Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sutradara: "Istirahatlah Kata-Kata" Tawarkan "Biopic" yang Berbeda

Kompas.com - 10/01/2017, 22:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sedikit sineas yang melihat film sebagai suatu hal yang sakral, dan ruang putar sebagai tempat yang suci ibarat kuil. Banyaknya, film dilihat sebatas hiburan, dan ruang putar dilihat sebagai wahana eskapisme. Dari sanalah film mendapat tuntutan untuk menghibur. Sedangkan film-film yang dianggap "berat" kerap dihindari.

Dalam dunia yang demokratis ini, tentunya itu sah-sah saja. Akan tetapi, jelas dibutuhkan juga sineas yang melihat film dari perspektif yang lain. Sebab, mengingat potensinya yang besar, teramat sayang bila film hanya diposisikan sebagai pelarian semata.

Beruntung kemudian Indonesia memiliki sineas seperti Yosep Anggi Noen. Anggi, begitu ia disapa, adalah satu dari sedikit sineas Tanah Air yang tidak melihat film sebagai sekadar hiburan. Sejak 2000-an, bersama dengan kawan-kawan Limaenam Films, pria kelahiran 15 Maret 1983 ini konsisten membuat film-film yang sarat dengan muatan sosial.

"... itu tanggung jawab seniman film. Tidak hanya memanfaatkan kemampuan dia untuk sekadar membuat sesuatu yang dangkal. Harus ada kegelisahan yang ditangkap. Dengan begitu, puluhan tahun lagi orang bisa melihat bagaimana kehidupan manusia pada masa itu, dan kegelisahan apa yang hidup pada diri manusia-manusia tersebut," ucap Anggi saat penulis temui di Jakarta, seminggu menjelang pemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata di Locarno.

Untuk film panjang, Anggi telah memproduksi dua film: Istirahatlah Kata-Kata dan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Kedua film tersebut ikut serta dalam seksi kompetisi Concorso Cineasti Del Presente (Filmmakers of the Present) di Locarno —Vakansi pada 2012 sedangkan Istirahatlah Kata-Kata pada 2016.

Sementara untuk film pendek, beberapa judul yang terakhir ia buat, antara lain: Rumah (2015), Kisah Cinta yang Asu (2015), Genre Sub Genre (2014), dan Laddy Caddy Who Never Saw a Hole in One (2014).

Sebagai suatu hal yang paling aktual, film terbaru dari Anggi —Istirahatlah Kata-Kata— merupakan yang pertama penulis tanyakan. Film tersebut adalah kerja kolaborasinya dengan berbagai lembaga, seperti Muara Foundation, Partisipasi Indonesia, dan Kawankawan Films. Yang memerankan Wiji Thukul, Gunawan Maryanto, juga merupakan sosok dari kelompok Teater Garasi.

Dalam Istirahatlah Kata-Kata, Anggi mengambil latar waktu 1996. Itu adalah masa ketika Wiji Thukul mengasingkan diri ke Kalimantan —untuk menghindari aparat yang mencarinya.

Kepergian Wiji Thukul ke Kalimantan, serta pengetahuan umum kita ihwal menghilangnya Wiji Thukul pada 1998, menyimpan banyak arti untuk negeri ini. Paling mudah, kita bisa melihat besarnya tekanan rezim Orde Baru terhadap suara-suara yang berlawanan.

"Sekalipun nantinya ada pernyataan terkait keberadaannya (Wiji Thukul) —dalam bentuk apapun— kita tetap harus terus bertanya, di mana ia ditemukan? Kenapa ia dihilangkan? Siapa yang menghilangkan? Dari situ, film ini tetap akan relevan. Tujuannya adalah untuk mengenang, demi sebuah pengetahuan bahwa dulu pernah terjadi sesuatu yang tidak benar," Anggi menjelaskan.

Berbagai hal di awal obrolan umumnya berkisar tentang apa yang Anggi angkat dalam filmnya, yakni menyangkut pilihan isu, dan fungsi film sebagai penanda zaman. Sementara kita tahu bahwa, selain apa yang disampaikan, film juga mengenai bagaimana cara penyampaiannya.

Pengemasan film, yang sangkut pautnya dengan ketepatan elemen audiovisual, adalah penopang utama tersampaikannya isu secara pas. Di sinilah kemudian kepiawaian seorang pembuat film diuji.

Menariknya, untuk hal ini pun Anggi terbilang peka. Dalam Istirahatlah Kata-Kata misalnya, ia menawarkan film yang berbeda dari film-film biopic yang belakangan ramai dibuat.

"Di film itu penonton akan menemukan sesuatu yang berbeda. Meskipun, itu bukan antitesis ya. Saya tidak sedang melawan, melainkan berjalan beriringan dengan Rudy Habibie, Kartini, dan lain-lain—karena kami saling memperkaya. Walaupun, saya ingin menunjukkan bahwa penonton berhak untuk merasakan suatu bentuk biopic yang lain," ujar Anggi.

Benar tidaknya tawaran tersebut tentu baru bisa dibuktikan ketika kita sudah menyaksikan filmnya. Akan tetapi, melihat film-film yang pernah ia buat sebelumnya, rasanya ada semacam jaminan bahwa Istirahatlah Kata-Kata nanti akan berbeda dari biopic pada umumnya. Setidaknya, jaminan awal ada pada Vakansi, film Anggi sebelumnya yang memiliki tutur yang khas.

Vakansi bercerita tentang sepasang pegawai toko mebel, Ning dan Mur, yang mengantarkan sofa dari Jogja ke Temanggung. Selama di perjalanan, tercipta berbagai obrolan, kecanggungan, hingga perselingkuhan— yang disandingkan juga dengan keseharian suaminya Ning. Dalam berbagai perhelatan, Vakansi mampu memukau banyak kalangan, khususnya para pengamat film.

"Di Press Lounge tempat berkumpulnya para wartawan, Vakansi dibicarakan dan dianggap sebagai film yang 'aneh dan penuh kejutan' dan dimasukkan kategori art-house from the south-east, satu kelas dengan film-film Apichatpong Weerasethakul dan Brillante Mendoza," tulis Asmayani Kusrini di filmindonesia.or.id yang membahas kehadiran Vakansi di Locarno.

Umumnya, film-film arthouse di Indonesia beredar secara gerilya di ruang-ruang alternatif, seperti festival, lembaga kebudayaan, bioskop alternatif, maupun kampus-kampus. Vakansi, yang pada 2013 diputar di 24 festival film internasional, sempat mengalami fase peredaran seperti itu. Vakansi baru masuk ke bioskop pada Juli 2014. Itu pun hanya di tiga bioskop: Plaza Senayan, Solo Square, dan Surabaya Town Square.

Jumlah layar yang minim, dan waktu edar yang singkat, membuat Vakansi tidak menuai banyak penonton. Namun itu tidak membuat Anggi kapok. Nantinya, ia juga akan mengupayakan agar Istirahatlah Kata-Kata bisa beredar di bioskop komersial. Sebab bagi Anggi, bioskop komersial bukan hanya ruang untuk pemasukan. Ruang bioskop, menurut Anggi, juga adalah ruang pertukaran wacana.

"Kalau ruang-ruang alternatif, ya itu memang nature­-nya kan. Film saya alternatif, ruangnya alternatif. Namun bila saya membuat film alternatif, tapi menghadirkannya di ruang komersial. Ya itu upaya saya untuk meraih penonton lain, sehingga mereka kenal dengan wacana lain," ujarnya.

Perkembangan film Indonesia di bioskop memang sudah terbilang baik dari segi kuantitas. Kita juga tahu bahwa penonton film Indonesia pada 2016 mengalami peningkatan. Tercatat pada September 2016, sudah ada delapan film yang mencapai lebih dari sejuta penonton. Namun, meski terkesan sudah baik, Anggi melihat ada yang kurang dari bioskop kita, yakni keragaman.

"Itu bagi saya adalah sebuah persoalan. Soalnya, penonton kita tidak diberikan pilihan. Hasilnya para penonton menggeneralisasi bahwa film Indonesia itu gitu-gitu saja," ujarnya.

Sinema dan Medium Lainnya

Semangat Anggi untuk terus menjelajahi berbagai isu, serta mengeksplorasi medium sinema, tentu tidak datang begitu saja. Ada banyak hal yang telah ia lalui, sehingga ia menjadi sineas seperti yang kita kenal sekarang. Dari berbagai hal tersebut, pengalaman ia dengan gambar hidup, serta jejaringnya dengan para sineas di Jogja, mungkin adalah dua hal yang paling mempengaruhi.

Gambar hidup yang pertama Anggi kenal adalah tayangan di televisi. Kala itu, televisi hanya dimiliki oleh segelintir orang —keluarga Anggi salah satunya. Berada di ruang tamu yang luas, televisi di rumah Anggi mampu mendatangkan warga di sekitar rumahnya untuk menonton. Pemandangan di depan televisi rumah, serta interaksi yang dihasilkan dari sebuah tontonan, kemudian berhasil memukaunya.

