Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Sebuah Kitab Kawin bagi Laksmi Pamuntjak

Kompas.com - 12/05/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Pakis haji tak terus-menerus merimbunkan diri; sesekali, anak-anak daunnya yang tersusun berpasangan, betina dan jantan, tubuh sekejap dalam satu malam. Esok paginya, mereka ada, begitu saja, laksana sihir. Orang Buru telah hidup dengan keajaiban ini selama berabad-abad."

(Kisah Mukaburung, dalam "Kitab Kawin", Laksmi Pamuntjak)

INI ADALAH pembukaan cerita pendek "Mukaburung", salah satu cerita dari kumpulan 11 kisah para perempuan di dalam buku karya Laksmi Pamuntjak yang baru beredar beberapa bulan lalu.

Mereka yang pernah membaca novel "Amba" karya Laksmi (Gramedia Pustaka Utama, 2012) pasti mengenal nama ini, meski menurut Laksmi ini adalah cerita yang berbeda, dengan tokoh yang juga berbeda.

"Cerpen 'Kisah Mukaburung' sudah lama selesai, sementara novel 'Amba', meski memang sudah ada tokoh Mukaburung, bentuknya saat itu belum terstruktur," demikian Laksmi dalam acara "In Conversation with Laksmi Pamuntjak" dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode terbaru yang tayang hari ini.

"Kitab Kawin" (GPU, 2021) bercerita tentang 11 perempuan dengan berbagai persoalan, kepedihan, kebahagiaan, kegagalan sekaligus pencapaian mereka.

Setiap kitab atau bab yang diberi judul nama perempuan itu--seperti Rosa, Maya, Sarah, Celine dan Isabel, Noura dan Arini, Lila, Amira, Hesti dan Mukaburung, dan seterusnya--adalah kisah si perupa, si pekerja toserba, si karyawan, instruktur yoga, hingga para ibu paruh baya dan juga gadis-gadis di restoran Korea.

Ada yang diduakan suami; ada yang dieksploitasi; ada pula yang jatuh hati pada istri abangnya sendiri. Ada yang dipaksa menikah pada usia yang sangat dini dan ada perempuan bernama Mukaburung di Pulau Buru yang memiliki masalah sendiri.

Semua kumpulan ceritanya ditulis dengan bahasa yang renyah, sesekali terselip humor meski sesungguhnya kisah-kisah ini mengandung luka besar.

Khususnya tokoh Mukaburung, yang merupakan sebuah tribute untuk Amarzan Loebis (alm), wartawan Tempo dan eks tahanan politik Pulau Buru yang merupakan ensiklopedi banyak kisah tentang pengalamannya selama ditahan di sana.

Mukaburung adalah salah satu perempuan yang sering dikisahkan Amarzan kepada mereka yang selalu ingin tahu pengalaman panjangnya di Pulau Buru.

"Begitu detilnya beliau bercerita tentang Mukaburung, hingga saya merasa sosok ini harus mempunyai ceritanya sendiri dan tak hanya menjadi bagian dari novel saja," demikian Laksmi.

"Di dalam cerpen ini saya sengaja ingin menyelami dunia interior Mukaburung," kata Laksmi mengisahkan proses penciptaan cerpennya--yang menurut saya--paling tragis dan mengharukan, selain "Maya".

Yang menarik dari kumpulan ini, seperti yang dibahas di dalam podcast adalah, bahasa dan ritme dalam cerpen-cerpen ini--kecuali cerpen "Mukaburung" dan "Maya"--sangat berbeda dengan "Amba" maupun novel "Kekasih Musim Gugur" (2020).

Di dalam cerpen-cerpen ini, Laksmi cenderung menggunakan bahasa keseharian Jakarta dengan bahasa yang ringkas, ritme yang lekas dan diksi yang lebih mirip tokoh-tokoh novel sebelumnya "Aruna dan Lidahnya".

Laksmi sendiri dengan penuh kesadaran menggunakan ekspresi seperti ini karena dia menyesuaikan dengan tokoh-tokohnya: ada ibu sosialita, perupa muda, atau pekerja di restoran Korea.

"Saya juga ingin mempunyai tempo yang lebih cepat di dalam cerpen-cerpen ini," katanya.

Meski demikian, mereka yang biasa membaca karya Laksmi akan menemukan "diri Laksmi" dalam setiap cerpennya, apakah itu cara para tokohnya mengekspresikan cinta, atau bagaimana tokohnya menghadapi derita (cerpen "Maya") yang penuh luka.

Bagaimana Laksmi menggugat pernikahan di bawah usia, atau bagaimana dia menceritakan bagaimana seorang anak perempuan justru tak aman hidup di antara keluarganya sendiri.

Di antara sebagian besar kisah yang tragis , tentu saja Laksmi menyajikan humor dalam cerpen "Noura dan Arini, Tidur dengan Seniman Besar".

Dua perupa muda, perempuan bertemu di pemakaman seorang seniman senior. Keduanya adalah bekas pacar si seniman besar, lalu apa yang terjadi?

Ini bukan saja cerpen yang penuh humor, tetapi juga, menurut pengakuan Laksmi, "Cerpen yang paling saya nikmati penulisannya." Ia berkata sambil tertawa.

Program podcast ini bisa Anda temui di Spotify atau platform lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com