JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu kesenian dari Jawa Barat yang perlu diketahui keberadaannya adalah kawih.
Kawih merupakan karawitan sekar yang dalam bentuk penyajiannya termasuk pada sekar yang sebagian besar karyanya terikat oleh tempo dalam wiletan tertentu atau biasa disebut sekar tandak.
Kawih biasa disajikan secara anggana sekar (solo), tapi tak jarang ditampilkan dalam bentuk layeutan (paduan suara).
Pola ornamentasi pada kawih biasanya lebih terkiat pada notasi yang sudah ada.
Kawih juga dikenal sebagai lagu Sunda bebas di mana di dalamnya bisa terdapat puisi atau sajak bebas.
Meski bebas dan dikenal tak memiliki aturan, kawih tetap harus memiliki empat unsur di dalamnya yaitu tema atau judul kawih, unsur rasa yang ingin digambarkan, unsur nada untuk mengekspresikan, dan unsur amanat yang ingin disampaikan.
Seiring perkembangan zaman, kawih pun berkembang menjadi beberapa jenis seperti kawih sisindiran, kawih pantun, kawih beluk, kawih kaulinan, kawih pupjian, serta kawih tembang.
Apa yang menjadi pembeda di antara jenis-jenis kawih tersebut adalah alat musik yang mengiringinya.
Jenis-jenis kawih yang telah bercampur dengan alat musik tertentu berkembang lagi menjadi kawih degung, kawih celempungan, kawih kacapian, kawih calung, kawih reog, kawih jaipongan, hingga kawih pop Sunda.
Dalam perkembangannya, ada beberapa kawih yang mengadopsi materi kawih lain seperti kawih degung yang menjadi kawih pop Sunda di lagu "Cinta" karya Nano S.
Ada pula kawih kacapian yang diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti pada lagu "Dalinding Asih" karya Ubun Kubarsah.
Sebaliknya, lagu "Ulah Ceurik" karya Oon B. yang dikenal sebagai lagu pop Sunda pernah diadopsi menjadi kawih kliningan.