BUMI benar-benar diramalkan akan mengalami bencana dahsyat dalam waktu dekat. Hal yang lazim disebut katastropik. Ini tak berkaitan sama sekali dengan pernyataan tokoh politik lokal tentang Indonesia yang akan “bubar” pada 2030.
Namun skenario lebih mengerikan: futurolog menandai adanya gejala-gejala kiamat yang disebabkan ulah manusia, karena mereka terlalu agresif.
Maret lalu, cendekiawan fisika yang tenar dengan teori Big-Bang (ledakan yang melahirkan alam semesta) Stephen Hawking, meninggal.
Setahun sebelumnya, ia menganulir prediksinya bahwa manusia tak lagi bisa 1.000 tahun tinggal di Bumi, namun hanya 100 tahun mulai dari sekarang. Waktu yang cukup dekat.
Hawking di serial sains BBC-nya, Tomorrow's World, mengantisipasi adanya perubahan iklim, serangan asteroid yang terlambat, epidemi, dan pertumbuhan populasi sebagai kesalahan yang mengakibatkan kehancuran Bumi.
Berarti, anak-anak kita kelak akan menghadapi skenario distopia ini. Distopia adalah tempat khayalan yang segala sesuatunya sangat buruk dan tidak menyenangkan serta semua orang tidak bahagia atau ketakutan. Distopia merupakan lawan dari utopia.
Hawking tak sendirian, penghancuran Bumi karena tak terkendalinya artificial inteligence (AI) atau kecerdasan buatan menohok nasib Bumi, yang tesisnya didukung penuh oleh Elon Musk, penemu mobil pintar Tesla dan proyeknya umat manusia yang bersiap mengungsi ke planet Mars. Film–film fiksi ilmiah juga dengan jenial membaca tanda-tanda ini sejak lama.
Dokumenter terbaru Musk, Do You Trust This Computer? , menarasikan di zaman kecerdasan buatan sebenarnya kita pelan-pelan menciptakan "diktator abadi yang tidak akan pernah bisa kita lepaskan." Bumi diambil alih oleh mesin-mesin yang ironisnya buatan manusia.
DeepMind, sebuah model AI milik Google pada 2018 menunjukkan bagaimana kita harus berhati-hati ketika merancang robot dan kecerdasan buatan. Dua model dalam permainan simulasi komputer dicoba, tiba-tiba salah satu model demikian destruktif tatkala terdesak.
Pihak Facebook juga mangaku, akhir 2017 lalu harus “membunuh” dua model AI-nya, karena mereka saling berdialog dengan bahasa mesin, yang tak bisa dipahami manusia dan menolak perintah manusia pembuatnya.
Sementara membaca Buku Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat yang sempat meraih Nobel perdamaian, di The Future (2013), kita menemukan analisa masa depan tragik pula.
Mulai dari ekonomi global yang menaruh harapan perimbangan kekuatan negara dibanding arogansi korporasi ionternasional, revolusi digital, dan bioteknologi sebagai keniscayaan sains, sampai mendesaknya perhatian penentu kebijakan publik tentang isu iklim ekstrem dan pemanasan Bumi serta transisi energi.
Gore, selebihnya membahas melimpahnya populasi yang menekan konsumsi sumber daya alam yang berlebihan, meningkatkan krisis teritori berskala global. Segala yang ditulis Gore dalam 378 halaman di bukunya laiknya “seismograf”.
Mawas diri
Rambu-rambu peringatan akan segera datangnya “gempa lebih dahsyat” bagi Bumi, jika perubahan tidak segera diantisipasi. Riset Gore dan semua gejala itu dengan sangat semangat sudah hampir seabad ini diuar-uarkan oleh HG Wells, John Naisbitt, sampai Alfin Toffler. Akar dari semuanya: manusia memang terlalu agresif.