Tiada ada yang bisa menduga perjalanan akhir seseorang. Seorang manusia bisa saja berada di jalan lurus saat mudanya, tapi kemudian memilih jalan berkelok di hari tuanya. Atau sebaliknya, saat muda memilih jalan terjal dan gelap, saat tua memilih jalan terang.
Demikian juga Hari Moekti, penyanyi rock dan pendakwah yang baru berpulang pada Minggu malam, 24 Juni 2018 di Rumah Sakit Dustira, Cimahi, Jawa Barat. Hari ternyata memilih jalan yang kontras dengan yang dia tempuh saat muda. Kelahiran 25 Maret 1957 ini memilih jalan sunyi, sebuah perjalanan yang menakutkan bagi mereka yang terbiasa dengan tepukan tangan dan sanjung puja seperti yang dialami Hari sebagai seorang penyanyi.
Jalan yang diambil Hari memang bukan jalan biasa. Segala kemewahan harus ditukar dengan kesederhanaan hidup. Segala kemudahan hidup yang penuh pelayanan dari banyak orang berganti harus melayani banyak orang. Sanjung puja berganti dengan cibiran dari mereka yang tak suka dengan jalan yang ditempuh Hari.
Tapi Hari tetap mengambil jalan itu, jalan menuju pulang yang dia tempuh pada Minggu malam kemarin.
Hari Moekti ya Hariyadi Wibowo. Mereka yang mengenyam masa remaja di tahun 80an tentu tahu siapa Hari Moekti. Julukan rocker, kutu loncat, bola bekel, dan entah apalagi, dialamatkan kepadanya.
Rocker, karena dia memang penyanyi rock terdepan pada dekade 80an. Vokalnya yang serak, melengking, dan merdu, adalah jaminan sukses sebuah pertunjukan jika Hari terlibat di dalamnya.
Kutu loncat dan bola bekel, karena Hari memang tak pernah bisa diam saat di panggung. Setiap aksi penggungnya selalu dipenuhi oleh gerakan-gerakan atraktif; mulai dari meloncat, turun dengan tali dari atas panggung, hingga salto. Semua dilakukan Hari, dan cuma Hari yang bisa melakukannya. Energinya sungguh tak ada yang menandinginya di atas panggung.
Maklumlah, Hari adalah salah satu penyanyi yang sadar profesi. Sehingga dia merawatnya secara baik dengan berolahraga secara rutin. Panjat tebing adalah salah satu olahraga kegemarannya.
Pengalaman sebagai jagoan--unyuk tidak menyebutnya preman--membuatnya sadar sepenuhnya akan pentingnya menjaga stamina yang bisa membuatnya siap sedia menghadapi segala cuaca. Hari adalah prototipe manusia yang sungguh-sungguh menjalani pilihan hidupnya, total lahir batin.
Tapi di penghujung tahun 90an, Hari memilih jalan yang lain, jalan sunyi. Jalan yang jauh dari gemerlap lampu, dentumann pengeras suara serta sanjung puja berupa tepukan tangan. Hari memilih jalan spiritual yang pasti cuma dirinya yang mengerti mengapa dia memilih jalan ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.