Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bayu Galih

Jurnalis; Pemerhati media baru; Penikmat sinema

Kisah "Princess" Disney dan Dongeng yang Membahayakan...

Kompas.com - 11/04/2017, 20:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Meski remake film dari era '50-an hingga '90-an sedang jadi tren saat ini, tapi saya belum memahami alasan Disney menghadirkan kembali Cinderella (2015) atau Beauty and the Beast (2017).

Satu-satunya alasan yang masuk akal memang untuk mengeruk keuntungan. Dari bermacam karakter yang sudah dilahirkan perusahaan berlogo Mickey Mouse itu, para princess memang punya potensi jadi merchandise yang laris dijual.

Tentu saja si cantik Belle, Cinderella, Snow White, atau Aurora, punya pangsa pasar yang lebih jelas: anak perempuan.    

Sebab, karakter besutan Disney melalui Pixar, atau modifikasi dari kisah Marvel Comics seperti Big Hero 6 (2014), sudah memiliki pangsa pasarnya sendiri: anak laki-laki.

Sejarah pun mencatat, para princess memang menjadi salah lini produk andalan yang membuat Disney bangkit dari keterpurukan.

Dalam artikel "What's Wrong with Cinderella?" di New York Times pada 24 Desember 2016, penulis Peggy Orenstein mengisahkan bahwa ini terjadi sejak mantan bos marketing Nike, Andy Mooney, ditunjuk menjadi salah satu petinggi Disney, terutama yang mengurus produk konsumen pada 1999.

Dalam sebuah pertunjukan “Disney on Ice” pada tahun 2000, Mooney melihat banyak anak perempuan yang berdandan sebagai princess, tapi bukan dalam karakter yang dilahirkan Disney.

Ini melatarbelakangi Mooney meminta Disney untuk mempromosikan lagi karakter princess yang telah dibuat sejak cerita klasik Snow White and the Seven Dwarfs (1937).

Mooney berhasil mengembangkan fantasi banyak orang mengenai kecantikan putri negeri dongeng menjadi produk yang laris dijual: dari sekadar gambar dua dimensi yang tercetak di perangkat sekolah, hingga gaun ala Belle dan Cinderella yang digunakan untuk pernikahan.

Sulit untuk dibantah bahwa para princess merupakan salah satu ikon Disney, yang bahkan melekat menjadi branding perusahaan: Citra Disney sebagai perusahaan yang menawarkan keajaiban.

Jadi, cerita tipikal tentang putri raja yang "pasrah" menunggu cinta dan datangnya pangeran tampan di akhir cerita, tentu menjadi happy ending yang diharapkan terjadi dalam kehidupan nyata semua orang.

Evolusi

Sejak Disney menjadikan princess sebagai produk marketing unggulan, Peggy Orenstein yang juga dikenal sebagai seorang feminis, khawatir muncul dampak negatif, terutama terhadap anak perempuannya.

Bentuk fisik para princess yang nyaris sempurna, dikhawatirkan akan membentuk persepsi bahwa cantik itu harus serupa Cinderella, Aurora, Belle, atau Lily James dan Emma Watson yang menjelma sebagai Cinderella dan Belle di versi live action.

Namun, tentu saja kekhawatiran terbesar adalah konsep putri raja yang hanya bisa menunggu datangnya pangeran berkuda putih datang.

Disney Salah satu puteri Disney, Mulan
Sebenarnya, Disney memahami bahwa karakter putri raja yang lemah tidak selamanya disukai. Karena itu setelah Beauty and the Beast dirilis pada 1991, menyusul kehadiran Jasmine dalam Aladdin (1992), karakter princess yang lebih kuat pun dihadirkan.

Putri Indian yang mandiri dan pemberani muncul dalam sosok Pocahontas (1995). Prajurit perempuan yang diambil dari legenda China Hua Mulan pun dihadirkan dalam Mulan (1998).

Dalam film-film berikutnya, citra perempuan yang lemah dan pasrah pun pelan-pelan diubah. Rapunzel dalam Tangled (2010) digambarkan sebagai gadis muda yang senang berpetualang.

Ada juga sosok Merida yang gagah perkasa dalam pertempuran di film besutan Pixar, Brave (2012). Begitu juga petualangan yang diambil dari kisah Polinesia, Moana (2016).

Managing Director of The Walt Disney Company in South East Asia Robert Gilby mengatakan bahwa evolusi karakter para princess ini memang mengikuti perkembangan zaman.

Karena itu, menurut Gilby, saat menghadirkan Cinderella dalam bentuk live action yang diperankan Lily James, maka Cindy pun dihadirkan sebagai perempuan yang berjuang untuk nasibnya sendiri. Cindy yang berani melawan ibu tirinya yang melarang pergi ke pesta dansa.

Belle dalam sosok Emma Watson juga digambarkan sebagai perempuan yang penuh impian. Perempuan yang ingin bertualang dan melihat dunia yang luas.

Dongeng yang membahayakan

Tale as old as time…”

Salah satu penggalan di lagu Beauty and the Beast itu cukup memberikan jawaban atas pertanyaan: Meski karakter princess mengalami evolusi, mengapa substansi cerita tidak mengalami perubahan.

Disney sepertinya khawatir mengubah cerita akan menghilangkan keajaiban di dalamnya. Keajaiban dongeng yang dikisahkan secara turun-temurun sejak dulu kala.

Padahal,dari sisi nilai, menghadirkan kembali Cinderella atau Beauty and the Beast dalam bentuk live action memang agak "menyimpang" dengan sejumlah karya Disney sebelumnya, yang terlihat lebih dekonstruktif.

Seperti dalam Maleficent (2014) misalnya. Pada film yang dibintangi Angelina Jolie itu, Disney menghadirkan sisi lain dari sosok antagonis dalam kisah Sleeping Beauty (1959) tersebut.

Dengan cerita yang memberikan penjelasan mengenai alasan dan latar belakang Maleficent mengutuk Aurora hingga menjadi "Putri Tidur”, Disney seperti berusaha menjelaskan bahwa perspektif tentang "orang jahat" tidaklah ada secara tiba-tiba.

Namun, ada proses panjang hingga akhirnya seseorang berubah jahat, atau dikonstruksikan jahat.

Lagipula, suatu label terhadap "orang jahat" juga bukan sebuah kebenaran tunggal, sebab selalu ada perspektif lain yang perlu dipahami. Perspektif lain itulah yang berhasil ditampilkan di Maleficent.

Atau dalam Frozen (2013) misalnya. Meski tetap menghadirkan princess cantik dalam sosok Anna dan Elsa, tapi keduanya bukanlah putri raja yang pasrah dalam mencari cinta dan menunggu Prince Charming-nya datang. Justru kekuatan cinta ditonjolkan pada hubungan mereka sebagai kakak-adik.

Disneyland California
Nah, menghadirkan Si Cantik yang jatuh cinta terhadap Buruk Rupa dalam konstruksi cerita yang tetap sama seperti pada animasi 1991 silam, bukanlah sebuah kemajuan.

Bukan, bukan karena konstruksi cerita yang mengajarkan perempuan untuk tidak apa-apa “belajar mencintai” seseorang yang buruk rupa selama memiliki kastil besar dan kaya raya.

Namun, hal yang membahayakan dari dongeng ini adalah membuat kita percaya bahwa cinta benar-benar dapat mengubah hal yang buruk menjadi baik pada waktunya.

Jika Beast merupakan personifikasi laki-laki yang bertabiat buruk, dan bukan sekedar berwajah buruk, maka mengajarkan perempuan untuk percaya bahwa tabiat buruk itu akan hilang jika tetap bertahan mencintainya, maka itu merupakan dongeng yang membahayakan.

Mengajarkan perempuan untuk bertahan jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dengan asumsi tabiat buruk itu akan hilang jika tetap pasrah dalam cinta, jelas itu membahayakan.

Atau jika Beast dianggap sebagai personifikasi perempuan yang bertabiat buruk, maka mengajarkan laki-laki untuk percaya bahwa tabiat itu akan hilang dengan dasar cinta, maka itu merupakan dongeng yang membahayakan.

Mengajarkan laki-laki untuk bertahan dalam menghadapi tuntutan berlebihan dari pasangannya, yang berdampak negatif seperti “memaksanya” korupsi, karena percaya bahwa cinta akan membawa kebahagiaan, itu jelas membahayakan.

Meski kisah Disney selalu berakhir selalu happy ending, tapi kisah dongeng sebenarnya tidak melulu berakhir bahagia.

Cinderella misalnya, sebuah versi dari Grimm Bersaudara menceritakan bahwa di hari pernikahan Cinderella-Pangeran, burung-burung yang membantu membuat gaun Cinderella membalaskan dendam kepada dua kakak tiri Cinderella, dengan mematuk mata dua perempuan itu hingga buta.

Atau dalam kisah Sleeping Beauty, sebuah versi bercerita bahwa Aurora tidak dibangunkan oleh ciuman mesra Pangeran. Namun, Aurora dibangunkan oleh gerak dan tingkah dari bayi kembarnya, yang lahir dari hubungan badan dengan Pangeran yang dilakukan saat dia tidak sadar. Dengan kata lain, Aurora diperkosa.

Tapi tentu saja versi Disney dengan segala happy ending dalam kehidupan para princess lebih menarik untuk dinikmati.

Sebab, pada dasarnya hidup memang tidak seindah drama Korea, eh maaf, drama Disney. Dan dongeng berakhir cerita bahagia menjadi pelarian, menjadi "media eskapis" yang sempurna.

Ah, maafkan saya yang merusak konstruksi kebahagiaan Anda.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau