Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Man Down", Kisah Suram Veteran Perang yang Melelahkan

Kompas.com - 18/02/2017, 15:45 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Man Down yang dibintangi aktor Shia LeBeouf ini bukan sebuah film "untuk semua orang" seperti Transformers atau Fury yang pernah dibintanginya.

Film yang disutradarai Dito Montiel (The Son of No One) berdasarkan naskah garapan Adam G Simon ini menceritakan seorang veteran perang yang menderita PTSD atau trauma pasca-mengalami peristiwa mengerikan.

Tema veteran pengidap PTSD bukan kali ini saja diangkat ke layar perak. Mungkin Anda pernah menyaksikan The Deer Hunter (1978), Born on the Fourth of July (1989) atau yang lebih ringan Rambo (1982).

Meski mengusung tema yang sama, Man Down yang diputar pertama pada Festival Film Venice pada 6 September 2015 itu mungkin sedikit lebih berat dibanding ketiga film yang disebut terdahulu.

Mengapa lebih berat? Sebab film ini menggunakan plot yang bukan hanya flash back tetapi cenderung lebih acak hampir di sepanjang film berdurasi 92 menit ini.

Tak hanya itu suasana suram dengan warna gambar yang "agak kuning" dan kelabu membuat suasana berat seakan menggantung di atas kepala penonton.

Namun, jika Anda ingin melihat Shia LeBeouf mencurahkan kemampuan aktingnya, maka film ini bisa memberikan kepuasan tersendiri khususnya bagi penggemar aktor berusia 31 tahun tersebut.

Plot acak

Film dimulai ketika veteran perang Afganistan, Gabriel Drummer (LeBeouf) menemukan putranya Jonathan (Charlie Shotwell) di sebuah tempat semacam gudang kosong.

Penonton pasti menduga Jonathan telah menjadi korban penculikan dan Gabriel datang menyelamatkannya.

Gabriel awalnya berhasil membawa Jonathan keluar dari gudang itu tetapi dia masuk kembali ke tempat tersebut karena musuh sudah mengepungnya.

Adegan kemudian mundur beberap saat ke sebuah pangkalan militer AS di Afganistan ketika Gabriel harus melakukan wawancara dengan Kapten Peyton (Gary Oldman), seorang psikolog angkatan darat.

Peyton mewawancara Gabriel soal berbagai hal yang kemudian membawa penonton ke masa saat Gabriel berada di AS dengan istrinya Natalie (Kate Mara) dan Jonathan.

Penonton dibawa melihat kehidupan keluarga kecil Gabriel yang bahagia, termasuk kedekatannya dengan Devin Roberts (Jai Courtney) kawan masa kecil Gabriel yang nantinya ikut bertugas ke Afganistan.

Lalu adegan melompat ke masa depan, dengan pemandangan post-apocalyptic di mana gedung-gedung hancur, permukiman terbengkalai, dan nyaris tak ada manusia lagi.

Di masa itulah Gabriel dan Devin bertualang mencari keberadaan Jonathan dan Natalie yang hilang entah kemana.

Kedua karib ini berjalan seolah tanpa tujuan untuk mencari dua orang yang paling dicintai Gabriel itu.

Di titik ini, penonton mungkin akan sedikit kebingungan karena rentang waktu kisah yang mungkin tak masuk akal.

Di satu saat memperlihatkan situasi masa kini baik di AS maupun di Afganistan tetapi di adegan berikutnya suasan tak ubahnya seperti pasca-perang nuklir.

Misteri ini perlahan-lahan diungkap lewat wawancara Gabriel dan Kapten Peyton, sang psikiater militer.

Perlahan-lahan penonton dibawa memahami situasi yang membelenggu Gabriel, dan yang lebih penting lagi adalah misteri keberadaan Natalie dan Jonathan.

Kurang greget

Seperti sudah disinggung di atas, film ini memang bukan film untuk "semua orang", karena temanya yang cukup berat dan plotnya yang acak.

Namun, di film ini Shia LeBeouf menampilkan akting yang luar biasa, jauh berbeda dengan aktingnya sebagai Sam Witwicky dalam Transformers atau pengemudi tank Boyd "Bible" Swan.

Dalam Transformers, LeBeouf memang tak dituntut berakting terlalu "serius" karena film ini memang tak lebih dari sekadar hiburan.

Sementara dalam Fury, yang temanya lebih berat, LeBeouf hanya sebagai pemeran pembantu yang secara kharisma kalah dari Brad Pitt yang menjadi pemeran utama.

Nah, dalam film ini LeBeouf menjadi pemeran utama, seorang veteran perang yang mengalami masalah kejiwaan serta meyakini istri dan putranya menjadi korban penculikan.

Akting LeBeouf dalam film ini harus diakui cukup memikat tetapi sayangnya secara keseluruhan dia tak mampu mengangkat greget film.

Penonton agaknya terlalu lelah, mungkin bahkan kebingungan, dibawa alur maju mundur yang terus menerus ditambah penggambaran suasana yang suram hampir di sepanjang film ini.

Agaknya, sang sutradara berusaha menggugah rasa ingin tahu penonton dengan menyembunyikan kebenaran hingga nyaris di penghujung film.

Namun, upaya itu malah membuat penonton lelah dan mungkin tak berulang kali melirik jam karena bosan duduk lebih lama lagi di kursi bioskop.

Selain itu, sutradara (penulis skenario?) kurang dramatis dalam mengeksekusi ending film yang sebenarnya memiliki tema yang menarik.

Mungkin bagian terbaik dalam film ini justru dialog antara Kapten Peyton dan Gabriel di Afganistan.

Dalam bagian inilah, kemampuan para aktor sungguh-sungguh dimunculkan. Tanpa adegan ini mungkin seluruh film bakal terasa lebih hambar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau