ENTAH mengapa, saya tiba-tiba mengingat Ebiet G. Ade, penyanyi legendaris milik Indonesia, pemilik nama asli Abid Ghoffar Aboe Dja'far itu, padahal dia bukan siapa-siapa saya.
Bertemu langsung pun belum pernah. Dan sudah sangat pasti dia tidak mengenal saya.
Namun setelah merenung sejenak, saya menduga, ingatan itu bertemali dengan rasa terima kasih yang terpendam dalam batin kepada Ebiet atas kerelaannya menemani masa remaja saya.
Kok, bisa?
Kala itu di kota kecil Waingapu, Sumba Timur, NTT, di rumah kakak saya yang seorang guru, nyaris tidak ada kaset lain selain album-album Ebiet. Boleh dikatakan nyaris lengkap, walau kemudian hilang satu demi satu.
Saban hari, hanya lagu-lagu Ebiet dengan suaranya yang sangat khas yang kami dengarkan.
Anehnya, kami, khususnya saya tidak bosan-bosan.
Kok, bisa?
Jawabannya saya temukan kemudian, yakni Ebiet melalui lagu-lagunya “berbicara” sangat konkret dan akrab tentang hidup dan pengalaman harian saya sebagai remaja bersama alam dan atmosfer di sekitar.
Masa remaja saya adalah pergaulan dengan alam yang kerontang, namun tidak membuat penghuninya menyerah.
Ketika kota yang curah hujannya sangat kecil itu ditikam tanpa basa-basi oleh sinar terik matahari sepanjang musim kemarau panjang, dan para petani dilanda pilu karena ladang mereka mengering terpanggang mentari, lagu Doa Sepasang Petani Muda milik Ebiet rasanya meniupkan kesegaran dan harapan.
Betapa tidak? Kami sering berdoa bagi datangnya hujan.
Ketika malam tiba, di bawah temaram cahaya bintang dari langit yang selalu cerah, saya acap berdoa agar Tuhan mengirimkan hujanNya untuk para petani dan peternak yang nyaris kehilangan harapan.
Pada saat semacam ini, lirik lagu tersebut menyuntikkan energi baru untuk tetap berharap bahwa Tuhan pasti mengirimkan hujan.
Dalam lagu tersebut, pada bait pertanya dengan tegas Ebiet langsung mengajak untuk tidak beranjak dan tetap menunggu datangnya hujan:
Mari kita tunggu datangnya hujan
Duduk bersanding di pelataran
sambil menjaga mendung di langit
agar tak ingkar, agar tak pergi lagi
Kasih, kemarilah duduk merapat
sama-sama tengadahkan wajah
agar lebih tegar kita memohon
turunnya hujan basahi bumi ini….
Ia mengajak dengan simpatik untuk terus berharap pada kerelaan Tuhan menurunkan hujanNya, untuk tetap bersila, memohon dengan penuh keyakinan sambil menyadari kelemahan insaniah agar hujan:
Basahi ladang kita yang butuh minum
basahi sawah kita yang kekeringan
basahi jiwa kita yang putus asa
………
Mendengar lagu tersebut di bawah paparan sinar matahari, seperti terasa terpaan udara sejuk yang merayap pada kulit dan menembus ke sumsum.
Terasa juga mengalir sikap optimistis bahwa hujan akan segera datang. Keluhan yang sebelumnya membuncah-buncah, secara perlahan bersalin rupa menjadi pengharapan.
Pada ketika yang lain, oleh karena kemarau yang panjang itu, para petani tak berdaya karena tanaman mereka mengering, dan ternak mati.
Di saat ini rasa putus asa menghampiri penduduk, Ebiet muncul dengan lagu Nasihat Pengemis untuk Istri dan Doa untuk Hari Esok Mereka.
Pada bait pertama terdengar lirik yang kuat. Seorang pengemis mengajak istrinya untuk tidur walau lapar menyiksa:
Istriku, marilah kita tidur
Hari telah larut malam
Lagi sehari kita lewati
Meskipun nasib semakin tak pasti
Lihat anak kita tertidur menahankan lapar
Erat memeluk bantal dingin pinggiran jalan
Wajahnya kurus pucat, matanya dalam
Istriku, marilah kita berdoa
Sementara biarkan lapar terlupa
Seperti yang pernah ibu ajarkan
Tuhan bagi siapa saja….
Ketika saya sudah dewasa dan mengalami kehidupan yang penuh perjuangan ini, lagu-lagu Ebiet tetap setia menemani.
Sayangnya, belakangan sang maestro jarang mengeluarkan album karena dunia rekaman sudah berubah sedemikian rupa.
Baru-baru ini, ketika saya sedang membaca buku Romo Mudji Sutrisno berjudul Tu(l)ah Kata, saya menyetel kaset Ebiet.
Seketika lagu Nyanyian Suara Hati menyita pikiran dan perasaan saya.
Mendengarkan lagu tersebut dalam konteks Indonesia hari ini di saat banyak sekali orang yang tampak kaya raya, suci muci, berpendidikan tinggi, namun kehilangan moral dan etika, bait pertama langsung terasa menikam jantung teramat tajam dan dalam.
Bait pembuka itu mengentak kesadaran bahwa kita sering kali “menghakimi” orang lain yang dalam kondisi miskin.
Menurut Ebiet, mereka yang “dihakimi” sebagai orang miskin, sesungguhnya justru lebih kaya dibanding mereka yang bergelimang harta yang berasal dari tindakan merampok, korupsi dan lain-lain. Simak sejenak:
Seringkali aku merasa jengah dan sungkan
bicara tentang saudara kita
yang terimpit derita kemiskinan
Sebab sesungguhnya mereka mungkin
lebih terhormat di mata alam
Sebab sesungguhnya mereka mungkin
lebih berharga di mata Tuhan
Lantas, di mana letak lebih berharga dan terhormatnya mereka? Persis pada martabat sebagai manusia, ciptaan Tuhan yang mereka tetap rawat dan pertahankan.
Mereka memang terimpit oleh derita kemiskinan, namun mereka tidak sudi keluar dari impitan itu dengan mengorbankan martabat dan nurani mereka.
Tertangkapnya para penyuap dan koruptor yang tak ada matinye menambah daftar orang tak yang tidak berhikmat dan tidak bermartabat, yang ingin berkibar-kibar dengan kerja-kerja curang, sambil mengorbankan orang lain.
Mereka menutup rapat-rapat telinga fisik dan telinga nurani mereka atas bisikan yang meski lembut, namun tegas menyampaikan pesan bahwa aksi yang tercela itu telah menelan banyak korban dalam aneka rupa.
Camkan! Membuang sisa makanan saja, oleh Paus Fransiskus sudah dikategorikan sebagai tindakan merampas hak orang miskin.
Ketika berjalan menyusuri kampung-kampung kumuh, rel kereta, atau melongok pinggiran kali, terserak di sana gambaran amat jelas tentang kemiskinan.
Hidup mereka memang susah, namun masih bisa kita temui prinsip hidup yang teguh nan bermartabat.
Di sinilah Ebiet mengaku merasa cemburu, dan mestinya kita semua cemburu olehnya.
Memang, lapar anak mereka tidak pernah tuntas karena makanan yang selalu kurang, atau bahkan tidak ada makanan.
Namun keadaan ini tidak menjadi alasan bagi mereka menghancurkan martabat dan harga diri mereka.
Padahal, kalau dilihat dari keterdesakan, alasan ekonomi, mereka bisa saja melakukan aksi-aksi kejahatan—meski ada juga yang terjerembab melakukan aksi-aksi itu.
Dalam obrolan ringan dengan seorang tukang ojek sepeda di pinggir jalan di Tanjung Priok, terdengar pengakuan bahwa dia tidak pernah cemburu dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih indah, nyaman, serba enak, dan sebagainya.
Dia juga tidak mau ambil pusing walau menyaksikan di layar TV para koruptor mencuri uang rakyat dengan memanfaatkan kepandaian dan peluang untuk bersiasat.
“Yang pasti, saya hanya mau makan dan minum dari keringat karena mengayuh sepeda ini. Rasanya mantap makan dari kerja berkeringat ini. Gak usah nuntut berlebihan. Bersyukur saja,” ujarnya sambil mengelap keringatnya dengan handuk putih yang sudah berubah warna menjadi nyaris hitam.
Inilah orang yang lebih kaya daripada mereka yang tampak berada karena bermobil mewah, menyembulkan aroma wangi bersumber dari parfum mahal, berpendidikan tinggi, pandai bicara, tampak sopan, namun berkelakuan maling.
Simak lagi:
Maka sesungguhnya mereka lebih kaya
meskipun tanpa harta
Maka sesungguhnya mereka lebih bahagia
Dapat mensyukuri yang dimiliki