JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah berselang 44 tahun usai dirilis kali pertama pada 1973, album Philosophy Gang milik grup The Gang of Harry Roesli dirilis ulang dalam format sama, yakni piringan hitam atau vinyl.
La Munai Records menjadi label rekaman asal Jakarta yang mencetak piringan hitam tersebut. Sebelumnya piringan hitam itu diproduksi oleh Lion Records, label rekaman asal Singapura.
Mendiang Harry Roesli adalah vokalis dan pengisi instrumen musik bas, gitar, dan perkusi untuk The The Gang of Harry Roesli. Ia diiringi oleh permainan musik Albert Warnerin (gitar, perkusi, vokal), Janto Soedjono (drum, perkusi), Indra Rivai (organ, piano, perkusi), Harry Pochang (harmonika, perkusi, vokal), dan Dadang Latief (gitar akustik, funny maker).
Anak Harry, Lahami Khrisna Parana mengatakan bahwa dirilis ulangnya album itu bertujuan untuk kembali mengaungkan nama Harry Roesli di kalangan anak muda.
Rencana itu, lanjut Lahami, sudah ada sejak 2014 lalu hingga La Munai dipilih pihak keluarga untuk memproduksi kembali 'harta' yang terpendam ini.
"Kami disamperin oleh Rendi Pratama (pemilik La Munai) dan dia menawarkan. Keluarga memutuskan untuk menyerahkan itu kepada La Munai," ujar Lahami kepada Kompas.com dalam wawancara terbatas di SAE Institute, Pejaten Raya, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2017).
"Alasan kenapa rilis vinyl? Kami ingin kayak awalannya dirilis, vinyl juga. Kalau rilisan orisinal gitu, ya harus gitu juga. Jadi tidak hanya menghargai memori saja, tapi fisiknya juga," lanjut dia.
Philosophy Gang berisi tujuh buah lagu. Untuk side A berisi tiga lagu, yakni "Peacock Dog"; "Roda Angin"; dan "Don"t Talk About Freedom". Sedangkan side B berisi empat lagu, yakni "Borobudur"; "Imagine (Blind)"; "Malaria"; dan "Roses".
Album itu mencampurkan beberapa aliran musik seperti progressive, funk, jazz, folk, blues, dan sebagainya. Dua personel yang masih hidup sampai saat ini adalah Indra Rivai dan Harry Pochang.
Indra mengenang proses produksi yang memakan waktu lima hari saja dan menumpuknya piringan hitam lantaran tidak diperjualkan karena sebuah faktor.
"Prosesnya kelar lima hari waktu itu. Hasilnya jadi, ada ratusan. Itu piringan hitam numpuk di kolong kasur saya bagi-bagiin. Tapi, saat animo anak muda menyukai karya kami itu saya sudah tidak punya piringan hitam. Saya minta anak untuk cari dan dapat, nebus (beli) Rp 900.000," kata Indra.
"Kami ingin ada perbendaharaan di musik. Yang penting generasi sekarang tahu musiknya Harry Roesli. Dulu tahun 1973 untuk karya yang nyentrik itu sudah ada di zaman Harry Roesli," kata Pochang menambahkan.
"Harry selalu menekankan buat musik yang di luar pasar, harus sesuai selera musik mu. Bapak enggak pernah ajarin musik yang enggak kau suka, harus yang kamu suka," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.