Hutan yang digambarkan seram-gelap dan terasa angker di latar belakang dua raja hutan yang sedang minum, maupun citraan amuk bencana alam serta manusia-manusia layaknya anai-anai karya Basoeki Abdullah. Benar-benar lukisan bergemuruh bertentangan dengan tema utama pameran.
Selain dua lukisan tersebut, kita segera saja mengenang Sudjojono. Siapa lagi pelukis yang selalu meradang, yang mengatakan lukisan hendaknya mengutamakan "kebenaran dahulu, setelah itu baru kebagusan!" pada tahun 1950-an.
Mooie Indie, sebuah mazhab seni lukis yang memuja keindahan fisik alam, yang mengemuka dengan gambar gunung, sawah, pantai dan jalan-jalan pedesaan serta perempuan elok segera saja terngiang-ngiang; yang dijadikan olok-olok itu oleh Sudjojono. Yang kemudian sangat dekat dengan tema pameran kali ini.
Tentu saja, tajuk "Goresan Juang Kemerdekaan" pada pameran 2016 lalu kemudian menjadi lebih berderak keras dalam konteks hari ini dan tentu saja menjadi lebih berkualitas.
Masih ingat dengan lukisan Sudjojono "Mengungsi (1950)"?
Seperti yang dikisahkan oleh Mia Bustam, istri Sudjojono dalam bukunya berjudul "Sudjojono & Aku (2006)", lukisan ini bersumber dari kejadian sesungguhnya, yakni pada saat Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta pada 1947 dan baru dikerjakan di studio penyelesaiannya tiga tahun kemudian.
Kita akan menyaksikan suasana bergolak, dinamis, seperti kata Tedja Bayu, anak tertua Sudjojono pada penulis "anak kecil itu adik saya, Nasti Rukmawati yang memakai periuk nasi di kepala, yang digendong oleh Mbah Putri saya, Mbok Marijem, seorang kuli kontrak di kebun karet, Kisaran, Deli. Sementara saya, anak lelaki itu, yang digandeng oleh paman saya, kita semua dalam situasi panik".
Kita melihat sesuatu yang hidup. Bukankah hari ini kita, setelah 72 tahun memerdekakan diri dari kolonialisasi, bisa merefleksikan bahwa masih tetap saja menjadi "pengungsi di negeri sendiri", tatkala sumber-sumber kekayaan alam milik kita belum atau tidak berdaulat penuh dimiliki bangsa ini?
Masa itu Affandi bersama keluarga mengontrak rumah milik Keluarga Tjitrosumarto. Lukisan yang dipajang di gedung utama Istana Kepresidenan Yogyakarta sampai sekarang itu memancarkan aura percaya diri.
Perhatikan tatap matanya Tjokroaminoto, gestur tubuhnya dan gaya brush stroke transisi lukisan Affandi dari gaya realis menuju ekspresionis jelas kentara.
Kita melihat energi yang kuat di sana, potret seorang pemimpin dengan lamat-lamat latar belakang ditampakkan sosok-sosok orang yang digambarkan sebagai rakyat Indonesia. Pemimpin yang mengayomi dan hari ini kita minus pemimpin setara dia.
Penulis kemudian menduga-duga, kata-kata Menteri Sekretariat Negara bahwa karya yang telah melalui seleksi cermat dan sangat teliti oleh para kurator sungguh patut disangsikan.
Mudah-mudahan, dari sekitar seribuan karya lukisan milik Istana Kepresidenan yang layak pamer, lebih dari sekadar lukisan "bersenandung saja" dengan keelokan-keelokan fisikal.
Namun, mampu mengoyak ulu hati, dan terutama nalar: refleksi semacam apa yang sebenarnya yang patut kita panggungkan dalam pameran penting semacam ini, kelak di kemudian hari?