Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hikayat Tiga Santri

Kompas.com - 28/12/2008, 01:28 WIB

Wicaksono Adi

Di tengah kabar gembira berupa kian penuhnya layar bioskop kita oleh film Indonesia hari-hari ini—sebagian di antaranya bahkan berhasil meraup jutaan penonton—muncul film 3 Doa 3 Cinta yang mengangkat tema yang jarang disentuh sineas kita, yakni dunia pesantren, khususnya kehidupan para santri di pesantren tradisional. Sutradara film ini, Nurman Hakim, kebetulan adalah bekas santri yang belajar film di IKJ lalu menjadi pengajar di almamaternya tersebut. Boleh dibilang film ini merupakan rekaman pengalaman pribadinya selama bertahun-tahun menjadi santri.

Tentu, sebagai salah satu subkultur yang sangat tua, kehidupan di pesantren telah mengalami banyak perkembangan, termasuk kurikulum, manajemen, metode pengajaran, dan interaksi sosial di dalamnya. Namun, rupanya Nurman Hakim memilih memotret kehidupan di sebuah pesantren jenis salaf ukuran kecil, yakni pesantren tradisional dengan jumlah santri terbatas yang hingga kini masih banyak kita jumpai terutama di pedalaman Jawa. Kehidupan di situ mirip keluarga besar dengan figur utama seorang kiai yang sekaligus pemilik pesantren.

Para santri yang tinggal di pesantren itu tidur berjejal di deretan bilik semiterbuka beralas tikar dengan perabotan yang kelewat sederhana. Pengajarannya pun dilakukan dengan cara bandongan; para santri duduk bersila di lantai masjid mengelilingi sang kiai yang menerangkan isi kitab-kitab Islam klasik. Selain model bandongan itu, kita juga mengenal pengajaran cara sorogan di mana beberapa santri (dalam jumlah yang lebih kecil) belajar secara intensif vis a vis kepada seorang kiai.

Pada film ini, kita tidak sedang menyaksikan kehidupan di pesantren modern yang kadang mirip asrama dengan disiplin pengajaran yang ketat dan terorganisasi rapi, melainkan kehidupan di pesantren tradisional yang sederhana, miskin, dan ndeso. Di pesantren milik Kiai Wahab itu tinggal para santri berusia remaja dan masih lugu yang rata-rata berasal dari keluarga kalangan bawah, di antaranya Huda (Nicholas Saputra), Rian, dan Syahid. Menjelang akhir pendidikan sebagai santri, mereka sering berkumpul membahas rencana masing-masing setelah kelak lulus dari pesantren.

Huda akan mencari ibunya yang menghilang dan tak pernah menjenguknya di pesantren. Sementara Rian (yang baru saja mendapat hadiah handycam dari ibunya) berencana meneruskan usaha video perkawinan milik almarhum ayahnya, dan Syahid, dengan lugu berkata: ”Sesuai namaku, aku mau mati syahid lalu masuk surga.” Kebetulan Syahid diam-diam memang rajin mengikuti pengajian ”garis keras” di surau lain tak jauh dari pesantren Kiai Wahab.

Mereka menuliskan keinginan masing-masing (dalam aksara Arab) pada sebuah tembok tua dekat pesantren. Itulah doa yang harus segera dilaksanakan. Huda pun mulai mencari ibunya, dan ia menemukan titik terang setelah berkenalan dengan Dona (Dian Sastrowardoyo), seorang penyanyi dangdut kampung yang sedang berziarah ke sebuah makam. Atas bantuan Dona, ia dapat menemukan alamat ibunya di Jakarta. (Tentu samar-samar tumbuh rasa cinta antara Dona dan Huda). Sesampai di Jakarta, Huda tahu bahwa ibunya (yang ternyata bekerja sebagai perempuan malam itu) sudah lama meninggal.

Adapun Rian kemudian membatalkan niat pulang untuk meneruskan usaha video perkawinan almarhum ayahnya karena kecewa setelah tahu bahwa ibunya segera menikah dengan laki-laki lain. Ia ingin ikut Pak Toha (pemilik usaha layar tancap keliling) yang saat itu sedang menggelar pertunjukan di sebuah lapangan dekat pesantren. Dan Syahid yang putus asa karena tak mampu menanggung biaya pengobatan ayahnya yang sekarat di rumah sakit semakin mantap menjadi anggota kelompok militan yang direkrut oleh seorang ustaz radikal tempatnya mengaji secara diam-diam itu.

Dan situasinya pun kian runyam ketika tiba-tiba polisi menggerebek pesantren, menangkap lalu menjebloskan Syahid dan beberapa santri serta Kiai Wahab ke penjara dengan tuduhan yang sangat gawat: mereka telah menjadi anggota Islam garis keras. Handycam milik Rian yang sebagian berisi rekaman aktivitas kelompok radikal tempat Syahid rajin mengaji itu dijadikan bukti yang memperkuat tuduhan tersebut.

Tradisi poligami

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com