Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hikayat Tiga Santri

Kompas.com - 28/12/2008, 01:28 WIB

Selain kisah tiga remaja plus penggerebekan oleh polisi tersebut, kita juga menemukan kisah-kisah lain seperti keputusasaan Kiai Wahab yang tak memiliki anak lelaki guna meneruskan kepemimpinannya di pesantren, tradisi poligami yang dilakukan para kiai yang ditunjukkan melalui acara pernikahan keempat Kiai Ridwan, kisah ustaz homo yang menggauli seorang santri, kisah Dona (penyanyi kampung) yang bermimpi menjadi artis terkenal, dan berbagai peristiwa konyol di seputar kehidupan para santri.

Sekian banyak kisah dan kejadian itu seperti hendak mempertegas kembali pernyataan yang lazim dikemukakan beberapa pengamat Islam bahwa pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan juga bentuk paling sederhana dan nyata dari pengajaran agama sebagai doktrin sekaligus bagaimana agama dipahami sebagai pengalaman manusiawi beserta hubungan-hubungan sosial di dalamnya yang tak banyak berubah dari dulu hingga sekarang.

Agama sebagai doktrin tekstual yang diajarkan oleh Kiai Wahab (dalam sesi pengajian model bandongan) memang telah jadi model umum dalam pesantren tradisional di satu sisi, sementara di sisi lain kita menyaksikan bagaimana agama dipahami sebagai pengalaman kolektif yang tak ada kaitan langsung dengan pengajaran doktrin tersebut berjalan secara rutin diselingi dengan interaksi dengan dunia luar secara wajar. Dan keduanya kemudian diparalelkan dengan kehidupan manusiawi para santri yang serba lugu lalu dikontraskan dengan gambaran agama sebagai doktrin radikal yang diajarkan oleh seorang ustaz garis keras yang garang.

Di situ Kiai Wahab ditampilkan sebagai sosok moderat yang mengajarkan agama dalam berbagai dimensi secara seimbang, sementara sang ustaz garis keras ditampilkan sebagai pihak lain yang akan merusak agama dalam diri para santri yang lugu itu. Jelas terasa penegasan bahwa pada dasarnya bahwa fundamentalisme bukan bagian wajar dari pengajaran agama di pesantren.

Namun, pertentangan tersebut tidak dielaborasi lebih lanjut karena film ini memang tidak sedang berbicara ihwal kemungkinan komplikasi proses internalisasi doktrin agama dalam situasi tertentu, melainkan hanya menampilkan potret liku-liku kehidupan para penghuni pesantren yang bermacam rupa itu. Kita tak menemukan proses pencarian eksistensial yang pelik dan berat akibat komplikasi berbagai kemungkinan internalisasi doktrin agama pada tokoh-tokoh ceritanya, melainkan warna-warni peristiwa yang melibatkan para penghuni pesantren. Para santri terlibat dalam banyak peristiwa sembari diam-diam memendam masalahnya sendiri-sendiri.

Banyaknya kejadian yang ditampilkan itu memang dapat membuat film ini kehilangan fokus. Namun syukurlah, Nurman Hakim dapat menata satu per satu alur cerita yang tampak menyebar lalu menyelesaikannya dengan wajar: sekian tahun kemudian setelah Kiai Wahab meninggal, Huda akhirnya kembali ke pesantren, menikah dengan Farokah (anak Kiai Wahab), dan meneruskan kepemimpinan pesantren, Rian menjadi pengusaha video shooting kecil-kecilan, dan Syahid keluar dari penjara.

Walhasil, ini bukan film tentang Islam, melainkan kisah orang-orang sederhana yang hidup dalam ceruk budaya bernama pesantren di mana Islam diajarkan selama berabad-abad. Nicholas Saputra kadang memang tampak terlalu tampan sebagai seorang santri. Namun, rupanya ia cukup berhasil memainkan karakter Huda yang lugu dan dapat berbagi ruang dengan karakter lain.

Sungguh tak banyak (bahkan mungkin langka) karya seni (sastra, seni rupa, teater, film) yang mengangkat dunia pesantren. Maka, film ini cukup berharga sebagai jendela untuk sekilas melongok kehidupan pesantren yang ternyata mengandung kisah-kisah menarik lengkap dengan bau bacinnya yang wajar.

Wicaksono Adi, Manajer Program pada CCI (Center for Culture and Images)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com