Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Film Bumi Manusia, 20 Tahun Lalu Pramoedya Ananta Toer Tolak Hanung Bramantyo

Kompas.com - 14/08/2019, 06:00 WIB
Nibras Nada Nailufar,
Heru Margianto

Tim Redaksi

Di suatu hari antara 1996 atau 1997, Hanung Bramantyo muda mengendarai motornya ke rumah Pramoedya Ananta Toer di Bojong Gede dari Jakarta.

Kala itu, Hanung tengah menjalani ujian tengah semester di semester III Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia berniat untuk memfilmkan Nyai Ontosoroh, tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Hanung terpikat dengan sosok Ontosoroh, seorang "simpanan" orang Belanda dan pengajar yang cerdas dan tegar.

Sesampainya di rumah Pram, Hanung disambut ramah.

Ia berpindah dari kursi di hadapan Pram ke sebelahnya. Pram beralasan pendengarannya rusak karena dihajar tentara.

Di samping telinga Pram, Hanung mengutarakan keinginannya memfilmkan sosok Nyai Ontosoroh untuk ujiannya.

Sayangnya, permintaan Hanung langsung ditolak. Pram berujar, "Film ini ditawar Oliver Stone 60 ribu dollar saya tidak kasih."

Hanung seperti diminta membeli hak untuk adaptasi sosok Nyai Ontosoroh.

"Sorry banget ya Bung, bukannya saya materialistis, tapi saya hidup dari novel. Cuma ini yang saya jadikan pegangan hidup saya untuk keluarga dan saya sendiri," kata Hanung menirukan omongan Pram saat itu, kepada Kompas.com.

Dengan hati ciut, Hanung pulang ke Jakarta. Ia sedih, namun juga tak bisa menyalahkan Pram atas alasan yang ada benarnya itu.

Namun siapa sangka, dua dekade kemudian, Hanung menjadi sutradara besar dan mendapat kehormatan mengantarkan Bumi Manusia ke layar lebar.

"Bumi Manusia ini bukan pekerjaan buat saya. Ini ibadah," kata Hanung.

Ia mencurahkan jiwanya untuk Bumi Manusia. Tak peduli jika dianggap merusak novelnya.

"Kalau ada yang bilang Hanung mengkomersialisasikan sastra, ketemu lah saya di Bojong dengan Pak Pram," kata Hanung berkelakar.

Jalan panjang Bumi Manusia

Bumi Manusia adalah novel pertama dari tetralogi karya Pram. Tiga novel berikutnya adalah Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Keinginan untuk memfilmkan Bumi Manusia sudah muncul di awal era reformasi. Bumi Manusia dari tetralogi Buru adalah novel Pram yang terbesar.

Novel itu ditulis dengan penuh perjuangan ketika Pram dipenjara oleh Orde Baru di Pulau Buru sekitar tahun 1969-1979.

Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara

Setelah bebas dan Orde Baru lengser, Pram mendapat berbagai tawaran kontrak atas hak memfilmkan Bumi Manusia, termasuk dari Oliver Stone.

Konon, Stone batal membuat film itu lantaran gagal menemukan pemain, terutama untuk tokoh Annelies.

Pilihan Pram pun akhirnya jatuh pada Hatoek Soebroto, pemilik rumah produksi Elang Perkasa Film.

Dua tahun sebelum meninggal di 2006, Pram menandatangani kontrak dengan Hatoek.

Hatoek kemudian mengajak Leo Sutanto, pemilik Sinemart untuk menggarap film yang diperkirakan bakal memakan biaya besar ini.

Awalnya, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Jujur Prananto yang ditunjuk untuk menggarap produksi film Bumi Manusia.

Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Namun entah bagaimana, nasib film Bumi Manusia dari Elang Perkasa-Sinemart hilang begitu saja.

Hingga akhirnya pada 2007 muncul kabar film Bumi Manusia akan difilmkan oleh Garin Nugroho dengan penulis skenario Armantono.

Sayangnya, ketika proses persiapan sudah mencapai 80 persen, Garin mundur lantaran Bumi Manusia tak bisa difilmkan sesuai visinya.

Sekitar 2008, Hanung yang kala itu tengah mendulang sukses dari Ayat-ayat Cinta sempat ditawari menyutradarai Bumi Manusia oleh Hatoek dengan Deddy Mizwar sebagai produser.

Hanung saat itu langsung menerima tawaran, bahkan rela tak dibayar.

Sayangnya, keberuntungan belum berpihak pada Hanung. Film Bumi Manusia kembali diambil alih oleh Mira Lesmana.

Sejak 2010 hingga 2012, Mira menyiapkan produksi film. Mulai dari mencari pemain, lokasi, riset, hingga pendanaan.

Usaha Mira tak berhasil. Ia kekurangan dana dan tak kunjung mendapatkan investor.

Hingga akhirnya pada 2014, rumah produksi Falcon Pictures membeli hak adaptasi Bumi Manusia dan karya Pram lainnya, yakni Perburuan.

Produser Falcon, HB Naveen, menunjuk Anggy Umbara untuk menyutradari Bumi Manusia.

"Officially saya pegang (film) Gundala, tiba-tiba di perjalanan kontrak dengan Falcon membuat Jomblo, Benyamin, dan lainnya, lalu Pak Naveen tanya mau enggak garap (adaptasi) Harimau Harimau karyanya Mochtar Lubis, saya bilang mau. Waktu itu bercandanya saya sutradarai novelnya rivalnya Pak Pram (Lekra) yaitu Manikebu (Mochtar Lubis)," ujar Hanung.

Entah karena keberuntungan atau memang sudah takdirnya, Hanung sekali lagi ditawari menjadi sutradara Bumi Manusia. Ia langsung mengiyakan tawaran itu tanpa berpikir dua kali.

Tak peduli kritik

Hanung mengaku tak ada kesulitan sama sekali dalam mengadaptasi novel Bumi Manusia menjadi adegan film.

Perjalanan Minke dalam permerintahan kolonial Belanda digambarkan dengan apik oleh Pram.

"Pak Pram itu saya enggak tahu belajar dari mana jadi penulis, saya baca Bumi Manusia ternyata Pak Pram menggunakan struktur tiga babak, yang digunakan seluruh dunia," kata Hanung.

Hanung tak perlu merombak struktur cerita maupun alurnya. Pram, kata dia, seolah-olah sudah merancang Bumi Manusia untuk diadaptasi ke bentuk lainnya.

Kata Hanung, inilah kehebatan Pram yang membuat novel-novelnya menjadi mahakarya klasik.

"Itu memudahkan kami untuk mengupas, beda dengan novelis sekarang, mereka itu curhat, udah curhat yang baca banyak. Itu yang membuat ketika diadaptasi ke film kita kesulitan," kata Hanung.

Begitu pula dengan pemilihan pemain. Sekitar 60 persen pemain di Bumi Manusia adalah keturunan Belanda.

Yang mengejutkan, mereka sudah membaca Bumi Manusia di sekolah.

Kesulitannya, kata Hanung, justru ada di pemeran lokal.

Hanung Bramantyo sutradara film Bumi Manusia saat promo film di Kantor Redaksi Kompas.com, Menara Kompas, Jakarta, Selasa (23/7/2019). Film Bumi Manusia yang diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer akan mulai diputar di bioskop 15 Agustus mendatang.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Hanung Bramantyo sutradara film Bumi Manusia saat promo film di Kantor Redaksi Kompas.com, Menara Kompas, Jakarta, Selasa (23/7/2019). Film Bumi Manusia yang diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer akan mulai diputar di bioskop 15 Agustus mendatang.

 

Bumi Manusia yang berlatar kehidupan di tahun 1898 hingga 1918 ini diperankan oleh mereka yang saat ini terbilang masih remaja.

"Karena mereka ini hidup di era milenial yang serba enak. Sekarang mereka harus memainkan drama di mana dia harus jadi tamu di negerinya sendiri," ujar Hanung.

Soal pemilihan aktor, Falcon Pictures termasuk Hanung sempat ditentang habis-habisan karena memilih Iqbaal Ramadhan. Hanung mengaku, pada awalnya ia sendiri meragukan sosok Iqbaal.

"Saya sama lah kayak kalian semua. Oh come on, Dilan main jadi Minke? Come on," kata Hanung.

Namun ketika menonton Dilan, Hanung cukup terkesan dengan Iqbaal. Pasalnya, Iqbaal mampu mengucapkan rayuan gombal tanpa terkesan picisan.

Keterpukauannya makin bertambah ketika ia tahu Iqbaal pernah meresensi novel Bumi Manusia saat bersekolah di Kanada. Ia pun langsung sepakat Minke diperankan Dilan.

"Setelah dari Dilan dia ada peningkatan di sini. Bagus atau tidak itu relatif. Saya memberikan ruang anak itu untuk tumbuh," ujar Hanung.

Hanung tak peduli jika filmnya dianggap tak sesuai dengan buku maupun latar waktu dan tempat. Yang terpenting, kata Hanung, membuat anak-anak sekarang menikmati karya Pram.

"Ketika saya buat Bumi Manusia, yang membuat rileks adalah saya tidak akan mengejar pujian sesuai pembaca novelnya. Sorry banget, saya enggak mau jadi itu. Itu bikin saya stres," kata dia.

"Yang saya kejar adalah saya harus melihat bahwa karya Pak Pram yang saya baca sembunyi-sembunyi saat itu harus dibaca dengan perasaan gembira oleh anak-anak ini. That's it. Sisanya itu urusan Tuhan," lanjut dia.

Di zaman Orde Baru, karya-karya Pram dilarang beredar. Mereka yang ingin menikmati buku-buku Pram harus melakukannya sembunyi-sembunyi.

Saat peluncuran poster Bumi Manusia di Jakarta pada 19 Juni 2019 lalu, Hanung sampai menangis sesenggukan melihat para remaja bersorak gembira.

Kepada mereka, Hanung bercerita ketika SMA, ia membaca Bumi Manusia sembunyi-sembunyi takut ditangkap polisi.

Ia bersyukur betapa hari ini karya Pram masih bisa hidup, bahkan dirayakan oleh generasi muda.

"Kalau Pak Pram di sini, nangis dia. Dia kan menulis dari bungkus rokok di penjara dan diselundupkan naskah itu. Makanya kalau sekarang dirayakan mungkin memang jalannya Tuhan seperti itu," tutup Hanung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau