposisi sehingga terjadi dialog antara film dan panggung orkestra.

Garin bersama komponis Rahayu Supanggah menyiapkan komposisi musik, bukan semata sebagai pengiring atau pembentuk nuansa filmistis, melainkan benar-benar memberikan nyawa terhadap film bisu.

Kata Garin, Supanggah sampai menjelajah berbagai kemungkinan bunyi yang hidup dalam alam mistik Jawa.

"Semua gending tentang setan dieksplorasi, begitu juga musiknya," kata Garin.

Pernyataan itu mengisyaratkan telah terjadi dialog yang intim dan sangat serius antara Garin selaku sutradara dan Supanggah yang membuat komposisi musiknya.

"Komposisi musik karya Mas Panggah akan menjadi dasar bagi permainan musik di kota-kota lain nanti," kata Garin.

Seni pertunjukan
Meski memakai bahasa lama (film bisu hitam putih dan musik pengiring), Garin justru sedang menciptakan bentuk baru dalam dunia pertunjukan.

Setan Jawa yang dikomposisi sebagai film tari dengan koreografi memikat dari Danang Pamungkas melahirkan cara penikmatan baru terhadap seni pertunjukan.

Musik yang dikomposisi Supanggah terasa begitu padu dengan koreografi yang digarap Danang.

Lengkingan-lengkingan vokal yang diisi Peni Candra Rini semakin menghidupkan tokoh Asih (Asmara Abigail).

Begitu pun tarian-tarian yang dimainkan Setio (Heru Purwanto) memberi nuansa yang semakin lama semakin mengesankan.

Hebatnya, karakter tokoh-tokoh dalam film ini dibangun dari gesture, mimik, dan gerak tubuh, terutama lewat tarian tanpa dialog.

Film ini sebagaimana diklaim Garin memotret kehidupan mistik Jawa pada awal abad ke-20.

Waktu itu, kekuasaan raja-raja sudah terpereteli kekuasaan pemerintah kolonial.

Rakyat hidup dalam kemiskinan yang mencekam.

"Itulah yang menjadi lahan subur tumbuhnya mistik, seperti pesugihan," kata Garin.

Setio, seorang pemuda desa yang hidupnya terempas dan miskin, ingin melamar Asih, gadis ayu kelas bangsawan Jawa.

Lamaran Setio serta-merta ditolak ibu dan nenek Asih karena pemuda itu hidup melarat.

Setio mencari jalan pintas dan minta kekayaan lewat pesugihan kandang bubrah.

Imbalan dari kekayaan itu, Setio menjadi tumbal, di mana setiap saat ia harus memperbaiki rumahnya yang rusak.

Dalam mistik kandang bubrah dipercaya, jika pemilik rumah meninggal, ia akan menjadi pilar rumahnya sendiri.

Itu memang cerita mistik yang hidup dalam masyarakat Jawa sampai kini.

Garin melihat cerita-cerita bergenre realisme magis hidup bersisian dengan realitas sesungguhnya.

Realisme magis dalam cerita dikembangkan dengan sangat baik oleh penulis Kolumbia, Gabriel Garcia Marques, terutama lewat novelnya Seratus Tahun Kesunyian.

Realisme magis, kata Garin, secara kebetulan berkembang dengan sangat subur pada awal abad ke-20, terutama lewat lukisan-lukisan Bali.

"Ini waktu yang bertepatan dengan film bisu hitam putih di Tanah Air," kata Garin.

Kebersamaan waktu itu diolah Garin dengan menyajikan pertunjukan film dengan nada dasar: tarian, akting, musik langsung, dan gambar-gambar yang puitis.

Tak salah jika pertunjukan ini diberi predikat sebagai poetic magic, sebuah puisi tentang mistisisme yang hidup di tengah-tengah rakyat.

Sebagai sebuah puisi yang dibagi dalam tujuh babak, film ini menjadi dokumen sosial yang mencatat realitas di tengah-tengah rakyat dengan cara estetik.

Mungkin bisa dibandingkan dengan film karya Giuseppe Tornatore bertajuk Cinema Paradiso yang memotret situasi sosial di Sisilia (Italia) pasca Perang Dunia II lewat gedung bioskop.

Setan Jawa akan menjalani world premiere pada Opening Night of Asia Pacific Triennial of Performing Arts di Melbourne, Februari 2017.

Setelah itu berkeliling ke beberapa kota di dunia sebagai cara Garin memperkenalkan dunia mistik Jawa.

Sebagai sebuah puisi tentu Setan Jawa memiliki sisi-sisi estetik yang bisa ditafsir dengan beragam cara dan rasa.

Ia akan mengembara melayari relung-relung berbagai belahan dunia dengan beragam kultur.

Itulah ujian paling pasti: dia mati atau tumbuh menjadi puisi yang sejati.... (Putu Fajar Arcana)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2016, di halaman 17 dengan judul ""Post-Cinema" Garin Nugroho".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau