PADA 2013 dunia dikejutkan foto tiga pemimpin negara maju berswafoto dalam sebuah acara kenegaraan yang bersuasana khidmat. Mereka bertiga terlihat tertawa-tawa.
Sementara kepala negara lain, nampak sangat serius mengikuti seremoni pemakaman pahlawan Afrika Selatan, Nelson Mandela.
Tiga pemimpin negara tersebut yang membuat heboh, yang kemudian menjadi viral di dunia maya adalah mantan Presiden AS, Barrack Obama, mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, serta mantan Perdana Menteri Denmark, Helle Thorning-Schmidt.
Peristiwa tersebut segera mengingatkan kita, bahwa tiap manusia sebenarnya punya bakat melawak, atau tepatnya: membahagiakan diri sendiri atau orang lain dengan cara bermain-main.
Celakanya, tak peduli, apakah ia seorang badut yang ingin menghibur anak kecil dalam pesta ulang tahun atau atau seorang presiden yang mengikuti acara kenegaraan. Secara spontan, mereka membebaskan dirinya.
Baca juga : Baper Setya Novanto dan Fenomena Meme, Bagaimana Menyikapinya?
Tiba-tiba saja, manusia dewasa melepas beragam atribut atau jabatan tertentu, semata-mata ingin bermain-main.
Teoritikus budaya dari Jerman, Friedrich Schiller, menimbang bahwa bermain adalah insting utama dan sistem komunikasi yang tak terhindarkan bagi umat manusia.
Bermain, yang Schiller sebut sebagai play drive bahwa manusia hanya bermain tatkala merasakan dirinya utuh sebagai manusia, yang benar-benar merasakan sensasi penuhnya sebagai manusia saat ia sedang bermain-main.
Bagi Picasso, pelukis kesohor dunia itu, energi kreatif muncul menyetubuh dalam jiwa kita dan berhutang dari masa-masa kecil dulu.
Anak-anak yang mengajari siapa saja untuk tetap punya play drive agar komplit sebagai manusia dan terutama punya naluri kreativitas yang meledak-ledak.
Seperti kata Picasso, every child is an artist, the problem is staying an artist when you grow up.
Ujaran Picasso memang tak serta merta kita harus jadi seniman seperti dia, kemudian dalam momen apa saja kita semaunya sendiri. Bagai anak-anak yang tak mengindahkan situasi dan kondisi yang diharapkan bagi manusia yang dikatakan dewasa, memiliki tanggung jawab sosial.
Namun, ia memberi pelajaran penting bahwa manusia seharusnya tidak melepas energi bermain-mainnya. Untuk tetap dan mampu kreatif dalam situasi bagaimanapun.
Meme lucu
Sama dengan Schiller, sejarawan dan pengamat kebudayaan dari Belanda, Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens, atau Manusia yang Bermain menyatakan bahwa sebuah kebermainan bukanlah seremeh sebuah main-main dalam suatu permainan.
Baca juga : Soal Meme Setya Novanto, Menkominfo Anggap Hanya Ungkapan Ekspresi
Sebenarnya, manusia pada saat mengkonsentrasikan dirinya dalam “kebahagiaan melucu” dalam sebuah permainan kreatif, ia membentuk kekuatan komunikasi. Manusia hendak menyampaikan pesan-pesan.
Tentu saja pesan-pesannya menjadi serius dan mengarah pada tema-tema tertentu yang bisa jadi, pesan itu meski lucu, menggelisahkan secara sosial, politik maupun budaya.
Dari film Charlie Caplin sampai karya Rowan Atkinson, yang kemudian tenar dengan Mr Bean-nya, kita merasakan ada sasaran kelucuan yang kemudian membuat masyarakat terhibur, meski membuat “luka” yang tertunda, tapi mereka, pencipta humor itu telah mengobatinya tanpa membuat marah siapapun.
Charlie Caplin yang memparodikan Adolf Hitler maupun Bean yang mengomedikan masyarakat “borjuis” Inggris, benar-benar sebuah kelucuan yang membuka borok sosial.
Mereka menertawakan dirinya sendiri, tersandung banyak masalah, kait-mengait dengan lingkungan masyarakatnya yang dianggap olehnya munafik, korup, tak peduli pada ketimpangan-ketimpangan sosial.
Dari karikatur, komik, film, animasi sampai meme, play drive akan tetap digunakan sepanjang masa. Mungkin teknologi dan pesan-pesannya berbeda, namun kemampuan menggelitik untuk menganalisa diri dan persoalan kemanusiaan yang lebih lebar bisa diungkapkan dengan sangat santai dan rileks menyembul ke permukaan.
Baca juga : Pengacara Laporkan Pembuat Meme Kecelakaan Novanto
Kapan saja dan oleh siapa saja, baik komedian, seniman, pemikir ulung, atau pun politisi, seperti Gus Dur yang kita kenal baik di Tanah Air dengan guyon ala pesantrennya.
Meme lucu menjadi senjata mematikan tanpa membunuh. Ia hadir sementara, mencuri momen-momen terbaik kita, yang terkadang nalar obyektif lumpuh akibat terlampau lama menimbang atau berseberangan dengan keras pada satu hal.
Ujaran kebencian, yang gara-gara isu-isu politik, menantang kita untuk membalasnya dengan jalan yang sama pada kelompok yang berhadap-hadapan dengan kita. Tapi, meme lucu yang imajinatif dan kreatif malahan mengundang empati publik tanpa kecuali.
Berbagai meme yang mengolok-olok kerap kali memang terasa verbal, kurang kaya imajinasi, dengan sasaran objek yang menjadi target bisa berbentuk fisik, tata- rambut sampai gestur badan.
Baca juga : Roberto Schmidt, Perekam Aksi Selfie Barack Obama
Dari tokoh-tokoh dunia, seperti Donald Trump, Putin sampai Kim Jong Il, menjadi bulan-bulanan perkara objek fisik di tubuhnya di jagat maya. Di Tanah Air tentunya beberapa waktu lalu wakil rakyat kita, Setya Novanto (SN) mengalaminya.
Dalam kasus SN masyarakat nampaknya memulai mengambil simbolisasi khusus yang mengarah pada kasus dirinya, meskipun tidak langsung mengena pada tubuh fisik-nya. Seperti sebuah bola billiar yang akan dibidik, meme itu tak harus langsung menuju lubang target, namun mengalami double effect seperti dalam permainan bola biliar.
Strategi yang disebut english dalam permainan biliar adalah istilah untuk memukul bola dengan menggunakan efek-efek khusus. Yang memungkinkan bola bergerak tidak sesuai dengan rutenya, dengan menggunakan hukum sudut datang sama dengan sudut pantul.
Baca juga : Polri Ingatkan Masyarakat Tak Sembarangan Buat Meme
Lajur bola dimanipulasi sedemikian rupa dengan target posisi yang baik untuk pukulan selanjutnya.
Tiang listrik dan bakpau adalah beragam “pantulan bola biliar” yang dieksplorasi dalam meme tanpa menunjukkan bentuk fisik langsung dan badan SN.
Meme tersebut benar-benar efektif, dan tentunya pengacara SN sebelum menuntut akan berpikir keras, mengajukan tuntutan hukum seperti apa dengan niatan pembunuhan karakter bagi SN.
Berita gembiranya, masyarakat mulai bergerak imajinatif, menjadi lucu namun tak harus menghina secara verbal. Masyarakat rupanya mengeksplorasi energi play drive yang tak hanya mengkritisi SN, bisa jadi itu menjadi simbol otokritik bagi anggota masyarakat sendiri, yang berpola-tingkah seperti SN.
Berita baiknya lagi, di masa-masa menjelang tahun 2018, terutama menyongsong tahun “politik- gaduh” di 2019 nanti dengan Pilpres, mudah-mudahan masyarakat tidak tak terhanyut pada sebatas meme-meme murahan nan verbal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.