Film White House Down bukanlah film yang sulit ditebak akhir ceritanya. Pada 2013 ini bahkan ada film yang nyaris serupa, Olympus Has Fallen. Lokasi cerita sama-sama di Gedung Putih. Solusinya juga sama-sama oleh seorang agen yang jago berkelahi mengalahkan musuh yang begitu banyak.
Namun, justru tantangannya adalah bagaimana mengemas formula itu dengan piawai. Sutradara White House Down, Roland Emmerich, dalam wawancara dengan Kompas, akhir April lalu bercerita, ada formula yang ia pakai dalam membuat film-film yang ditujukan untuk komersial. Sebagai sutradara film laris seperti Independence Day, The Day After Tomorrow, 2012, dan Anonymous, ia terus memegang formula itu.
Seperti dalam White House Down, walaupun konfliknya berkaitan dengan wacana besar seperti perdamaian dunia, film ini sebenarnya ingin berkisah tentang hubungan seorang ayah dengan anak perempuannya. Lewat wacana besar itu, secara visual penonton dipuaskan dengan aksi-aksi yang ekstrem, ledakan-ledakan besar dan terus-menerus, serta pemandangan tentang Gedung Putih beserta sejarahnya yang fenomenal. Namun, segala hal besar itu sebenarnya membingkai sebuah cerita sederhana yang bisa langsung mengena ke rasa para penonton, yaitu hubungan antara ayah dan anak perempuannya.
Channing Tatum
Apalagi kalau yang menjadi ayah adalah Channing Tatum, yang sedang naik daun. Tatum memerankan John Cale, mantan personel militer yang tak akrab dengan anaknya satu-satunya, Emily (Joey King). Roland mengatakan, Channing adalah sosok yang tepat untuk film ini. Selain ganteng, wajahnya masuk ke dalam kategori pria pada umumnya. Selain itu, Channing banyak melakukan adegan aksi tanpa menggunakan pemeran pengganti.
Demi memperbaiki hubungan yang rusak, John mengajak Emily ke Gedung Putih. Emily adalah penggemar berat Presiden Sawyer (Jamie Foxx). John ingin menunjukkan kepada Emily, betapa hebat dirinya sebagai ayah dengan melamar menjadi pengawal presiden, namun John ditolak.
Seusai wawancara, John mengajak Emily ikut tur publik keliling Gedung Putih. John memang hanya seorang ayah. Ia hanya ingin melakukan hal yang benar, namun sepertinya tidak ada yang benar-benar berhasil. Di tengah turnya, Gedung Putih diduduki. Sebuah konspirasi ingin memicu perang nuklir, dan untuk itu mereka harus bisa mendapatkan akses Presiden Sawyer. Keadaan jadi kacau. Para peserta tur disandera. John terjepit di antara dua prioritas, menyelamatkan Presiden AS dan dunia atau anak perempuannya.
Sosok Presiden Sawyer banyak mengingatkan penonton kepada Presiden Obama. Sawyer digambarkan bukan orang yang kaku terhadap sistem. Adegan awal di mana ia meminta helikopter kepresidenan untuk memutar sejenak, atau meluangkan waktu untuk Emily yang merekamnya untuk Youtube.
Film ini kemudian menekankan dirinya pada adegan-adegan aksi laga. John sebagai sosok jagoan bersama-sama dengan Presiden Sawyer berusaha untuk menggagalkan aksi konspirasi. Harus diakui, pengemasan dalam White House Down tidak sekadar mengandalkan aksi dan efek khusus. Ada kepiawaian sutradara dan editor mengemas cerita, termasuk adanya motivasi dan konspirasi dari kalangan tertentu yang membuat cerita sederhana film ini menjadi lebih kompleks.
Pemuas mata
Sebagai pemuas mata, penonton tidak hanya disuguhkan lorong-lorong Gedung Putih yang penuh sejarah, tetapi juga sistem keamanan negara Amerika Serikat. Lewat lorong-lorong dan cerita Emily terbentang sejarah Gedung Putih sebagai salah satu simbol patriotisme AS. Selain itu, bagaimana rumitnya sistem keamanan, bagaimana penggunaan tentara bahkan untuk mengamankan orang nomor satu di negara AS itu tidak seperti membalik telapak tangan.
Terakhir, film ini adalah bentuk nasionalisme AS. Walaupun memang dalam bentuk simbol-simbol yang terkait dengan lokasi film, yaitu Gedung Putih, simbol-simbol terasa kental.
Tentunya menggelitik untuk ditanyakan kepada Roland yang berkebangsaan Jerman, bagaimana ia membuat film ini dalam konteks dunia global yang penuh ancaman terhadap AS. Menurut Roland, AS menjadi sasaran banyak pihak. Tidak saja karena AS menjadi satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Namun, Roland menyoroti anggaran belanja militer AS yang sangat besar. Bahkan, bernilai dua kali anggaran militer lima negara yang ada di bawahnya. Hal ini semakin memicu kebencian terhadap AS oleh pihak-pihak yang disebut Roland memang dasarnya sudah "gila". (EDNA C PATTISINA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.