JAKARTA, KOMPAS.com -- Bagi sebagian orang, beranjak dewasa sangatlah dinanti-nanti. Namun, tidak demikian halnya bagi Greta Driscoll.
Dia tak ingin meninggalkan masa kanak-kanak yang menyenangkan dan menjadi gadis berusia 15 tahun.
Keengganan itu membawanya melalui sebuah pengalaman aneh dan menemukan jati diri Greta.
Film Girl Asleep besutan sutradara Rosemary Myers ini membuka kegiatan awal dari rangkaian Festival Sinema Australia Indonesia 2017.
Sejumlah film produksi Australia dan Indonesia akan diputar dalam perhelatan yang berlangsung pada 26-29 Januari tersebut.
Girl Asleep sebenarnya mengetengahkan cerita yang sangat lazim dalam fase kehidupan manusia.
Namun, sebetulnya memaknai dunia kedewasaan tidak semudah yang dikira banyak orang.
Demikian pula yang dilihat Greta (Bethany Whitmore), seorang anak perempuan pemalu dan canggung. Dunia sekitarnya berupa orang-orang dewasa yang penuh masalah.
Ayahnya, Conrad (Matthew Whittet, yang juga penulis cerita) dan ibunya, Janet (Amber McMahon), sering terlibat adu mulut dalam berbagai persoalan.
Begitu pula kakaknya, Genevieve (Imogen Archer), yang sering bertentangan dengan orangtuanya, membuat Greta galau.
Belum lagi di sekolah dia menghadapi tekanan dari gadis-gadis cantik nan populer. Teman dekatnya pun hanya satu, Elliot (Harrison Feldman), yang penampilannya konyol dan sering jadi bahan ejekan.
Di tengah pesta ulang tahun ke-15 yang dirancang ibunya, dan Greta sebetulnya menolak pesta itu, dia dikerjai gadis-gadis populer sekolahnya.
Masuk ke kamarnya, dia pun terbawa ke sebuah dunia aneh, di hutan belakang rumahnya.
Dia bertemu aneka makhluk, seperti sosok berjubah kuning terang yang mengambil kotak musik kesayangannya, wanita salju, dan pria awut-awutan.
Pengalaman surealis itulah yang mengantarkan Greta mengambil langkah hidup berikutnya.
Film Girl Asleep diproduksi tahun 2015 dan meraih sejumlah penghargaan.
Dalam Adelaide Film Festival 2015, Girl Asleep menyabet Audience Award for Most Popular Feature. Pada Melbourne International Film Festival 2016, film ini meraih penghargaan The Age Critics Prize for Best Australian Feature Film.
Sementara dalam Seattle International Film Festival 2016, Girl Asleep dianugerahi Grand Jury Prize for Best Feature Film.
Pemutaran "Lion"
Selain Girl Asleep, beberapa film produksi Australia akan diputar dalam Festival Sinema Australia Indonesia 2017.
Salah satunya Lion, yang dinominasikan dalam empat kategori Golden Globe Awards untuk film drama terbaik, pemeran pembantu pria terbaik, pemeran pembantu wanita terbaik, dan skor asli terbaik.
Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata kehidupan Saroo Brierley yang diadaptasi dari bukunya, A Long Way Home.
Film lain adalah Spear (sutradara Stephen Page) tentang pemuda Aborigin yang mencari makna hidup dalam tradisi kuno di tengah dunia modern, Looking for Grace (sutradara Sue Brooks) yang berkisah tentang hilangnya gadis remaja dan usaha pencariannya, Satellite Boy (sutradara Catriona McKenzie) tentang seorang bocah yang berupaya menyelamatkan tempat tinggalnya di tengah padang gurun, serta The Ravens (sutradara Jennifer Perott) tentang pemulihan sebuah keluarga setelah sang ayah kembali dari medan perang.
Selain film-film Australia, film produksi Indonesia juga akan diputar dalam festival tersebut, di antaranya Sokola Rimba (sutradara Riri Riza) yang mengisahkan kehidupan anak-anak suku Anak Dalam, What They Don't Talk About When They Talk About Love (sutradara Mouly Surya) tentang kehidupan siswa-siswa tunanetra, dan Sendiri Diana Sendiri (sutradara Kamila Andini) tentang kehidupan seorang istri yang akan dipoligami.
Dalam konferensi pers awal pekan ini, Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson mengatakan, festival ini merupakan perayaan tumbuhnya industri film di kedua negara.
"Saya ingin mendorong kerja sama di sektor kreatif di antara kedua negara dan saya kira dunia film banyak menawarkan peluang kerja sama," katanya.
Australia, ujar Grigson, pernah mengalami gelombang baru film tahun 1970-an. Kala itu, negara tersebut memproduksi hingga 420 film, termasuk Mad Max.
"Banyak film berbiaya rendah, tetapi kreatif, yang sering kali didukung pemerintah negara bagian setempat," katanya.
Tahun ini, lanjut dia, festival sinema ini lebih spesial karena diselenggarakan di tiga kota, yakni Jakarta (26-29 Januari), Makassar (28-29 Januari), dan Surabaya (4-5 Februari).
Selain itu, digelar pula kompetisi pembuatan film pendek oleh para sineas Indonesia.
Grigson mengungkapkan, kompetisi ini memberi kesempatan bagi para pembuat film untuk menunjukkan kepiawaian mereka.
Panitia menerima sekitar 300 aplikasi dan telah memilih enam finalis. Film mereka juga akan diputar sepanjang festival, yakni Ojo Sok-sokan, Nunggu Teka, Deadline, It's A Match, Outgrowth, serta Ibu dan Anak Perempuannya.
Salah satu juri, Kamila Andini, mengatakan, sekarang ini bioskop didominasi film-film produksi Hollywood.
"Ini mengingatkan betapa pentingnya festival ini. Saya senang ada ruang untuk film lokal, untuk mereka tumbuh," katanya.
Mengingat pengalamannya saat belajar di Australia, Andini menuturkan, film-film Indonesia pun banyak mendapat tempat di hati warga Australia.
Dia bercerita, salah satu muridnya saat menjadi guru tari pernah mengatakan, "Ibu, Rangga... Rangga...."
Ternyata, mereka menonton juga Ada Apa dengan Cinta dan menggemari Nicholas Saputra.
Mouly menambahkan, sebagai negara multikultur, Australia memiliki beragam selera film. Tak hanya film Hollywood, tetapi juga sinema dunia.
"Banyak bioskop kecil yang menayangkan world cinema. Di Chinatown juga ada bioskop yang memutar film Tiongkok," katanya. (FRANSISCA ROMANA NINIK)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Januari 2017, di halaman 25 dengan judul "Dewasa Itu Menakutkan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.