Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jodhi Yudono
Wartawan dan budayawan

Menulis esai di media sejak tahun 1989. Kini, selain menulis berita dan kolom di kompas.com, kelahiran 16 Mei ini juga dikenal sebagai musisi yang menyanyikan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair-penyair besar semacam WS Rendra, Chairil Anwar, Darmanto Jatman, dan lain-lain.

Nyanyian untuk Darmanto Jatman

Kompas.com - 15/01/2018, 18:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

WAKTU itu Minggu pagi, 26 Oktober 2008. Saya dan kawan-kawan dari kelompok Quartet on the Street sudah mempersiapkan diri di Warung Wedangan, Jalan Brotojoyo, Semarang.

Hari itu, saya dan kawan-kawan dari Quartet yang terdiri Irul (biola), Ichan (gitar), Tutut (biola) dan Arief (cello) memang berencana hendak menghibur Darmanto Jatman, psikolog, budayawan, dosen, penyair, yang saat itu sedang menjalani perawatan karena stroke yang menderanya sudah sekitar setahun lebih.

Menghibur kawan-kawan yang sedang sakit memang jadi salah satu program musik kami, selain tampil di panggung-panggung konvensional.

Sebetulnya, rencana untuk menghibur Mas To, begitu dulu saya memanggil Darmanto Jatman, telah lama. Sekira setahun lalu saya pernah mengutarakannya kepada penulis Semarang Handry TM, tapi naga-naganya kawan Handry sedang repot dengan "bisnis-bisnisnya".

Akhirnya, saya harus berterima kasih kepada Ilik Sasongko, pengusaha muda yang mengaku sempat menonton saya konser di tahun 80-an di Semarang. "Waktu itu saya masih SMA, Mas," kata Ilik mengenang konser saya menyanyikan puisi di Gedung Pemuda.

 

 

Ilik inilah yang kemudian memfasilitasi saya dan rekan-rekan untuk menjalankan ibadah kami lewat musik.


Ilik pula yang kemudian menjemput saya dari Salatiga seusai kami konser untuk Festival Mata Air pada Sabtu (25/10) untuk dibawa ke Semarang agar esok harinya kami tak kerepotan.

Setelah kami melakukan check sound, dialog antar anggota jaringan rumah usaha (JRU) yang dipimpin oleh Ilik Sasongko pun dimulai. Saya mendengar, Mas To sudah meluncur bersama Mba Mur (istri mas To), seorang cucu, dan juga seorang pengantar dari kediamannya di Sampangan menuju Brotojoyo.

Saya pun mulai mereka-reka, seperti apa Mas To kini, setelah saya tak pernah melihatnya lagi sepanjang 10 tahun. Terakhir saya jumpa beliau pada 1998 di cafenya Ratih Sanggar.

Mengenang Darmanto Jatman adalah mengingat seorang penyair dan budayawan yang flamboyan. Aroma tubuh Darmanto adalah aroma keraton, begitu kata kartunis dan budayawan asal Semarang, Prie GS. Anggun dan berkelas, baik sebagai pribadi maupun sebagai seorang penyair.

Jika Rendra dijuluki si "burung merak" maka Darmanto beroleh julukan "burung perkutut" lantaran ia memiliki koong, terminologi dari sebuah kematangan vokal dan interpretasi saat membacakan puisi-puisinya.

 

Darmanto adalah juga pesona seorang seniman yang ngotani, antitesa dari pengertian seniman yang kucel dan dekil. Itulah sebabnya, ke mana pun Darmanto pergi, pancaran kekaguman selalu tertuju kepadanya, termasuk para wanita yang dengan rela siap menjadi kekasih penyair berambut kribo ini.

Tepat pukul 11.10, rombongan Darmanto datang. Sang penyair besar itu datang dengan kursi roda yang didorong oleh Mba Mur. Tangan kanannya digendong dengan sebuah kain di dadanya, sementara uban sudah hampir merata di kepalanya.

Saya dan kawan-kawan tak langsung nyanyi. Ilik Sasongko memberikan kesempatan kepada teman-teman seniman untuk memberi sambutan. Cerpenis Triyanto Triwikromo diberi kesempatan, pun penggiat teater Jawahir Muhammad serta yang lainnya.

Akhirnya, tepat pukul 11.30 WIB, saya dipersilakan menuju sudut warung yang telah disulap menjadi panggung kecil. Setelah menyapa kepada pengunjung, khususnya Mas To dan Mba Mur, saya pun membuka pementasan dengan mendeklamasikan sepotong puisi Darmanto berjudul "Marto Klungsu dari Leiden", salah satu puisi yang saya hafal di luar kepala.

"Marto Klungsu dari Leiden...
Semula ia diparabi Marto Legi, karena ia lahir pada hari Legi, Pahing, Pon, Wage Kliwon
kemudian ia diparabi Marto Klungsu, sebab, setelah lulus sekolah ongko loro,
dia sudah seperti Raden Panji Raras, membawa ijazahnya pergi ke kota,
ingin cari tahu siapa bapaknya yang ada di bilangan keraton Solo

Nah sudah pasti, den mas Gung tak mau bersedia menerima si kemproh bercelana kolor, procotan dari lembu petengnya di desa Karanglo, Plumbon, Dlanggu. Pulang-pulang, sebuah benjolan menclok di kepala Marto, jadilah ia Marto Klungsu".

Saya lihat Mas To menitikkan air mata. Entahlah apa yang dirasakan olehnya. Barangkali, ia sedang mengenang kejayaannya di masa muda dulu, atau...

Ah, sebelum Mas To kelewat dalam kenangannya, saya pun langsung memetik gitar, membawakan dua puisi Mas To berjudul "Perahu Layar" dan "Sepasang Daun-daunan" yang saya gubah semalaman.

Waktu pun terus bergerak, setelah dua puisi Darmanto, saya pun menyanyikan puisi karya Timur Sinar Suprabana dan puisi karya penyair cilik Zeva, sebelum akhirnya saya memanggil kawan-kawan Quartet on the Street untuk menemani saya menyanyikan lagu-lagu karya saya yang bertema lingkungan dan kemanusiaan.

Sekira 10 lagu kami bawakan siang itu. Para pengunjung Forum Wedangan siang itu tampak bersemangat memberi support kepada Mas To dan Mba Mur dengan ngeploki saya riuh rendah tiap saya selesai membawakan lagu.

Saya pun segera turun panggung, langsung mendekati Mas To seraya mendoakan beliau agar lekas sembuh dan berkiprah lagi dalam dunia kesenian. Mas To, dengan mata berkaca terdengar mengeluarkan kata-kata, tapi tak jelas apa maknanya. Mba Mur lah yang kemudian menerjemahkannya, "Terma kasih Mas," kata Mba Mur kepada saya.

Itu perjumpaan saya dengan Darmanto setelah puluhan tahun tak bertemu. Perjumpaan berikutnya terjadi tahun 2015.

 

Diantar oleh penulis Triyanto Tiwikromo dan Donny Danardono, kami bertandang ke rumah beliau di daerah Sampangan, Semarang. Mas To dan mbak Mur nampak senang. Beberapa kali wajah saya diuyel-uyel oleh Mas To sebagai isyarat beliau senang.

Kami pun bersuka cita siang itu dengan nyanyi dan puisi.

Perjumpaan berikutnya berlangsung tahun lalu saat kawan-kawan seniman Semarang membuat acara penghargaan untuk Mas To di Taman Raden Saleh Semarang.

 

Sebelum Mas To pulang lebih awal, lantaran kesehatannya yang kian menurun, saya diminta untuk naik panggung dan bernyanyi buat beliau. Usai bernyanyi, dari kursi roda Mas To melambaikan tangan kepada saya. Turun panggung, saya langsung memeluknya.

Esoknya, saya diminta Mba Mur untuk datang ke rumah beliau. "Makan siang di sini, Mas," kata Mba Mur melalui telepon.

Kondisi Mas To jauh lebih memprihatinkan dibanding semalam. Mba Mur mempersilakan saya berdua di kamar dengan Mas To, Beliau tampak lemah dan hanya bisa tidur miring. Saya genggam tangannya seraya menguatkan beliau.

Sehabis makan siang, Mba Mur baru bercerita tentang kondisi terakhir kesehatan suaminya yang kian memburuk. "Kami sudah pasrah, Mas," kata Mba Mur lirih.

Itulah pertemuan saya terakhir dengan Mas To. Beberapa kali saya masih sempat bertemu dan ngobrol dengan putra-putrinya, Mba Abigael dan Arto, melalui telepon maupun jumpa langsung.

Sabtu 13 Januari 2017, Mas Darmanto Jatman berpulang setelah menjalani perawatan di RS Karyadi Semarang.

 

Ah... saya percaya dengan kesemestian, tapi saya tetap merasa kehilangan yang sangat. Saat beliau sakit, saya senantiasa menanti keajaiban dan ingin melihat beliau bergas waras, lalu menulis puisi lagi, membacanya kembali.

Kehilangan Darmanto adalah kehilangan seniman yang paripurna. Dalam berpuisi, beliau tak cuma berurusan dengan diksi, majas atau rima--yang telah selesai di saat Darmanto remaja--, sebab Darmanto telah membangun dunia dalam puisi-puisinya.

 

Dunia yang dibangun dengan estetika, ilmu sosial, utamanya filsafat dan psikologi sosial. Ya, itu karena Darmanto adalah penyair yang juga ilmuwan. Kecerdasan, kepekaan, dan keindahan berpadu dalam karya-karyanya.

Darmanto lahir di Jakarta 16 Agustus 1942 dengan nama kecil Soedarmanto. Ia mulai terkenal dengan sajaknya sejak 1968. Beberapa puisinya yang terkenal berjudul "Isteri", "Ana;", "Karto Iya Bilang Mboten", dan "Ki Blakasuta Bla Bla".

Berkat karya-karyanya, Darmanto mendapat sejumlah penghargaan, antara lain The SEA Write Award pada 2002, Anugerah Satyalencana Karya Satya pada 2002, dan Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah RI pada 2010.

Sugeng kondur Mas, kelak kita berpuisi dan bernyanyi kembali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau