Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Ketika Para Saksi Menulis pada Tahun Kelam

Kompas.com - 01/09/2021, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Bayangan ketakutan menyergap aku di perjalanan. Bayangan cerita-cerita yang kudengar, bahwa tak seorang pun mau mengurusi jenazah-jenazah kami, orang-orang yang diasingkan ini. Bahkan tanah kuburpun haram kami tempati. Lalu apakah yang harus kubuat? Mengubur mayit ibu di halaman rumah sendiri?"

("Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi" -- Zulidahlan)

CERITA pendek karya Zulidahlan ini adalah satu dari 12 cerpen yang dikurasi dan disunting oleh Yoseph Yapi Taum dan Antonius Sumarwan, SJ.

Karya Zulidahlan tadi adalah satu cerpen yang sedikit memberikan sinar kemanusiaan dan "harapan" bahwa masyarakat Indonesia –di antara kisah brutal dan buas tragedi 1965—juga masih ada yang beradab.

Dua belas cerpen ini adalah antologi cerita yang pernah pernah terbit di majalah Horison dan Sastra pada tahun 1966-1970 dan dibukukan dengan judul "Perempuan dan Anak-anaknya" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021).

Selain cerpen Zulidahlan, karya yang dimasukkan ke dalam antologi ini antara lain karya Gerson Pork, Satyagraha Hoerip, Umar Kayam, Martin Aleida, dan Ki Panji Kusmin.

Karya mereka sengaja dikumpulkan karena menurut kurator dan editornya di dalam kata pengantar "Cerpen-cerpen ini ditulis oleh para sastrawan yang menjadi saksi mata sebuah peristiwa besar yang menjadi titik balik dan mengubah sejarah bangsa Indonesia."

Antologi ini menjadi pilihan untuk membuka program podcast "Coming Home with Leila Chudori" musim tayang ke-7.

Maka dengan sendirinya 12 cerpen yang ditulis oleh para sastrawan di masa berdarah masih berlangsung , yakni di tahun 1966 hingga 1970 itu tentu saja memiliki napas yang sangat berbeda dengan, katakanlah, mereka yang menulis fiksi dengan tema sama di tahun 1990-an hingga masa kini.

Menurut Robertus Robet, dosen Universitas Negeri Jakarta, yang menjadi narasumber podcast kali ini, ada persamaan cara berpikir para penulis di dalam cerpen-cerpen ini, misalnya rasa bersalah karena ikut menyiksa korban; atau ada kebimbangan seorang tokoh karena harus menyerahkan ipar pada para pembantai.

Hampir semua cerita pendek ini diakhiri dengan kekelaman: mereka dibunuh, hilang tak ketahuan rimbanya atau digiring ke arena pembantaian.

Mungkin hanya cerita karya Zulidahlan yang, menurut Robertus Robet, bernada lebih hangat karena terasa mengangankan betapa masyarakat Indonesia di masa itu masih ada yang berbudi.

Robertus juga menekankan bahwa di masa itu terjadi apa yang disebut-–meminjam istilah psikoanalisa Jacques Lacan--"histeria kekerasan", sehingga para penulis yang menulis tragedi 1965 di masa itu terlihat di dalam dilema persoalan kemanusiaan, perbenturan ideologi dan juga menggali-gali justifikasi dari seluruh peristiwa berdarah ini (yang sudah pasti tak kunjung ditemukan).

Seperti juga komentar Keith Foulcher, peneliti dari Universiy of Sydney, buku ini memperlihatkan "masih kuatnya hegemoni Orde Baru dalam memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat Indonesia, khususnya terkait dengan peristiwa 1965".

Maka, cerpen-cerpen ini tak hanya memancarkan kegamangan para penulisnya, tetapi menunjukkan betapa bahasa propaganda di masa itu sangat kuat.

Itu pula bahasa dan diksi yang digunakan oleh para tokoh dalam rangka "memanipulasi" tokoh utama agar mereka bisa menerima pembantaian yang dialami saudara atau kawan sendiri.

Misalnya, cerpen "Pada Titik Kulminasi" karya Satyagraha Hoerip yang bercerita seorang lelaki yang bertugas "menyerahkan" iparnya untuk dibantai karena "berada di pihak musuh".

Dalam cerita itu, setelah didesak kawannya, tokoh "Aku" mencoba membuat justifikasi dengan analogi Arjuna yang gundah menjelang perang Bharatayudha karena harus melawan sepupu, para tetua Hastina dan gurunya sendiri.

Logika menghadapi kegalauan "intelektual" itu pada akhirnya sama seperti logika diksi yang digunakan di masa itu, di mana "lawan" mereka adalah "kambing binal yang perlu disembelih", atau "gorok, cincang, bakar".

Menurut Robertus Robet, teknik "menghapus nama dan menghilangkan individualitas" itu adalah cara efektif Orde Baru untuk memburu siapa saja yang dianggap musuh.

Karena itu, histeria kekerasan yang kemudian menggunakan istilah sembelih, gorok,cincang atau bakar itu menjadi kosakata yang populer dalam keseharian tahun 1966, dan menjadi bagian dari diksi para penulis di masa itu.

Diskusi yang sekaligus membuka bulan September ini Anda bisa dengarkan di Spotify Leila S Chudori di sini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com