Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Menghargai Mimpi Lewat "Cita-citaku Setinggi Tanah"

Kompas.com - 04/10/2012, 07:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Setiap orang tentu memiliki cita-cita. Hal ini juga yang selalu ditanyakan oleh guru di sekolah kepada muridnya, atau oleh orangtua kepada anaknya. Semakin tinggi dan mulia cita-cita yang diimpikan, tentu akan semakin bangga orangtua dan guru yang mendengarnya.

Namun tidak dengan Agus Suryowidodo, yang bercita-cita ingin makan di restoran padang. Sontak satu kelas tertawa terbahak-bahak meremehkan cita-cita si Agus. Ibu guru pun kembali bertanya untuk memastikan supaya Agus tidak keliru.

"Iya, benar kok! Cita-cita saya adalah ingin makan di restoran padang!" Itulah yang diucapkan oleh Agus Suryowidodo dengan mantap saat dikonfirmasi oleh ibu guru di sekolah.

Dibandingkan dengan teman-teman dekatnya yang memiliki cita-cita setinggi langit, cita-cita Agus memang terkesan remeh dan hanya setinggi tanah.

Coba bandingkan dengan Sri yang ingin menjadi artis sinetron terkenal, Jono yang bercita-cita menjadi tentara, dan Puji yang bercita-cita ingin membahagiakan orang lain, tentu cita-cita Agus tidak sebanding.

Tentu bukan tidak beralasan bila Agus bercita-cita ingin bisa menikmati hidangan yang tersaji di restoran padang. Ayah Agus bekerja di pabrik tahu, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga yang sangat mahir membuat tahu bacem.

"Tahu bacem buatan ibuku paling enak sekabupaten. Saking jagonya bikin tahu bacem, setiap pagi aku sarapan tahu bacem, siang makan tahu bacem. Saat makan malam, aku masih diberi tahu bacem juga," cerita Agus yang rupanya bosan dengan menu makanan yang monoton.

Itulah yang tergambar pada film layar lebar pertama garapan Eugene Panji, yang berjudul  Cita-citaku Setinggi Tanah (CCST).

Namun, Eugene tidak ingin mengetengahkan mimpi dan cita-cita sebagai pusat cerita dalam film ini.

Proses, itulah yang menjadi pusat cerita dalam film ini. Bagaimana seorang Agus yang berasal dari keluarga sederhana di desa di kaki gunung Merapi, Muntilan, Jawa Tengah, harus berjuang dan berusaha untuk mengumpulkan uang agar bisa menikmati hidangan yang disajikan di restoran padang.

Agus harus menahan keinginannya untuk jajan dan membeli mainan. Dia juga mengorbankan waktu bermain dengan tiga sahabatnya; Sri, Jono, dan Puji.

Waktu yang seharusnya digunakan oleh Agus untuk bermain, dia habiskan sebagai pengantar tahu dan ayam, demi mendapatkan upah sebesar Rp 3.500 rupiah.

Ide cerita CCST berawal dari kegelisahan Eugene Panji dan rekannya, Marina Mayang Sari, yang melihat anak-anak lebih menyukai berkeliaran di mal atau pusat perbelanjaan dan bermain dengan alat elektronik yang dikenal dengan sebutan "tablet".

Eugene mendedikasikan film ini untuk anak-anak Indonesia, agar bisa lebih menghargai dan memaknai arti mimpi yang sesungguhnya melalui proses untuk mencapai mimpi tersebut.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau