Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia dan Italia Saling Merangkul Melalui Tradisi

Kompas.com - 09/07/2018, 05:32 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com--Pagi menjelang siang di Nola, satu kota tua di wilayah Campania,  Napoli, Italia, 24 Juni 2018. Beberapa ruas jalan sudah riuh oleh warga. Inilah Festival Lily yang mereka sebut dengan Festa dei Gigli.

Gigli dalam bahasa Italia berarti lily. Festival tahunan ini menjadi acara penting bagi Nola, yang letaknya 30 kilometer dari jantung Napoli. Semua kantor tutup, kecuali beberapa kedai makanan dan minuman, untuk melayani lapar dan dahaga warga yang hampir  semuanya “turun ke jalan”.

Delapan giglio atau semacam tugu tinggi besar yang dihias dengan kertas-kertas yang dibentuk menyerupai bunga lily diarak keliling kota dari delapan penjuru angin.

Warga tumpah di jalan mengiringi giglio berjalan merambat sambil terus bernyanyi dengan sangat bersemangat. Sejumlah orang berdiri di atas giglio sambil menyanyikan lagu-lagu religius dan musik khas Neapolitan dan Italia.

Sorakan makin kencang ketika giglio digoyangkan naik-turun. Betapa tidak “wow”? Giglio seberat 2500 kilogram dan setinggi 25 meter itu bergerak naik turun dan hanya diangkat oleh  250 orang yang disebut paranze.

Sebanyak 250 orang mungkin dirasa cukup banyak untuk mengangkat obelisk itu. Namun, harap dicatat, giglio itu dibangun dari kayu. Dan, sejumlah orang berikut seperangkat alat musik diletakkan di atasnya. Wow!

Semua warga larut dalam kegembiraan dan keharuan, seperti dibawa kembali pada masa berabad lalu, menyambut warganya yang terbebas dari tawanan kaum barbarian.

Delapan giglio akhirnya dikumpulkan di satu lapangan besar di pusat kota Nola. Di sana sudah didirikan panggung untuk tempat duduk warga dan podium di satu balkon gedung. Di balkon itulah panitia, pejabat pemerintah, dan uskup menyampaikan pidato, dalam bahasa Italia tentunya. Festival ini didukung oleh sejumlah sponsor, di antaranya dengan memberikan kipas dan topi gratis bagi warga yang merasa gerah.

Merayakan kepulangan San Paolino

Festa dei Gigli selalu digelar pada 22 Juni atau setelah tangal 22 Juni. Tanggal itu menjadi “keramat” karena pada tanggal itulah beratus tahun lalu, pada paruh pertama abad ke-5 Masehi, seorang santo dari Nola, San Paolino, pulang kampung.

San Paolino berlayar pulang setelah terbebas dari tawanan kaum nomaden barbar Hun di Afrika Utara. Sejumlah sumber menyebut, pembebasan San Paolino terjadi atas andil seorang penyelamat dari Mesir. Tegasnya, festival ini adalah perayaan bersejarah untuk mengenang San Paolino, dan secara lebih luas merayakan kebebasan atau kemerdekaan setiap manusia.

Italy Magazine menuliskan sedikit kisah pembebasan San Paolino. Setelah bebas dan berlayar pulang, San Paolino disambut warga kota Neapolitan Nola. Ia diarak berkeliling kota dan diantar ke uskup oleh semua warga dan delapan komunitas pekerja yang ada di Nola. Tangan-tangan warga penuh dengan bunga lily sebagai  ungkapan kegembiraan dan penghormatan atas kepulangannya.

Beberapa tahun setelah peristiwa itu, warga Nola merayakan kepulangan San Paolino ini saban tahun melalui satu festival seru bernama Festa dei Gigli. Festival seru itu bertahan hingga kini karena warga terus melestarikannya. Festa dei Gigli tercatat dalam daftar warisan dunia tak benda di UNESCO sejak Desember 2013.

Festival ini menjadi bergemuruh dan menggelorakan semangat karena warga memvisualkan delapan komunitas yang menyambut San Paolino waktu itu dengan delapan giglio. Tugu-tugu yang dibuat dari kayu itu merepresentasikan delapan komunitas pekerja.

ATL di Nola

Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia berkesempatan untuk turut memeriahkan Festival Gigli pada 24 Juni 2018, dan menarik perhatian warga lokal. Beberapa warga memotret spanduk ATL yang dibentangkan di jalan saat ikut berjalan bersama giglio. Seorang warga bertanya heran, mengapa orang Indonesia datang berombongan ke Nola, padahal tidak ada keterkaitan emosional?

Kami menjawab pendek. Banyak akademisi Italia yang datang ke Indonesia karena tertarik dengan tradisi dan atau warisan budaya yang ada, bahkan tidak sedikit yang mempelajari dan menelitinya. Festival Gigli sudah tercatat menjadi warisan dunia di UNESCO dan kisahnya menarik hati warga dunia untuk mengunjunginya, termasuk dari Indonesia. Orang itu pun manggut-manggut.

Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan Pudentia MPSS mengatakan, Festival Gigli ini mengingatkan pada Festival Ogoh-ogoh di Bali, yang juga mengarak patung-patung besar keliling desa pada senja hari pangrupukan, sehari sebelum Nyepi. Namun, inti perayaan keduanya berbeda, karena ogoh-ogoh adalah representasi raksasa Bhuta Kala,  yang disebut para cendekiawan Hindu Dharma sebagai lambang kepasrahan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang sangat dahsyat.

“ATL berada di Nola ini untuk bersama-sama melihat dari dekat Festival Gigli, yang penting bagi Italia khususnya Nola. Sebaliknya, ATL beserta sejumlah mahasiswa dan pengajar Universitas Indonesia dan perguruan tinggi lain juga mengenalkan tradisi lisan Indonesia melalui workshop living tradition of Indonesia di Universitas L’Orientale di Napoli. Bisa dibilang ini perayaan bersama warisan budaya dan tradisi Indonesia dan Italia,” papar Pudentia.

Kunjungan ke Italia juga menjadi perayaan  ulang tahun ATL ke-25 pada tahun 2018. Untuk penyelenggaraan workshop, ATL bekerjasama dengan Universita Degli Studi di Napoli  L’Orientale, Napoli Italia dengan tajuk “Living Tradition of Indonesia: Latest Research” pada 25-26 Juni 2018 di L’Oriantale Napoli. Tukar-tukar budaya ini diharapkan bisa meningkatkan antuasime para mahasiswa untuk melakukan penelitian mengenai tradisi lisan di Indonesia, dan sebaliknya.

Pemakalah dari Indonesia dalam acara workshop merupakan warga akademik dari Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, STKIP PGRI Sumatera Barat, Universitas Negeri Sebelas Maret Solo, Universitas Jember, Universitas Udayana, Universitas Negeri Manado, Universitas Sam Ratulangi Manado, IKIP PGRI Bali, dan LPPM Sekolah Tinggi Theologi IKAT jakarta.  Pemakalah asing selain dari Italia berasal dari Belanda, Jerman, dan Portugal. Semua pemakalah mempresentasikan penelitian mengenai tradisi lisan yang ada atau pernah ada di Indonesia dengan beragam konsep untuk membedahnya.

Topik tradisi yang dipresentasikan meliputi batik pesisiran Cirebon—Pekalongan--Lasem, manuskrip Batak, pembuatan kapal di Bira dan Tanah Beru Sulawesi Selatan, ritual di Toba—Batak prakolonial, ritual bertani tembakau di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah, tradisi Gembyung di Sumedang, Samrah di Betawi, dan Topeng Betawi. Topik lain tentang ritual-riual di Bali, Topeng Bali, “ritual” karnaval di Banyuwangi, tradisi Arat Sabulungan di Mentawai Sumatera Barat, Ma’sembong dan Maengket Makamberu di Minahasa Sulawesi Utara, serta tradisi lisan versus tulisan di Timor Leste.

Universitas L’Orientale di Napoli dipilih karena beberapa alasan. Kerjasama antara ATL dengan L’Orientale sudah terjalin sangat lama sejak banyaknya mahasiswa L’Orientale yang meneliti tradisi lisan di Indonesia dan belajar bahasa Indonesia. Profesor Antonia Soriente adalah professor linguistik di L’Orientale yang  pernah tinggal cukup lama di Indonesia serta meneliti bahasa suku Punan Tuvu di Kalimantan Utara. Antonia Soriente juga memfasilitasi penyeleggaraan workshop. (Susi Ivvaty, wartawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com