JAKARTA, KOMPAS.com - Di dunia musik Tanah Air, belakangan muncul kecenderungan di kalangan band-band indie yang menulis lirik dengan kata-kata puitis nan agung. Malahan tak sekadar puitis, tapi juga mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia yang baik juga benar.
Band-band ini seperti mengajak para pendengar untuk kembali berbahasa Indonesia dengan baik, setelah disuguhi ratusan lagu dengan lirik yang acapkali jauh dari kaidah bahasa yang benar.
Tak sedikit juga lirik yang dicampur aduk dengan bahasa Inggris dan bahasa gaul.
Lirik-lirik puitis band-band seperti Barasuara, Dialog Dini Hari, Frau, dan Payung Teduh itu, nyatanya diterima dengan baik oleh pendengar muda usia akhir belasan tahun hingga dua puluhan tahun. Generasi langgas yang konon jauh dari budaya literasi.
Lirik-lirik itu berulang kali dikutip menjadi status di Facebook, Twitter, bahkan Whatsapp. Band-band itu pun laris menggelar pentas dari kampus-ke kampus juga dari pentas seni ke pentas seni lain.
Biasanya lirik-lirik puitik itu bahkan menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Di Makassar, Sulawesi Selatan, komunitas Kedai Buku Jenny yang sejak 2014 membuka ruang diskusi dan musik, kerap membahas lagu-lagu Payung Teduh. “Lirik lagu juga didiskusikan,” ungkap Pendiri Kedai Buku Jenny, Zulkhair Burhan.
Dari situ, jejak Payung Teduh kemudian diikuti band-band indie di Makassar dalam mengembangkan lirik-lirik bermakna. “Musik tidak hanya didengarkan tetapi juga dibicarakan,” tambah Zulkhair.
Coba simak lirik “Resah” milik Payung Teduh yang begitu teduh:
Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Atau lirik Barasuara yang sarat kritik sosial tapi adem:
Lidah kian berlari tanpa henti
Tanpa disadari tak ada arti
Bahasamu bahas bahasanya
Lihat kau bicara dengan siapa.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.