SEBUAH acara tahunan yang dihelat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kesenian Republik Indonesia tahun 2019 ini, dipusatkan kegiatannya di Kalimantan.
Samarinda menjadi pilihan kota tempat penyelenggaraan di provinsi Kalimantan Timur, dalam acara Pameran Besar Seni Rupa 2019 dengan tajuk utama “Kayuh Baimbai”.
Sesuai dengan tim kurator, tema utama terinspirasi dari pidato Ir Sukarno pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI yang merupakan intisari ideologi negara, yakni Pancasila dan Gotong-Royong.
Konsep ini sejalan dengan kosa kata lokal masyarakat Banjar di Kalimantan, Kayuh Baimbai, yang bermakna bekerja bersama-sama.
Kehidupan sungai, bagi masyarakat Banjar, adalah entitas materiil sekaligus spiritual, dengan pengertian denotatif Kayuh Baimbai yang artinya mendayung bersama di dalam sampan. Kontekstualnya, sealur dengan makna konotatif-nya yang memberi pengertian sama dengan Gotong Royong.
Festival merupakan selebrasi atau perayaan seni multi-disiplin yang mengundang seniman/perupa, desainer pun arsitek terbaik, yang lahir dan bertumbuh matang dari Kalimantan serta tersebar keseluruh Indonesia.
Seleksi partisipan melewati rekrutmen terbuka (Open Call) yang akan dikategorisasi dengan dua hal: seniman/perupa individual dan kolektif.
Seniman Individual adalah perupa yang merupakan perwakilan cara memproduksi artistik-nya sesuai ekspresi seni modern. Yakni, karakternya sealur dengan konsep individualisme, yakni sebuah artikulasi bahasa artistik yang sangat personal; dengan metoda berkarya melalui pola-pola dengan tata cara sangat eksklusif dan otonom.
Sementara, perupa Kolektif, adalah seniman yang dipengaruhi sifat dan karakter ekspresi seni kontemporer yang telah terbuka, mencair (tidak ekslusif dan meredusir sifat sangat personal) pun merespon kultur lokal yang mengglobal.
Paradigma seni kontemporer memberi peluang pada kemungkinan pemahaman yang berbeda sama sekali dengan seni tradisi atau masa kini (karakter pada seni modern).
Namun juga memberi penekanan pada yang dianggap hibriditas seni-seni tradisi dengan sentuhan-sentuhan terkini, yang tetap mempertahankan ciri kolektivitasnya (produksi artistiknya diproduksi secara bersama-sama).
Seniman-seniman kolektif, baik sebagian medianya yang dikenal tak hanya melukis dan mematung, tapi kumpulan seniman atau desainer berkarya dengan menggunakan bentuk-bentuk ekspresi kolektif.
Mediumnya melalui jenis street art, grafitti, stensil, atau yang lain; berupa seni publik seperti instalasi (sites specific art), dokumentasi dengan presentasi proyek-proyek berbasis penelitian di area urban atau yang dianggap aktivisme, dokumentasi-dokumentasi konservasi yang khusus serta esai-esai visual fotografis tentang sebuah teritori tua di Kalimantan, dll.
Tiga Zonasi di Kalimantan
Zona pertama, Kosmopolitanisme, yang ditafsirkan tentang keyakinan bahwa pembentuk sebuah masyarakat yang inklusif dan daerah yang maju, baik pada peradaban masa lalu dan kini adalah Kosmopolitanisme.
Sebuah konsep sosiologis, tentang kepercayaan dan kesepakatan antar anggota masyarakat yang membagi nilai-nilai bersama dalam segugus abstraki ingatan dan tempat yang dihuni oleh kemajemukan.
Orang-orang kosmopolit akan menerima keberbedaan nilai-nilai yang beragam dan membangunnya dalam visi cita-cita bersama demi kemajuan.
Dengan demikian, seniman-seniman dan pekerja kreatif ditantang menampilkan karya-karya terbaiknya yang sejalan dengan masyarakat maju yang menjunjung nilai-nilai kosmopolit.
Zona kedua, adalah Ekspresi Seni Islam. Keyakinan dan budaya tentang Islam telah ratusan tahun mendarang-daging di masyarakat Kalimantan. Konsep tentang gotong-royong atau Kayuh Baimbai yang terintegrasi dalam budaya Islam adalah keniscayaan.
Budaya-budaya yang terpuncak dalam seni Islam telah memberi hibriditas corak seni Islam di Kalimantan.
Jika menimbang Kesultanan Kutai Taruma Negara di Kalimantan Timur (Sultan Muhammad Sulaiman pada abad ke-19) telah terkoneksi erat dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Malaka (Malaysia).
Puncak-puncak seni Islam ini, memberi jejak pada ekspresi seniman-seniman se-Kalimantan hari ini, yang memberi penanda terpisah dari masyarakat Dayak pedalaman dengan keyakinan Animisme-Dinamisme-nya.
Ekspresi seni Islam dalam zaman kontemporer layak dihadirkan kembali, sebagai penyeimbang selain populasi masyarakat Muslim terbanyak (etnis Banjar, Bugis dan Melayu di Kalimantan) juga sebuah bukti empiris, corak budaya Islam yang sangat berbeda dengan teritori lain.
Seni Islam di Kalimantan sangat terpengaruh budaya-budaya lokal ratusan tahun yang saling berkelindan dan majemuk.
Festival akan mengundang perupa-perupa perupa-perupa termutakhir dari negara-negara Brunei dan Malaysia yang berelasi dalam sejarah masa lalu Kalimantan dan nilai-nilai Kosmopolitanisme Islam.
Teritori-teritori tiga wilayah tersebut, memberi pengayaan paras Islam hari ini di pentas Nasional dan Regional sebagai sebuah kekuatan tak hanya dimensi teologis namun potensi ekspresi dan progresifitas jejak-jejak kultural seni Islam kontemporer.
Zona ketiga, adalah Peradaban Tua Kalimantan. Tema Kayuh Baimbai mengingatkan, bahwa istilah gotong royong telah dikenal bahkan hampir lebih dari seribu tahun, yang bisa dilihat pada kerajaan besar peradaban kuno masyarakat di Kalimantan dengan Kerajaan Kutai Martadipura berlokasi di Muara Anam, hulu Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang telah eksis sekitar abad ke-4.
Kutai Kuno bercorak keyakinan Hindu ini, sampai abad ke-20 para pewarisnya dengan kerajaan yang telah memeluk Islam mengalami akulturasi setahap demi setahap.
Jejak-jejaknya dapat ditemukan pada ekspresi-ekspresi seni di Kutai Kertanegara, Tenggarong dan artefak-artefak di Museum Mulawarman.
Selain itu, keyakinan-keyakinan lokal lainnya, semacam ekspresi–ekspresi animisme dan dinamisme layak ditampilkan yang kemudian direspons para perupa dan pekerja kreatif dengan menimbang masyarakat Kalimantan beserta jumlah populasi lebih minoritas (ekspresi budaya dengan keyakinan etnik Dayak Kaharingan, Meratus, Iban dll).
Festival seni rupa ini tentunya menghargai warisan para nenek-moyang berbagai etnik di Kalimantan.
Hal ini menjadi cermin bersama kita bahwa ke-indonesiaan secara kecil dapat ditemui di pulau ke-3 terbesar di dunia ini. Kebinekaan masih tersisa dan akan dipertahankan sampai kapan pun.
Lokasi Festival direncanakan di Big Mall di Kota Samarinda. Pada September 2019 nanti, festival akan diselenggarakan di pusat perbelanjaan atau sebuah mal.
Mal memberi pengertian bahwa perspektif lokasi menjadi penting dengan memahami terjadinya pertukaran nilai-nilai dalam sebuah peradaban di kota dengan eksisnya budaya konsumsi, yang memanggungkan kesetaraan dan perayaan kesejahteraan bersama.
Sebuah mal memberi paras kosmopolitanisme termutakhir dengan memperlihatkan persilangan-persilangan budaya dan manifestasi kekayaan atas realitas seni dalam perjumpaanya dengan budaya Islam selain peradaban-peradaban tua se-Kalimantan yang disentuh ulang menjadi yang dianggap modern.
Tempat bertemunya gaya hidup modern dalam apresiasi, kepentingan transaksional, kemandirian, pertemuan-pertemuan fisik serta hiburan dari seluruh lapisan masyarakat memberi penanda bahwa sebuah mal adalah keniscayaan “monumen peradaban dunia modern”.
Mal menjadi “locus” objek-objek seni rupa dengan karakter lokalnya yang telah menerobos batas-batas tentang “yang daerah dan yang pusat”.
Seniman-seniman akan memberi penanda zaman, pada masa lalu, kini dan mungkin kelak, tentang seluruh ekspresi seni yang dimiliki potensi-potensi terbaik para pekerja kreatif se-Kalimantan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.