"Saya tidak tahu, tapi mungkin itu yang membuat saya seperti sekarang ini —karena melihat keajaiban itu...  Dulu itu hanya ada dua hal yang mampu membuat orang kumpul: tempat ibadah dan televisi. Sudah itu saja. Kalau rapat kampung, atau apa kan itu struktural ya. Tapi dua itu, tempat ibadah dan televisi, seakan jadi kebutuhan," Anggi menjelaskan.

Selain dengan televisi, Anggi juga mempunyai banyak pengalaman dengan kamera. Ia mengambil foto pertama kali waktu berusia sembilan tahun. Saat itu, Anggi diberikan kepercayaan untuk mengambil gambar ibunya menyanyi di acara Pemilu 1992. Meski hasil jepretannya tidak ia miliki, peristiwa itu turut memantik minatnya terhadap gambar hidup.

Semakin bertambah usia, minat Anggi juga semakin besar. Minat tersebut kian terarah ketika ia berada di komunitas Limaenam Films. Awalnya, komunitas ini memiliki fokus terhadap kesenian secara umum, serta terbatas di kalangan pelajar SMAN 3 angkatan 56 saja. Namun seiring jalannya waktu, komunitas ini akhirnya fokus kepada film, dan mulai berjalan layaknya rumah produksi pada umumnya.

Limaenam Films, bersama dengan berbagai rumah produksi lain, seperti Fourcolours, lantas menjadi wajah perfilman Jogja dekade ini. Film-film yang dihasilkan, seperti Vakansi dan Siti, sukses menawarkan kebaruan di skena film kita. Banyak orang yang kemudian penasaran dengan geliat perfilman di Jogja. Namun tidak ada yang tahu secara pasti, termasuk juga Anggi sendiri. Yang Anggi tahu: ada banyak faktor yang mempengaruhi.

Mulanya adalah perkembangan teknologi, serta terbukanya ruang berekspresi setelah reformasi —yang juga terjadi di kota lain, seperti Jakarta, Bandung, ataupun Purbalingga. Berbagai komunitas film di ranah produksi, kajian, dan eksibisi, kemudian bermunculan. Begitu juga festival-festival film, seperti Festival Film Dokumenter, Jogja-Netpac Asian Film Festival, Festival Film Pelajar Jogja, dan lain-lain, yang rutin diselenggarakan tiap tahun, sehingga para pembuat film Jogja terpapar oleh berbagai wacana baru tentang film.

Selain itu, kondisi sosial-ekonomi yang ada di Jogja juga memegang peranan penting. Nyatanya, satu yang langsung muncul pada benak Anggi, ketika berbicara tentang perbedaan Jogja dengan kota lain, adalah mengenai harga barang dan jasa. Di Jogja, menurut Anggi, semuanya serba murah.

"Enggak kayak di sini (Jakarta). Ini kopi saya saja harganya Rp 47 ribu. Di Jogja itu bisa untuk berlima, dan kami bisa ngobrol sampai berjam-jam ... Makanya, orang Jakarta mungkin agak malas ketemu dengan orang Jogja —karena kami banyak ngomong, ngobrolin gagasan, tapi enggak berangkat-berangkat. Walaupun, justru itulah yang membuat kami istimewa. Kami mungkin tidak membuat karya yang sangat banyak, tapi kami mempunyai banyak waktu untuk eksplorasi, sehingga menghasilkan karya yang khas," ujarnya.

Pertemuan antar pegiat film di Jogja juga Anggi nilai berbeda. Menurutnya, sineas Jogja itu selalu bicara terus terang kepada satu sama lain. Tidak ada kepentingan untuk berpura-pura memuji atau menyukai karya orang lain. Di Jogja, setiap kesan dan kritik disampaikan secara terbuka. Itulah kemudian yang selalu membuat sineas Jogja berpikir ratusan kali saat membuat film.

"Di Jogja itu, kalau kamu membuat sesuatu yang jelek itu kamu malu. Ini yang mungkin tidak banyak orang ketahui. Kami di Jogja itu galak betul kalau sama seniman. Galak betul. Saya kan punya diskusi sinema setiap jumat (disingkat Simamat). Di situ, seorang Jason (Iskandar) saja bisa batal bikin film —mengundur produksinya," ujar Anggi.

Singkatnya, lingkungan di Jogja cukup mendukung dalam hal ideologis maupun ekonomis. Para pelaku seni, dalam hal ini sineas, kemudian menjawab itu melalui karya-karya mereka. Wacana yang mereka usung semakin lama semakin besar. Walaupun, tidak ada kesepakatan dalam bentuk apapun antara satu sama lain.

"Kami sering kumpul, tapi nggak perlulah bikin manifesto. Nggak ada janjian. Bahkan untuk yang berbeda sama sekali, kami tidak masalah. Misalnya, orang pikir saya nggak bisa ngobrol sama Hanung (Bramantyo) karena beda ideologi. Padahal di Jogja, kami makan sate bareng," ujarnya.

Para sineas di Jogja memang berproses dengan cara mereka masing-masing. Begitu juga Anggi, yang kini menjadi salah satu pengajar di UMN. Satu hari di Tangerang ia mengajar, hari lainnya ia pulang ke Jogja. Berbagai pembelajaran, bagi Anggi, selalu ada di sekitarnya. Mulai dari hal sederhana seperti naik kereta, hingga hal yang terdengar tak biasa, seperti mengamati Awkarin.

"Kemarin saya baru meneliti tentang Awkarin. Dia adalah sosok yang menarik. Sangat menarik —sangat mewakili anak muda zaman sekarang," ucap Anggi.

Terkait gaya hidup, mungkin Awkarin adalah potret dari (sebagian) anak muda. Namun terkait gambar hidup, Awkarin merupakan potret dari merambahnya audiovisual ke ranah-ranah yang kian privat. Dengan kata lain, melalui Awkarin, tampak bahwa gambar hidup kini bisa dibuat siapapun, mengangkat cerita apapun, dalam waktu yang sangat singkat, dan diakses (jutaan kali) oleh siapa saja.

Pengaruh dari kemunculan media-media baru, yang menghadirkan gambar hidup pada level yang sangat privat, memang butuh penelusuran lebih lanjut. Namun yang pasti, pilihan khalayak untuk menghabiskan waktu dan uangnya pada gambar hidup kini bertambah banyak. Melihat hal ini, sebagai seorang pembuat film, Anggi justru tidak menganggap itu sebagai sebuah masalah.

"Ada berapa banyak sih selebaran tentang neraka, dan sebagainya itu? Banyak kan. Walaupun sumbernya cuma satu, yaitu kitab suci. Mengejek selebaran tentang neraka itu jelas tidak masalah —karena itu hanya eceran saja. Tapi apa ada yang berani mengejek kitab suci? Tentu tidak, karena itu jatuhnya penghinaan. Saya kira sinema pun begitu. Yang ada di handphone ya ecerannya saja —dan sifatnya hanya sementara. Namun sinema, sinema itu abadi," ujarnya.

Bagi Anggi, pengalaman duduk bersama, menyaksikan gambar hidup di layar besar, dengan suara yang mumpuni, memang merupakan sebuah ritual yang sulit tergantikan. Akan tetapi, catatan yang  penting adalah mengenai tayangan yang ada di ruang putar tersebut. Sebab menjadi percuma bila tayangan yang dihadirkan adalah sebuah karya yang buruk —yang tidak lebih spesial dari tontonan di Youtube. Anggi melihat, sinema harus bisa menawarkan karya yang layak.

"Saya akan bilang kepada mereka [bioskop], suatu saat, tempatmu itu akan menjadi kuil. Tidak ada orang yang datang ke tempat ini untuk menonton film-film kacangan. Karena mereka akan membayar dua juta rupiah sekali masuk —yang sifatnya seperti kolekte atau zakat. It’s gonna be your another business. Dan kalau kamu (pihak bioskop) tidak mempersiapkan penontonmu untuk film-film yang beragam, maka kamu akan gagal dalam bisnis ini," seloroh Anggi.

Meski terdengar mengawang—bahkan terdengar seperti guyonan belaka —jelas tersirat keseriusan pada ucapan Anggi. Pandangannya itu merupakan bentuk kepercayaan Anggi terhadap sinema, dan perkembangan literasi audiovisual di Indonesia. Ia percaya, penonton, juga pembuat film, dapat terus berkembang bersama.

Anggi mungkin tidak mengajak siapapun untuk memiliki ideologi yang sama dengan dirinya. Ia juga tidak meminta para penonton untuk berhenti menyaksikan tayangan tak bermutu di media-media baru. Semua, pada dasarnya, saling mengisi satu sama lain. Yang Anggi lakukan hanyalah memulai dari dirinya sendiri, dengan terus melakukan eksplorasi, dan terus menghadirkannya untuk khalayak luas. Hingga pada nantinya semua orang bisa melakukan ritual di ruang putar, sembari merayakan keragaman sinema. (Raksa Santana)

---

Artikel ini telah dimuat di ruang.gramedia.com pada 19 September 2016 dengan judul "Ritual Sakral di Ruang Putar"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau