Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lestari Nurhajati
Dosen dan Anggota KNRP

Dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR | Anggota Koalisi Nasional Refrormasi Penyiaran/KNRP.

Media, Budaya, dan Pemujaan Selebritas

Kompas.com - 20/03/2021, 17:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Lestari Nurhajati*

PENDEKATAN ilmu komunikasi, khususnya kajian media sudah banyak yang membahas bagaimana hubungan antara media, budaya dan perubahan perilaku masyarakat.

Pada tahun 2010 melalui bukunya Media, Culture and Society, Paul Hodkinson telah berhasil mengumpulkan banyak sekali perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisis secara kritis budaya media dan masyarakat media saat ini.

Media sesungguhnya sangat kuat memengaruhi budaya dan pada akhirnya budaya juga akan memengaruhi perilaku masyarakatnya, sungguh sangat erat berkelidan.

Pemberitaan tentang KNRP Tolak Penayangan Lamaran dan Nikah Artis di TV, Termasuk Acara Atta dan Aurel (Kompas.com, 13/3/2021) pun dalam kenyataannya menunjukan betapa kaitan antara media, budaya dan perubahan perilaku masyarakat, khususnya kedahsyatan pemujaan selebritas sedang terjadi di Indonesia.

Baca juga: KNRP Tolak Penayangan Lamaran dan Nikah Artis di TV, Termasuk Acara Atta dan Aurel

Ketika surat pernyataan Koalisi Nasional Refrormasi Penyiaran (KNRP) tersebut dirilis di berbagai media, dengan pokok mengkritisi kinerja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang membiarkan pelanggaran penggunaan frekuensi publik, maka yang terjadi tidak cuma KPI yang gerah. Netizen penggemar Atta dan Aurel pun heboh, mereka menyerbu akun Instagram KNRP.

Dalam beberapa jam, ribuan komentar yang isinya cibiran, sindiran, kemarahan, bahkan makian dari penggemar berat kedua selebiritas tersebut. Mereka pun melupakan isi pokok Surat Pernyataan yang dibuat KNRP.

Tak hanya itu, penulis yang kebetulan menjadi narahubung KNRP dalam rilis tersebut kemudian melihat ada indikasi ajakan salah satu akun (sangat besar kemungkinan akun bodong) yang kemudian berusaha menggerakkan para fans untuk menyerbu media sosial penulis.

Ketika kemudian penulis mengamankan semua media sosial yang ada, maka para penggemar itu berusaha merundung media sosial anggota KNRP lainnya yang juga terbuka menampilkan Surat Pernyataan Sikap KNRP tersebut.

Baca juga: Meski Ditegur KPI, Rangkaian Acara Pernikahan Atta dan Aurel Tetap Ditayangkan

Fenomena ini adalah apa yang disebut sebagai fandom dan pemujaan selebritas. Mereka seolah berada dalam situasi yang harus memperjuangkan dan melindungi keberadaan selebritas yang dipujanya dengan berbagai cara dan sangat mati-matian.

McCutcheon dan teman-temannya menuliskan sebuah buku yang berjudul Celebrity Worshippers: Inside the Minds of Stargazers, menggambarkan bahwa para penggemar seringkali menderita "kekeliruan intelektual" (intellectualist fallacy), yang mengutamakan keyakinan personalnya di luar kemampuan kognisinya, dan bahkan cenderung mengalami delusi.

Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Lagi-lagi faktor media membawa peranan yang sangat besar dalam perilaku masyarakatnya.

Media, dalam berbagai paltform (televisi, YouTube, dan lainnya) menawarkan mimpi yang seolah menjadi bagian dari kenyataan itu sendiri.

Demikian para penggemar itu merasa sangat dekat, terlibat dengan apa yang ditontonnya, sehingga seolah lupa ada realita lainnya yang tidak hanya untuk dirinya sendiri. Bahwa apa yang dianggap sebagai haknya, ternyata harus berbatasan dengan hak-hak orang lainnya.

Kemarahan terbesar para penggemar ini tentu saja atas upaya penegakan aturan yang sudah ada di P3 SPS: Pedoman Perilaku Penyiaran Pasal 11, yakni: “Lembaga Penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”.

Selain itu ada juga, Standar Program Siaran Pasal 13 Ayat (2), yang menyatakan: “Program siaran tentang permasalahan kehidupan pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik”.

Baca juga: Buntut Penayangan Acara Lamaran Atta-Aurel, KPI Beri RCTI Peringatan Keras

Hal lain yang menarik kemudian, kemarahan para penggemar ini tentu saja dengan tambahan pernyataan-pernyatan bahwa acara-acara televisi yang berupa sinetron maupun beragam talkshow juga dianggap tidak berfaedah oleh mereka.

Hal ini sangat tampak juga ada kesadaran palsu yang dirasakan oleh penggemar ini, bahwa acara tayangan lamaran maupun pernikahan artis yang akan memakan waktu berjam-jam itu jauh lebih bermanfaat dibandingan tayangan lainnya, yang memang juga sama tidak bermutunya.

Kesadaran palsu (false consciousness) ini terjadi karena demikian lamanya para penonton televisi kita terhegemoni oleh tayangan-tayangan tidak berkualitas di media penyiaran Indonesia.

Kesadaran palsu dan pemujaan selebriti yang berlebihan ini merupakan sesuatu yang harus diperhatikan lebih serius oleh berbagai pihak. Logika dan kecerdasan para penggemar yang demikian membabi buta, seolah mengalami pendangkalan yang luar biasa.

Baca juga: RCTI Sebut Acara Lamaran Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah Sarat Unsur Budaya Indonesia

Media menjadi salah satu faktor terbesar dalam perubahan perilaku masyarakat Indonesia. Pemerintah, kelompok akademisi, dan anggota masyarakat sipil lainnya yang tidak terjebak pada fenomena tayangan tak berkualitas di media, harus terus melakukan upaya secara terus menerus dan berkelanjutan dalam kegiatan literasi media, terutama literasi media digital.

Perbedaan pendapat pun harus dilihat dengan lebih cerdas dan sehat, dengan tidak melakukan perundungan pada orang-orang yang opininya berbeda. Sehingga nantinya netizen Indonesia bisa melepaskan diri dari stigma sebagai netizen yang paling tidak sopan di seluruh Asia Pasifik.

Baca juga: Heboh Warganet Indonesia Disebut Paling Tidak Sopan Se-Asia Tenggara

Sekali lagi ini akan bisa dilakukan apabila berbagai pihak bekerja sama melakukan proses literasi media digital secara berkelanjutan. (*Lestari Nurhajati, Dosen Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR /Anggota Koalisi Nasional Refrormasi Penyiaran/KNRP)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com